••
Ardana baru saja keluar dari kamar mandi kala melihat eksistensi teman sekamar barunya tengah tertidur dalam posisi telungkup dengan ponsel yang masih menyala terang menampilkan tayangan film kartun yang entah apa judulnya. Bahkan gadis itu dengan lancang berbaring di atas ranjangnya.
Handuk kecil yang tadi ia gunakan untuk mengusap sekitar rambutnya yang masih basah sehabis mandi pun disampirkan ke hanger. Kepalanya menggeleng pelan. Ingin membangunkan, tapi tak mau semisal dia disemprot karena kebanyakan orang mungkin akan kesal dibangunkan hanya karena masalah sepele. Apalagi tipikal gadis cerewet sebagaimana Oceana. Besar kemungkinan, rambut basahnya pasti jadi sasaran empuk bagi kuku-kuku panjang Oceana berlabuh.
Pada akhirnya, Ardana putuskan untuk mengamati buku novel yang sudah setengahnya ia baca. Lelaki itu kini duduk di atas bangku belakang meja belajarnya. Kacamata baca miliknya pun sudah bertengger apik diatas hidungnya. Dan ditengah cahaya lampu yang remang, Ardana masih bisa membaca buku novel-nya dengan tenang.
Meskipun, dia agak merasa terganggu oleh suara dengkuran Oceana yang tiada habisnya bak kaset kusut.
Getar ponsel mengalihkan fokusnya. Ardana melirik ke arah benda pipih yang telah menyala. Menampilkan notifikasi pesan yang baru masuk di antara ratusan pesan dari berbagai grup yang sengaja tidak dibaca oleh empunya.
Altair Mahesa: Adek gue nyusahin lo, gak?
Bohong jika Ardana bilang tidak. Baru tadi sore dia dibuat kelimpungan menghadapi segala kecurigaan Duo Tapir alias Wildan beserta Razi atas keberadaan Oceana yang dengan wajah tanpa dosanya memberikan asumsi kurang ajar dan menyatakan secara sepihak bahwa ia diseludupkan oleh Ardana karena Ardana difitnah terlalu mencintai Oceana hingga tak mau lepas pengawasan sedikitpun dari orang terkasihnya.
Jujur saja, Ardana masih merasa pening dengan perdebatan sengit yang terjadi di antara mereka berempat sebelumnya hingga sekarang. Ia teringat akan bagaimana Oceana yang teramat bersikukuh dengan cerita karangannya sendiri, walaupun Razi bersikeras bahwa ia sempat melihat Altair membawakan koper untuk Oceana dan membeberkan desas-desus yang menyatakan bahwasanya Oceana dan Altair telah bertunangan.
You: Tidak.
Ardana bukan tipikal orang yang senang menjelaskan sesuatu. Apalagi untuk hal yang menurutnya, hanya membuang waktu. Pada dasarnya, lelaki itu menyukai perasaan damai sehingga abai dengan hingar-bingar dunia luar dan hanya tenggelam pada ketenangan. Contohnya, ya seperti mendalami literatur klasik, yakni buku.
Dan sayangnya, Oceana termasuk jenis individu yang diserahkan oleh Altair untuk mengacaukan itu semua.
Gadis itu berisik, suka kerusuhan dan kadang seperti hidup di dunianya sendiri. Dia lebih kekanakan dari versi figurnya yang memang nyaris menyamai tingkahnya. Level imajinasinya di atas rata-rata, maka tak heran dia bisa berbuat nekat kapan saja. Tak peduli akan dampak yang diterima karena baginya berpikir satu kali itu sudah lebih dari cukup ketimbang jadi sakit kepala untuk menyinambungkan semuanya dengan berpikir berulang kali. Dia tak percaya dengan konsekuensi. Semua dilakukan atas kemauannya sendiri.
Maka dari itu, Oceana yang minggat dari rumah adalah merupakan keberkahan tersendiri bagi Altair yang merasa semua perhatian di rumah kini hanya fokus kepadanya saja. Disanalah titik kebodohan Oceana yang sebenarnya. Dia tak memikirkan itu dan lebih memilih untuk mengejar kisah cinta omong kosongnya tanpa tahu apakah yang sedang dilakukannya itu sudah tepat atau tidaknya.
“Na.”
Merasa dipanggil, Ardana sukses mengalihkan pandangannya ke arah Oceana yang entah sejak kapan telah terjaga sembari menguap lebar tanpa sadar jika saat ini dia bukanlah laki-laki yang bisa berbuat bar-bar sekalipun tak peduli dengan kesan Ardana sama sekali.
“Kenapa?”
Oceana mengulum bibir. “Enggak, manggil aja, sih. Tapi, gue agak kepo. Lo sebenernya lagi baca apa? Gue boleh pinjem, nggak? Eh, sebelum itu, tuh buku genrenya apa? Kalau bukan romance, gue ogah, ya! Hmmm, sebenernya kalau ditinjau dari muka lo, kayaknya lo penyuka fantasi. Nggak apa, deh. Gue baca kalau alurnya tentang vampire atau ABO. Gue emang dibawah UMR (umur), tapi andai ada adegan mating, gue bakal tetep baca asal lo nggak usah cepu ke Bang Alta, okay? Entar gue kasih gocap. Mari kita jaga rahasia masing-masing. Janji!”
Ardana sukses melongo. Sedikitpun dia tidak bisa menyimak akan setiap frasa yang keluar dari bibir licin Oceana. Jangankan mengerti, mendengar pun dia hampir tak bisa.
“Maaf, saya kurang memahami—”
“Cih, dasar budeg!” Oceana beranjak dari tempat tidur Ardana. Dengan langkah kesal, dia naiki dua anak tangga sekaligus hingga ia dapat dengan cepat menenggelamkan tubuhnya ke atas ranjang. “Nggak Bang Alta, nggak lo, semuanya congek! Emang di dunia ini nggak ada yang dengerin gue selain Boboiboy.”
Ardana menghela napas berat.
You: Iya, adik kamu menyusahkan sekali. Berisik. Saya tidak sanggup menghadapinya lagi. Tolong, kamu ambil lagi dia. Terserah kemanapun itu, yang penting dia bisa pergi jauh-jauh sekali dari saya!
••
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
OCEANA +jaemjen
Fanfiction⚠︎︎ NOT GENDERSWITCH (GS)! ⚠︎︎ Ini rahasianya . . . [Na Jaemin - Lee Jeno]