16

232 28 0
                                    

••

Hari terakhir MPLS termasuk yang terparah dibandingkan hari-hari sebelumnya. Dimana agenda mereka sekarang adalah berlomba-lomba untuk mendapatkan tanda tangan dari para kakak kelas sok artis yang hobi sekali mempersulit siswa maupun siswi baru untuk lolos dari hukuman. Yang paling memuakkan bagi Oceana adalah ketika syarat yang diajukan yakni, “Mau tanda tangan Kakak? Boleh banget, kok. Tapi, follow dulu akun Instagram punya Kakak, ya?”

Dan mereka yang mudah dikibuli dengan pasrah melakukan perintah yang diajukan. Sedangkan Oceana?

Sudah jelas akan dengan lantang mengatakan jika dia tidak pernah sudi melakukan itu. Entah disuruh demikian atau sesuatu yang memalukan lainnya. Biarlah dia terkena hukuman. Yang terpenting akun Instagram-nya aman lantaran di sanalah Kartu AS milik Oceana bersemayam.

Tidak peduli jika pada akhirnya dia akan dicap sombong atau paling parah dijadikan target perundungan karena aksi beraninya itu. Peduli setan! Toh, dia punya banyak backing-an dari kategori kakak kelas famous, termasuk salah satunya adalah Altair, Kakaknya sendiri.

Maka dari itu, laki-laki dengan rambut tergerai panjang itu kini menidurkan kepalanya di atas meja bundar. Perpustakaan adalah satu-satunya tempat yang ia pikir cukup aman untuk menyembunyikan diri.

Atribut orientasinya pun sudah dilepaskan demi menghindari kecurigaan dari orang-orang yang ternyata banyak menghabiskan waktu di tempat ini juga daripada menonton adik kelas mereka kalang-kabut mencari keberadaan kakak kelas yang mengesalkannya malah sengaja bersembunyi untuk menjauh dari kejaran mereka.

Matanya mengerjab bosan ketika layar ponselnya bergulir menampilkan postingan dari beberapa akun following-nya. Memang peraturan menyatakan jika pada saat masa orientasi berlangsung, mereka tidak diperbolehkan untuk membawa ponsel sama sekali. Dan Oceana yang memang pada dasarnya bandel, dengan nekat menyembunyikannya disaku roknya.

“Bosen banget. Udah pada kelar belum, ya? Mana laper juga lagi,” keluhnya setengah merengek sambil menghentakkan kakinya yang sedang selonjoran di atas karpet.

Hembusan napas panjang adalah satu-satunya yang terdengar pada ruangan perpustakaan di lantai dua tersebut. Oceana senang ketika orang-orang yang ditemuinya di lantai satu ternyata tak ikut ‘menjajah’ ke atas sini. Setidaknya Oceana bisa mendapatkan ketenangan, meskipun lebih dominan kebosanan karena tak ada satupun entitas yang bisa menemani atau mendengarkan semua kata-kata yang berasal mulut cerewetnya.

“Di perpustakaan tidak boleh membawa makanan.”

Oceana seketika mencebik. Merasa kenal dengan suara yang senang sekali mengeluarkan peraturan yang tak penting melalui bibirnya. “Ngapain lo ke sini? Lo stalking gue?” tuduh Oceana sepihak.

Ardana lantas menggeleng singkat. “Tadinya hanya ingin mengembalikan buku, iseng jalan ke sini untuk mencari referensi baru malah jadi ketemu kamu. Lagi bolos, ya?”

Merasa tak mendapatkan sahutan apa-apa dari gadis itu, Ardana dengan ragu-ragu perlahan mendudukkan tubuhnya di samping Oceana yang tengah mengetik sesuatu di ponselnya. Senyum tipis terpatri ketika melihat ada sebuah buku tak jauh dari kepala Oceana yang tengah ditidurkan di atas meja. “Saya tidak tahu kalau kamu juga suka membaca buku.”

“Emang nggak, kecuali buku fiksi,” jawab Oceana lemas. “Ngomong-ngomong, lo di sini mau ikutan sembunyi juga kayak yang lain?”

Alih-alih tersinggung, lelaki itu malah terkekeh pelan. “Tugas saya sudah selesai. Jadi, saya ke mari untuk istirahat.”

Oceana tampak terdistraksi dengan mengerutkan keningnya. “Kok, cepet? Perasaan baru jam delapan.”

Itu berarti Ardana hanya butuh setengah jam untuk menjalani tugasnya. Seperti yang Oceana duga, Ardana agaknya memang bukan tipikal orang yang senang berinteraksi sehingga ketimbang susah-payah mengerjai adik kelasnya, dia lebih memilih untuk melakukan itu tanpa syarat agar mereka tak kerepotan melakukan agenda yang tak ada faedahnya itu.

Ardana paham bagaimana lelahnya berlari-larian mengejar orang lain yang sengaja menghindar sehingga pada akhirnya hanya jadi putus asa dan menyerah begitu saja.

“Saya sengaja berdiam di lapangan supaya keberadaan saya terlihat oleh mereka dan saya bisa langsung berikan tanda tangan agar tugas mereka juga bisa secepatnya selesai.”

“Hm, baik banget lo. Gue sampai punya asumsi kalau lo bisa aja pencitraan biar dipilih jadi kakak kelas terfavorit tahun ini.”

“Saya rasa, tidak akan ada jenis perlombaan dengan nominasi yang seperti itu di sekolah ini.” Tawa Ardana terdengar kian gelak. Mengundang kernyitan tak mengerti oleh Oceana yang telah menaruh ponselnya ke dalam saku roknya kembali.

Ardana sendiri sadar jika Oceana terlampau terang-terangan dalam menyindirnya, namun untungnya mereka teman satu asrama, maka dari itu dia cukup memahami akan perkataan Oceana yang terbilang cukup blak-blakan dalam berkata-kata.

“Oh, iya. Tadi kamu bilang kalau kamu lapar, ‘kan? Mau saya bawakan makanan dari kantin?” tawar Ardana tiba-tiba. Sangat bertolak belakang dengan pernyataannya yang pertama tadi.

Netra Oceana kontan berbinar ceria. “Ih, beneran? Tadi katanya nggak boleh.”

Ardana menyalakan ponselnya. Menatap sebuah gelembung obrolan antar para anggota Organisasinya yang tengah bertukar informasi. “Saya dapat informasi jika para guru sedang mengadakan rapat dan kebetulan pengawas perpustakaan juga tidak ada. Oleh sebab itu, mungkin tidak apa jika membawa makanan ke mari. Asal jangan membuang sampah sembarangan saja.”

Oceana tersenyum lebar sehingga mata bulan sabitnya terbit. “Mau, dong! PopMie Pedes Dower sama es teh aja, deh. Tambah sosisnya juga kalau ada.”

Ardana dengan lekas mengiyakan. “Tolong tunggu sebentar, ya. Akan saya ambilkan permintaan kamu secepatnya.”

“Ya, ya.”

Maka usai mendengar jawaban Oceana, Ardana lantas berjalan menuju tangga dengan mempercepat langkahnya sebelum kantin penuh dengan orang-orang yang mengantri. Namun, baru sempat menapak beberapa anak tangga, jejak Ardana justru terjeda.

“Na!” Lirikan Ardana membuat Oceana langsung menipiskan bibirnya. “Gue lupa mau bilang ini. Makasih, ya!”

••

TBC

curhat dikit soalnya ini berdasarkan pengalamanku kemaren, hehew

syaratnya begitu semua beneran, bahkan nyebelinnya si ketosnya malah sembunyi di ruang osis biar gak disamperin sambil main gitar (ngeselin gak sih???) alhasil ya gak ada satupun peserta yang dapet tanda tangannya!

beda banget sama waketosnya yang beneran gak pake syarat apa-apa terus juga cuma duduk anteng di tribun lapangan sekolahku biar gampang kenotisnya mana pake senyum pula pas ngasih tanda tangannya. baik banget!!! :( 💗

OCEANA   +jaemjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang