Disaat lantunan musik dari serangga malam samar-samar masih bergema di telingaku, tubuhku masih terbaring di atas kasur, menikmati kehangatan tersendiri di balik selimut tebal yang lembut. Disaat orang-orang masih berselancar di dunia mimpi masing-masing, aku mulai beranjak dari kasur dan mulai meregangkan otot.
"Hngg..." Aku duduk beberapa menit di atas kasur, mencoba mengumpulkan kembali sebagian jiwaku yang belum sadar. Itu benar-benar tidur palik enak sejagat raya.
Kelembutan dan kehangatan kasur sekelas bangsawan memang tidak perlu diragukan lagi. Dengan ukuran seluas ini, mungkin bisa menampung hingga 3 sampai empat orang, aku tidak perlu khawatir untuk kehabisan tempat.
Ngomong-ngomong apa yang harus aku lakukan di pagi buta seperti ini?
"Hmm..." Aku bergegas beranjak dari kasur, berdiri dengan kedua kakiku. Kemudian, aku mengamati ke sekeliling kamarku. "Huh, tidak ada apa-apa."
Tidak ada smartphone, TV, bahkan makanan kecil yang tersimpan di dalam kulkas. Namun saat aku memikirkan kembali zaman dimana aku tinggal sekarang, bahkan kulkas pun tampaknya tidak ada. Semua kembali secara traditional, termasuk pencahayaan sekalipun. Bahkan lentera di samping kasur pun mengatakan hal yang sama melalui nyala apinya.
"Yah...habis deh," ujarku, mengangkat lentera yang kini sudah padam. "Gimana cara menyalakannya lagi, ya?"
Aku sejenak berpikir dan mungkin aku akan menemukan jawabannya di dapur.
Ya, aku harus pergi ke dapur. Mungkin saja aku bisa mendapatkan korek di sana. Sambil memakai baju tidur, aku kemudian keluar dari kamarku dan berjalan melalui lorong yang gelap. Semakin aku berjalan, semakin aku paham mengapa gorden jendela di manorku tidak dibiarkan tertutup pada malam hari-hari. Sinar rembulan yang masuk melalui jendela manor, tampak seperti menggantikan pencahayaan yang dibuat oleh manusia.
Ini memberikan kesan mistis, namun indah secara bersamaan.
"Indah sekali." Aku terpukau dan sejenak terbuai dalam keindahaan dini hari yang telah tersaji oleh rembulan dan bintang-bintang dari balik jendela.
Pemandangan yang indah namun harus kuabaikan langsung, karena teringat akan tugasku sekarang. Aku berjalan, berjalan, dan berjalan hingga sampai di depan anak tangga. "Aduh, gelap sekali. Bagaimana caranya aku turun kalau gelap begini?" Aku sejenak menarik napas. Dalam saat-saat terpuruk, aku meraba ke sekitar, tepatnya ke arah pegangan tangga. Ah! Aku mendapatkannya!
"Hati-hati...," ucapku, melangkah dengan penuh perhatian. "Jangan sampai jatuh...."
Samar-samar aku bisa melihat satu-per-satu anak tangga di depanku. Ditambah dengan bantuan cahaya bulan yang mulai masuk melalui jendela, akhirnya aku sampai di depan dapur. Tempat itu terletak di lantai bawah, tepatnya setelah melalui ruang tamu.
"Hah... akhirnya sampai juga." Ucapku, menaruh lentera yang kupegang di atas meja.
Kini aku bisa melihat dikarenakan terdapat beberapa lilin-lilin kecil yang menyala di berbagai sudut. Tampaknya para pelayan sengaja menyalakan lilin di tempat ini, untuk berjaga-jaga mencari barang pada malam hari. Tapi mereka kok ceroboh sekali, ya? Kalau terus menyala bukankah akan berbahaya?
Namun saat itu, aku melihat di setiap lilin dipasang sebuah logam pada bagian tengah. Sepertinya saat api sudah mencapai titik itu, benda tersebut akan secara otomatis menutup dan memadamkan apinya.*¹
Orang-orang pada abad pertengahan memang kreatif!
"Ayo dong! Fokus Ryuko! Fokus! Malah fokusnya ke lilin sih?! Hadeh...." Kemudian dengan cepat aku membuka laci-laci di kabinet bawah, atas, dan juga tidak lupa lemari kayu yang tidak jauh di tempat aku berdiri. Setelah beberapa kali mencari, aku pun menemukan korek api pada salah satu laci di kabinet atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tale of Ryuko Everhart
FantasíaKazawa Ryuu, bukanlah wanita biasa, dia adalah seorang shogun yang memerintah klannya, klan Kazawa, di Jepang pada abad ke-23. Akan tetapi, takdir harus merubah haluan hidupnya, bereinkarnasi ke dalam tubuh seorang villainness dalam game otome berju...