HUJAN

4 1 0
                                    

~Kilas Balik ~

Januari 2001

Bukannya matahari enggan berbagi sinar dengan makhluk di bumi. Tapi awan hitamlah yang serakah, menutup semua permukaan langit hingga matahari mengintip bumipun sulit.

Betapa menjengkelkan nya ketika air langit mulai turun. Karena apa? Semua aktifitas makhluk sibuk di bumi jadi terhenti. Dan merubah kegiatan menjadi menatap serbuan air dari langit turun menerjang bumi.

Tapi bagi sebagian orang, hujan adalah sebuah kebahagiaan. Penetralisasi udara yang penat karena polusi di bumi. Penyubur tanaman hingga oksigen terlahir kembali. Dan yang paling penting sekarang adalah hujan waktunya Risa bermain.

Iya, dia hanya gadis kecil yang menyukai hujan. Berlari menginjak genangan air, menengadah membuka mulut meminum air langit yang jatuh, tertawa kencang tanpa terdengar makhluk lain.

Sekarang Risa sangatlah senang, bersama hujan dia bermain. Tidak ada orang lain.
Dia sering berhujan-hujanan sendiri di belakang rumah. Karena apa dia senang hanya bermain dengan hujan saja?

Alasannya karena mamahnya tidak pernah memarahinya ketika terkenan air hujan. Bukankah beda dengan orang tua lain yang akan marah jika melihat anaknya terguyur hujan, karena takut anaknya sakit karena air langit itu. Ingat, Risa berbeda.

Bukankah sudah jelas, bahwa wanita yang di panggil Risa mamah itu sungguh membenci kehadiran Risa. Mungkin saja di dalam benak wanita itu berpikir, tak apa kalau saja Risa mati karena sakit. Jadi dia tidak usah repot-repot membunuhnya.

Tapi, lihatlah Risa. Tidak pernah sekalipun dia terkena sakit karena hujan. Bukankah itu ajaib? Atau mungkin hadiah dari Tuhan karena hujanlah yang bisa melebarkan senyumnya.

"Non Risaa... Udah maen airnya. Ayooo kesini non! " teriak Bi Siti sedikit tersamar derasnya hujan yang jatuh. Risa hanya melirik Bi Siti dan tersenyum.

"Sebentar bi, euhhhh.... 5 menit lagi. Risa janji! " balas Risa tak kalah kencangnya dengan Bi siti. Dan sekarang berbalik, bi Siti yang tersenyum melihat Risa yang masih sibuk dengan permainannya.

Risa pun terus berlari sebari menikmati jatuhnya air ke badan kecilnya. Sungguh, senyum Risa tak pudar dari wajah kecil polosnya.

Hingga tanpa sadar dia berlari ke halaman depan. Bukan lagi rumput hijau yang dia injak sekarang, tapi dataran bersemen. Iya dia berlari di  halaman depan  rumah.

Hingga beberapa saat kemudian Risa di kejutkan dengan suara klakson mobil yang nyaring. Belum sempat berlari, si pemilik mobil itu keluar sebari membawa payung.

Seorang pria yang sudah bisa di bilang tidak muda lagi. Bahkan Risa bisa memanggilnya dengan sebutan kakek.

Pria paruh baya itu tersenyum ramah melihat Risa. Dan itu membuat debaran di dada Risa sedikit membaik. Masih dengan payungnya, kakek itu berjongkok menyamai dengan tinggi badan Risa.

Sekarang mata tua teduhnya menatap mata bulat coklat milik Risa. Lalu tangan kakek itu mengusap lembut rambut Risa yang sangat basah.

"Kamu Risakan? " tanya kakek itu lembut. Dan Risa hanya mengangguk. Ada desiran aneh yang Risa rasakan saat ini. Karena Risa tidak pernah di perlakukan lembut oleh seseorang selain Bi Siti.

"Kau tak takut hujan nak? Kau tak takut sakit? Kau tak takut mamahmu marah? " tanya si kakek pada Risa dan pertanyaan beruntut itu hanya di balas dengan gelengan kepala oleh Risa.

TYARISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang