Tak hanya merasa tercekat, So Eun pun merasakan ada yang tak beres dengan degup jantungnya. Tapi, rasa seperti ini tak akan dibiarkan olehnya.
"Berdekatan, bahkan bersentuhan tangan seperti ini, tentu memberikan efek. Tapi, aku yakin kalau hanya sebatas debaran saat itu saja. Maaf mengecewakanmu, Myung Soo.""Oke, tak masalah." Myung Soo coba tersenyum, ia mesti benar-benar belajar mengendalikan perasaan dan emosinya.
"Kau bilang akan melakukan apapun yang kuminta karena aku membantumu. Bisakah berhenti mengatakan suka? Kau sudah terlalu sering mengatakannya sejak di Araial do Cabo."
"Jika itu yang kau minta, baiklah. Aku akan melepaskan genggaman ini, sudah merasa lebih baik."
"Oke." So Eun tersenyum, dan di saat itu, perahu mulai bergerak karena kursi penumpang sudah penuh. Ia pun terpikir hal lain untuk dijadikan bahan obrolan. "Penduduk Dubai dulu, menetap di sebuah pemukiman kecil di tepi sungai. Menyambung hidup sebagai nelayan dan penyelam mutiara. Sejak ditemukannya sumber minyak, Dubai pun berubah drastis. Dari kota kecil di tepi sungai, menjadi kota pelabuhan modern dan pusat komersial."
"Sekarang, gedung-gedung pencakar langitnya membuat takjub, ada yang memecahkan rekor sebagai gedung tertinggi," sambung Myung Soo.
"Bukan hanya menara tertinggi, ada ratusan pulau buatan juga."
"Megah, mewah, itu gambaran Dubai sekarang."
"Dan kau memilih Old Dubai untuk dijelajahi." So Eun tertawa kecil. "Oh ya, kau bilang mau beli sesuatu, apa itu?"
"Terpikir membelikan sesuatu untuk nenekku."
"Oh."
"Aku jarang bertemu dengannya, tapi pasti bertemu setiap peringatan kematian kakekku dan juga ayahku. Halmoni sudah meminta maaf dan sebisa mungkin bersikap baik, tapi aku ... aku masih saja merasa ada sekat, hingga tetap membuat jarak dan itu sangat canggung. Aku bahkan hanya bisa menunduk setiap berhadapan dengannya. Sekat itu, harus kusingkirkan, bukan?"
"Aku iri padamu, sepertinya masa lalu tak lagi jadi beban."
"Aku tidak melakukannya dalam semalam. Kau juga pasti bisa."
So Eun tersenyum, kepalanya sedikit tertunduk. "Menghapus sakit hati, aku ingin sekali. Untuk itu, perlu berpikiran positif. Tapi, menerapkan berpikir positif atau apapun nama konsepnya, terasa seperti teori belaka."
"Itu benar. Nasihat untuk berpikir positif, optimis, jangan overthinking, itu semua konsep abstrak, justru masalahnya kita juga terjebak dalam hal-hal seperti itu dan butuh jalan keluar."
"Benar, 'kan? Kau berpikiran sama?"
Myung Soo mengangguk. "Tapi, ada langkah konkret yang bisa dilakukan. Misalnya, fokus melakukan sesuatu, menikmati momen tertentu, itu cukup membantu. Mungkin tidak menyadarinya, tapi kau sudah melakukan itu ketika bekerja."
"Benar juga, setidaknya saat itu aku merasa baik-baik saja. Tapi, itu sama sekali tidak membuatku baik-baik saja ketika ... aku tak perlu menyebutnya, kau sudah paham."
"Makanya harus melakukan hal lain juga. Menghadapi, bukan menghindar. Berikan juga kesempatan pada dirimu untuk masuk ke dalam situasi serupa, namun dengan orang-orang yang berbeda. Itu bisa membantu untuk membentuk perspektif baru."
"Aku mengerti arah pembicaraanmu. Kupikir-pikir dulu."
"Setidaknya, kau mau memikirkannya."
"Sudahlah. Jadi, sesuatu yang mau kau beli itu apa?"
"Hmm, entahlah. Apa bagusnya?"
"Astaga, kita tak punya banyak waktu untuk mengelilingi pasar. Tentukan mau beli apa, supaya bisa langsung mencari."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey of Love [Completed]
Fanfictionpetualangan Myung Soo dan So Eun menjelajahi tujuh keajaiban dunia 😃