Tanda Tanya Pertama

16 1 0
                                    

Pagi hari. Taman Air Mancur. Satu jam sebelum perpulangan.

Kamala berdiri di dekat air mancur. Menengok ke sana kemari. Mencari dari sudut dimana Basma sering muncul. Hatinya resah. Perasaannya kacau.

Mana surat terakhir yang hendak Basma berikan?

Kamala hendak membacanya. Untuk yang terakhir kali. Untuk mengakhiri kesepakatannya kemarin dan kembali menikmati malam-malam panjang dengan jarak ribuan kilometer bersama Basma di ruang dunia maya.

Tapi semua sudah terlambat, Basma pergi malam itu juga. Bilang tentang alasan mengapa ia harus pulang sebelum jadwal yang ditentukan pada panitia. Maka dengan alasan itu juga, tanpa pikir panjang, panitia mengiyakan.

Basma pulang malam itu juga. Menaiki kereta yang ia pesan secepatnya. Mendapatkan tiket terakhir.

Sementara di pagi harinya, Kamala khawatir sekali. Kemana pemuda satu itu? Mana surat yang harusnya sudah sampai di tangannya dan mengakhiri permainan ini?

Kamala tidak pernah mendapatkannya. Bahkan hingga dirinya sudah naik kendaraan menuju bandara. Saat duduk termenung menunggu pesawatnya. Saat menatap kosong langit dari balik jendela pesawat. Hingga sampai di kota kelahirannya. Merebahkan dirinya di atas kasur. Matanya tidak bisa terpejam. Hati dan pikirannya terus terjaga.

Kamala masih tidak mempercayainya. Kemana perginya Basma?

Masa bodoh dengan permainan ini, Kamala bergumam kesal. Membuka hpnya. Mencari nama Basma. Bergegas meneleponnya.

Satu kali nada dering terdengar. Tidak dijawab.

Dua kali nada dering terdengar. Tidak dijawab

Tiga kali. Bahkan dari tadi hanya tertulis "Memanggil".

Malam itu, surat terakhir Basma tidak pernah tersampaikan. Lalu untuk bulan-bulan yang panjang, aksara Basma telah padam.

***

Dini hari. Rumah Basma. Satu bulan setelah kematian ibunya.

Di bawah remang cahaya bulan yang menelisik melewati jendela. Basma menulis di buku diary-nya. Satu bulan yang membuatnya sangat terpukul. Satu bulan yang membuatnya melupakan segalanya.

Ibu, Apa kabar?

Adik disini baik-baik saja. Ibu tak perlu khawatir.

Satu bulan semenjak ibu berpulang, adik tidak tahu hendak melakukan apa. Sepenuhnya jiwa adik dikuasai oleh kesedihan, oleh rasa rindu yang tak berkesudahan. Adik bingung bagaimana caranya bangkit dari semua ini. Tapi setidaknya rasa sayang ibu tidak akan mati dan tetap abadi dalam masa.

Ibu, aku akan menjadikan kita abadi dalam kata-kata.

Adik berjanji, di sana ibu akan tersenyum melihat adik tumbuh.

Basma menghela nafas. Apakah ia harus tenggelam dalam kesedihan ini? Tapi tentu, semua ini butuh waktu. Maka Basma hanya akan pasrah saja. Apa yang bisa ia perbuat sekarang? Tentang keikhlasan dan pengorbanan yang telah ibu Basma ajarkan kepadanya sepenuhnya Basma coba terapkan.

Lalu, hei. Bagaimana dengan Kamala? apakah Basma masih memikirkannya? Sejauh ini belum. Perasaan itu tertahan sejenak semenjak kepergian ibu Basma. Maka malam-malam panjang dilewatinya dengan tidak dulu memikirkan hal itu.

Tapi bukankah permainan ini belum selesai? Basma akan tetap memegang janjinya. Surat terakhirnya belum terkirimkan, bukan? Basma mengeluh tertahan. Sejenak, ia mengingat sesuatu.

Basma membuka tasnya. Tas yang sejak acara itu sebulan lalu ia bawa. Memindahkan beberapa tumpukan dokumen dan alat peraga ke luar. Mengeluarkan satu dua buku. Hingga sampai pada secarik kertas terlipat dengan tulisan "Untuk Kamala. Surat terakhir".

Surat terakhirnya. Kalimat pamungkasnya. Semuanya ini masih belum sampai pada Permata Senyuman.

Surat SenyumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang