Malam hari. Di kosan Randy.
Basma mengabaikan rasa sakit tubuhnya. Perasaannya berkecamuk tak menentu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasakan jatuh hati dan patah hati. Maka tentu saja perasaan ini benar-benar merenggut semuanya.
Apa yang bisa Basma lakukan? Membenci Kamala? Bilang bahwa ia telah mengkhianatinya. Tidak mungkin, Basma bukanlah orang yang seperti itu. Di satu sisi, dia memang sakit melihat hal tadi. Tapi di sisi lain, bukankah jika orang lain bahagia kita harus bahagia bukan? Untuk baik kepada orang lain supaya nanti orang lain baik ke kita, setidaknya itu yang menjadi pesan mendiang ibunya.
Basma mengambil secarik kertas dan pena. Ia ingin menumpahkan semuanya dalam sebuah tulisan.
Bu, anakmu ini benar-benar polos soal mencintai.
Entah darimana mulanya. Perihal menyukai seorang gadis yang nanti menjadi sebab senyum ibu ini sangat rumit untuk dikisahkan. Sulit sekali aku rangkai hingga menjadi sebuah kisah yang lengkap dan utuh. Aku tak sekuat Sri Ningsih dan Bahar, bu.
Entah apa pasalnya, anakmu harus dihadapkan pada satu suratan takdir yang menarik—untuk tidak dikatakan ironi. Dengan beragam kisah romansa keheningan dan selalu bergerak dalam senyap. Entahlah, bu, anakmu mirip seperti bapak. Sekalinya jatuh dalam kubangan perasaan yang sejatinya rapuh sekali, maka genaplah seluruh perasaan ini tertawan.
Maka ketika kubangan itu hancur dan surut semua air perasaannya, apa yang bisa anakmu lakukan? Berkelana untuk mengambil perasaan yang sempurna tertawan atau menumbuhkan harapan baru? Tapi bagaimana? Bukankah perlu waktu lama hingga tumbuh menjadi buah perasaan baru?
Ibu, bersabar ya. Anakmu akan terus hidup. Akan terus berjuang demi ibu. Untuk apapun itu. Demi senyuman ibu.
Malam itu, Basma menangis sejadi-jadinya.
***
Kembali ke taman itu. Tepat ketika matahari baru saja tenggelam. Senja berganti malam.
Kamala melambaikan tangan pada Hanan. Mengucapkan selamat tinggal. Bilang jangan lupa besok-besok membawa makanan yang banyak. Hanan hanya tertawa. Balas melambaikan tangan juga. Mereka berpisah.
Saat Kamala hendak melangkahkan kakinya keluar taman. Tepat sebelum ia benar-benar meninggalkan tempat itu. Kakinya menginjak sesuatu.
Kamala menunduk. Melihat ada sepucuk amplop yang sedikit banyak basah di setiap sisinya. Gadis itu mengambilnya. Melihat ada satu kalimat di bagian depat amplop itu. Tulisan tangan yang sangat ia kenali.
"Untuk Kamala. Permata Senyuman. Surat Terakhir."
Remang cahaya bulan menyinari. Suara hewan malam bersahutan. Angin dingin berhembus.
Kamala sempurna mematung. Air matanya menetes.
Apakah dia tadi di sini? Kamala menoleh ke sana kemari. Mencari di setiap sisi. Berjalan memutari taman. Mencari Basma. Benar-benar mencarinya. Ia merasa sudah sedekat ini.
Tangis Kamala pecah sekarang. Deras sekali.
Ia membuka amplop itu. Mengeluarkan surat yang sedikit basah. Air matanya menetes.
Untuk Kamala. Permata Senyuman. Surat Terakhir.
Aku menulis ulang surat ini, Kamala. Tapi ada beberapa tulisan yang sejatinya sama sejak aku menuliskan surat ini ketika kita hendak berpulang hari itu. Lalu aku menambahkan beberapa tulisan baru. Semoga kau menyukainya.
Kamala tidak bisa menahan tangisnya. Air matanya deras. Kamala sesenggukan. Ia tidak mengira ia akan membaca surat terakhir di waktu seperti ini. Dengan perasaan yang semakin redup. Dengan semua kenangan yang tertinggal di belakang.
Sejak dulu hingga saat ini, waktu memungut detik demi detik untuk merangkainya dalam kisah-kisah indah yang kita ciptakan. Angin berhembus perlahan meniupkan semua nafas yang telah kita serahkan sepenuhnya pada langit. Dan senja dengan rendah hati mengecup sanubari kita untuk tetap hidup dan menikmati hari-hari dimana kita akan melihatnya kembali.
Maka untuk semua yang telah terjadi, aku rasa ini adalah sebuah suratan takdir yang indah. Lengkap dengan keajaibannya. Semua ini seolah menjadikanku bersyukur atas semuanya. Atas malam dimana kita pertama bertemu. Atas surat-surat yang mewakili perasaan masing-masing kita. Dan atas kebahagiaan yang kita salurkan melalui senyuman dan tawa.
Maka biarlah kisah kita mengalir seperti air. Aku minta maaf telah membuatmu menunggu selama ini. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu tentangku. Apakah masih sama? Sejatinya itu sepenuhnya hakmu. Dan aku berusaha untuk tidak mencampuri urusan perasaanmu.
Bagaimana kabarmu? Aku harap kau baik-baik saja. Seperti senyumanmu yang selalu membawa tenteram hati. Maka atas semua kisah ini, aku hanya ingin bilang terima kasih sebanyak-banyaknya.
Aku memang tidak tahu bagaimana kisah kita kedepannya. Bagaimana kisah akhirnya. Apakah 'bersama' menjadi pilihan yang takdir berikan untuk kita ataupun sebaliknya? Tapi jika nanti akhir dari kita adalah rasa pahit yang membuat ribuan genangan tangis, maka tak apa. Setidaknya walau epilog ini berjalan menyakitkan, aku telah menuliskan bab-bab sebelumnya bersamamu seindah mungkin.
Tapi setidaknya satu hal, selama apapun waktu yang dibutuhkan, aku tetap ingin bertemu denganmu. Maka dalam kondisi apapun kita nanti, aku akan tetap menghargainya.
Akhir kata,
Panjang umur hal baik buatmu.
Kamala menutup surat itu. Surat yang bertambah bercak basah karena air matanya.
Malam ini, purnama menjadi saksi atas semuanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/353076167-288-k789804.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Senyuman
RomanceBasma mengeluarkan sepucuk surat. Ada tulisan "Untuk Kamala" di bagian depannya. "Surat? Untukku? Apa isinya?" Kamala mengecek surat itu. Memeriksa setiap sisinya. "Aku punya permainan menarik. Selama kita berada di tempat ini. Selama kita mengikut...