23

262 25 5
                                    

••

Oceana menghela napas berat. Beberapa menit berlalu, namun semua masih terasa normal baginya. Tidak ada keanehan atau reaksi tak biasa ketika tengah ditatap sedemikian rupa. Ia masih acuh tak acuh sebagaimana tabiat disetiap harinya.

Sembari tidur dalam posisi menyamping dengan kepala yang ditopang menggunakan telapak tangan tertumpu di atas bantal, Oceana lantas bersuara lantang, “Woy, Na! Lo lagi gabut kayak gue juga, nggak?”

Terpanggil, Ardana seketika menoleh ke samping. Kegiatan mengerjakan pekerjaan rumah sembari belajar untuk keperluan Ujian Nasional kelak yang semula menjadi fokus utamanya pun terbaikan sejenak. Atensinya berpindah menuju tempat tidur tingkat yang salah satunya sedang ditempati oleh Oceana tersebut.

“Sepertinya ..., iya. Memangnya kenapa?” Nadanya terdengar ragu. Oh, gadis itu benar-benar tidak tahu-menahu. Bagaimana mungkin dia berpikir jika Ardana hanya planga-plongo sedari tadi seperti apa yang tengah dilakukannya saat ini tatkala dengan mata kepalanya sendiri, Ardana menyadari jika Oceana sibuk mengamati gerak-gerik Ardana yang sedang asyik menyalin materi?

Meh, sini lo! Mending lo temenin gue ngobrol, deh. Ngantuk gue lihat lo belajar mulu kayak nggak ada tujuan hidup lain aja.”

Ia gunakan tangannya untuk memanggil Ardana agar ikut duduk lesehan di samping tempat tidur mereka. Air mukanya tampak tanpa rasa bersalah sama sekali, jelas pemuda itu tak peduli jika Ardana tengah kerepotan merapihkan segala benda yang ia gunakan untuk belajar tadi, sementara Oceana justru begitu tak sabaran untuk memaksanya agar duduk bersamanya. “Cepetan, anjir! Keburu kaki gue kesemutan nungguin lo-nya.”

“Sebentar, ya? Saya takut jika menaruhnya asal, nanti akan tertukar dengan buku-bukumu. Materi kita berbed—”

“Berisik! Ke sini, nggak?!” ketus Oceana kelewat tak sabaran. Apalagi mendengar Ardana yang menurutnya, terlalu banyak bicara serta terlalu disiplin dalam membenahi barangnya. Itu sangat mengesalkan baginya.

Belum separuhnya dibereskan, Ardana mau tak mau dengan terpaksa meninggalkannya berserakan di atas meja belajar demi menyanggupi desakan Oceana yang teramat begitu agresif untuk sekedar mengajaknya mengobrol malam ini. Terpaut jarak 1 meter, Ardana perlahan menjatuhkan dirinya tepat di depan Oceana.

“Kamu ingin bertanya tentang apa kepada saya?” Ardana putuskan untuk membuka topik ketika Oceana hanya memperhatikannya lagi.

Tatapan Ardana sekilas menyoroti jam analog yang ada di atas nakas. Pukul 9 malam. Ardana bahkan baru menyadari itu karena terlalu tenggelam dengan buku-buku yang dibacanya. “Satu jam lagi kita tidur, ya? Jangan sampai terlalu malam, besok hari Kamis soalnya.”

Halah, disipilin banget hidup lo. Presensi lo tuh emang manusia, tapi kinerja otak lo setara sama robot. Abang gue termasuk anak ambis juga kayak lo cuma nggak gini-gini banget,” katanya terdengar menghina, namun Ardana malah tersenyum saja mendengarnya. Sedikit banyaknya mulai memahami gaya berpikir Oceana ketika bicara.

Cenderung ceroboh dan malas berpikir dua kali sekedar untuk menyaring akan ujarannya sendiri.

Merasa tidak adanya respon yang akan diterima, Oceana mulai menuju ke intinya. “Ngomong-ngomong, Na. Gue penasaran sama rumor liar yang beredar di sekolah tentang kita dan gue ‘lumayan’ penasaran sama kebenarannya dari sudut pandang lo,” Oceana berucap hiperbola. “Nah, mumpung kita cuma berdua sekarang, gue boleh nanya ke lo, dong. Iya, ‘kan?”

Ardana mengangguk ragu.

“Jujur nih, ya. Ini tuh rada malu-maluin banget buat gue. Tapi, bener nggak tentang yang mereka bilang itu?” Oceana menelaah dengan kalimat patah-patah miliknya.

“Tentang apa? Rasanya, saya tidak pernah mendengar apa-apa mengenai kamu dan say—”

“Na, please! Satu sekolah juga tau kalau lo tuh cuek. Luar biasa cuek! Jangankan tentang gue atau dua cowok sinting onoh, mereka gibahin lo tepat di depan muka lo sendiri aja telinga lo masih tetep congek. Orang kayak lo tuh cocoknya jadi Tarzan. Membaur sama hutan dan seisinya saking nggak pedulinya sama apa omongan semua orang. Mau jadi apa lo entar, hah?!”

Ardana mengedipkan matanya, tidak memahami sepenuhnya akan perkataan Oceana yang melantur kemana-mana. “... Kamu ini sebenarnya bicara apa?”

“Itu ..., LO SEBENERNYA SUKA SAMA GUE. IYA, ‘KAN?!”

Demi apapun, tolong bantu Ardana supaya Wildan dan Razi tak menyebarkan sesuatu yang baru ia rekam dari luar kamar ketika kebetulan sekali Oceana sedang melakukan kegiatan nista dengan menindih Ardana untuk mendapatkan jawaban dari pernyataan ngawur-nya tersebut!

••

TBC

#SaveArdana

hiiiiiii, long time no see 🙈 see apa? see ya ~ wkwk

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OCEANA   +jaemjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang