Surat pertama, dari Basma untuk Kamala.
Satu senyuman untukmu, Kamala.
Aku menuliskan surat ini jauh sebelum akhirnya kita bertemu di acara itu. Saat ini, dalam gemuruh hujan dan angin yang mengetuk jendela rumah. Aku tetap memiliki harapan untuk bertemu padamu. Dalam versi apapun itu. Baik dari pandangan pertama yang membahagiakan atau menyedihkan. Setidaknya aku ingin bertemu denganmu. Dan mungkin sekalinya kita bersitatap, aku akan mengerti. Aku pernah bertemu denganmu. Entah bagaimana nanti takdir menjalankan kehidupan kita, setidaknya aku pernah bertemu dan melihat senyumanmu secara langsung.
Hingga nanti selepas surat ini kau baca. Aku hanya ingin bilang, senyummu itu candu.
Kamala menutup suratnya dengan tersenyum. Menulis surat semacam ini indah. Kita mengharap-harap cemas bagaimana balasannya. Menuliskan semua perasaan kita selengkap dan seutuh mungkin. Hingga ketika surat ini tiba di orang yang dituju, sang penulis akan harap-harap cemas membayangkan reaksinya.
Persis yang terjadi pada Basma malam itu.
Basma tidak bisa tidur. Membayangkan bagaimana reaksi Kamala ketika membacanya. Apakah dia suka? Apakah Kamala mau membalas suratnya? Banyak pertanyaan yang menumpuk di kepala Basma.
Di sisi lain, Kamala sudah mengambil secarik kertas dan sebuah pena. Bersiap menuliskan balasannya. Rencananya akan diberikan esok pagi sekali, sebelum kegiatan dimulai.
Maka, wahai pembaca yang budiman. Mereka benar-benar seperti kekasih di masa lalu. Mengungkapkan perasaan dan menuliskannya melalui surat. Harap-harap cemas dan khawatir dalam menanti jawaban. Sederhana tapi bermakna.
***
Pagi hari. Taman Air Mancur.
Kamala menyelipkan surat balasan di saku belakang. Menyembunyikannya. Dari kejauhan, Basma tersenyum dan melambai pada Kamala. Kemarin mereka berjanji untuk berangkat bersama menuju lokasi pelatihan.
"Aku punya sesuatu untukmu," Kamala menyodorkan sepucuk surat.
Senyum Basma mengembang. "Surat balasan, ya? Asikkk"
Basma sepanjang jalan menyapa siapa saja yang hendak berangkat menuju lokasi pelatihan. Tersenyum kepada siapapun. Garis wajahnya menyenangkan sekali.
"Kamu kenapa sih? Kelihatannya bahagia banget," Kamalam menyenggol lengan Basma.
"Habis dapet doorprize soalnya," Basma menunjukkan surat balasan itu.
"Aih, jangan dibaca pas pelatihan ya, nanti kamu malah senyum-senyum sendiri dikira gila," Kamala bergurau.
Tapi surat itu benar-benar dibaca ketika pelatihan.
Di atas panggung, narasumber kedua bersiap menyampaikan materinya. Basma mengetuk-ngetuk jarinya pada meja. Ia bosan sekali. Maka saat moderator mulai mengenalkan narasumber selanjutnya, Basma mengeluarkan secarik surat balasan itu.
Untuk Basma.
Satu bahagia untukmu, Basma.
Sebelumnya, rasanya aneh menulis di surat seperti ini. Aku baru pertama kali dan aku rasa ini pengalaman yang menarik, hihi. Apa yang hendak kutulis ya? Mungkin tidak banyak, sih. Tapi setidaknya semoga kau mengerti.
Basma, namamu unik sekali. Jarang kutemukan sesosok manusia dengan nama seotentik ini. Juga bagaimana kamu meromantisasi aksara yang kau buat cukup memikat hati pembacanya. Tak terkecuali aku. Aku sangat memaknai setiap kata-kata yang kau alamatkan kepadaku seperti halnya senyumku yang senantiasa menawan hatimu dan membuatmu candu, katamu. Tapi setidaknya, di surat pertama yang pernah aku tulis ini, aku mengucapkan terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Senyuman
RomanceBasma mengeluarkan sepucuk surat. Ada tulisan "Untuk Kamala" di bagian depannya. "Surat? Untukku? Apa isinya?" Kamala mengecek surat itu. Memeriksa setiap sisinya. "Aku punya permainan menarik. Selama kita berada di tempat ini. Selama kita mengikut...