Keputusan Cepat

18 1 0
                                    

Bulan menggantung di langit malam. Hanya suara derik jangkrik dan beberapa hewan malam yang terdengar. Selebihnya sunyi. Tidak ada aktivitas apapun di luar.

Tapi tidak dengan isi hati dan pikiran Kamala. Ramai sekali. Sibuk bertanya banyak hal.

Apakah ia masih menyukai Basma? Bisa dibilang iya. Ia masih menanti surat terakhir yang entah kapan datangnya. Tapi bagaimana dengan Hanan? Kamala bingung. Perasaan itu memang tumbuh perlahan. Atas berbagai waktu yang dihabiskan bersama dan masukannya yang membantu Kamala untuk bersemangat kuliah. Sungguh, Kamala bingung atas semua ini.

Ada hal menarik di malam itu. Bulan masih menggantung dengan gagah di langit. Tapi di kota lain, suara keramaian terdengar dari balik jendela. Beberapa orang masih ada yang menghabiskan waktu di warung kopi dalam gang itu.

Tapi tidak dengan isi hati dan pikiran lelaki ini. Dia daritadi sibuk menulis. Membaca ulang. Merasa tidak cocok. Membuangnya. Lantas mengambil secarik kertas baru. Menuliskannya kembali.

Hingga beberapa menit kemudian. Suara hpnya berdering.

"Halo, Basma?" Suara lelaki dari seberang terdengar.

"Iya? Ada apa?" Basma menjawab singkat. Menyalakan speaker mode. Tetap melanjutkan tulisan.

"Apa kabarmu?"

"Baik."

Lelaki itu menghela nafas, "Baiklah, aku harap dirimu memang benar-benar baik. Tapi aku ada satu berita menarik buatmu."

Basma diam. Sungguh dia sebenarnya tidak tertarik.

"Aku bisa mendengar suara pensil itu, Basma. Kau sedang menulis ya? Sastrawan muda kita ini memang lihai sekali merangkai kata-kata." Lelaki itu tertawa kecil. Memuji Basma.

Tidak ada tanggapan. Basma tetap menulis.

"Baiklah, baiklah. Langsung saja. Aku tidak mau menganggu waktu malam panjangmu yang kau habiskan bersama seluruh kata-kata itu. Tapi kau perlu tahu, aku menemukan Kamala. Dia saat ini satu kampus denganku, Basma. Aku juga tidak percaya saat berpapasan dengannya di kantin."

Basma menghentikan tulisannya. Mendengarkan maksud temannya lebih serius.

"Kau tidak bergurau kan, Randy?" Basma bertanya. Memastikan dirinya tidak salah dengar.

"Ayolah, Basma. Kau tahu aku tidak pernah bercanda soal perasaan bukan? Apalagi ini menyangkut dirimu dan orang lain yang sering kau ceritakan itu. Sekali lagi, biar jelas. Aku sungguhan melihatnya di kampusku." Randy menekankan kalimat akhir.

Lihatlah, setelah penantian panjang. Setelah bulan-bulan malam yang penuh kesunyian. Setelah ribuan jarak yang memisahkan antara mereka. Dan juga, setelah pertemuan terakhir mereka di senja kala itu. Juga surat yang tak kunjung diberikan. Basma mengetahui bahwa mereka tidak sejauh dulu lagi.

Maka besok pagi sekali, Basma memesan tiket keberangkatan pertama menuju kota itu. Meminjam informasi yang telah diberikan Randy, Basma tahu kemana ia akan turun. Kurang lebih sembilan jam perjalanan. Hingga Basma sampai di stasiun kota itu.

Nada panggil terdengar.

"Basma, aku minta maaf sebelumnya." Suara Randy terengah-engah.

"Ada apa, Randy? Kau habis berlari?"

"Benar, aku sedang mengejar bus menuju kota kita. Ada urusan keluarga. Dan doakan aku masih sempat. Nanti kubagikan lokasi kosanku, kau bisa menginap di sana. Agak jauh memang dari kampus, tapi setidaknya kau nyaman. Aku harus pergi."

Panggilan tertutup sebelum Basma menanggapi. Sepertinya Randy mengalami masalah serius.

Surat SenyumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang