بسم الله الرمن الرحيم
Maaf update-nya lama juga part ini huhu.
***
Syanaz mengikuti mobil Alfaaz yang melaju begitu cepat hingga akhirnya berhenti di sebuah rumah besar dengan pagar yang menjulang tinggi. Ia turun dari motornya, lalu berlari menyusul Alfaaz yang sudah memasuki pekarangan rumah tersebut.
"Kak, aku harus masuk?" tanya Syanaz ragu yang membuat Alfaaz berhenti sejenak sekedar untuk mengangguk. "T-tapi mau ngapain? Ini rumah siapa? Kak Al gak akan macem-macem, kan?"
"Syanaz, ayo."
Syanaz tersadar dari lamunannya. Ia melangkah dengan ragu. Ketika masuk, muncullah dua orang pemilik rumah tersebut.
"Masya Allah, kamu ikut?" ucap salah satu dari keduanya dengan raut terkejut sekaligus tersirat kesenangan.
Syanaz tersenyum lega. "Iya, Om." Rupanya ini milik Jindan.
Perempuan itu beralih menatap seseorang yang berdampingan dengan Jindan. Sudah Syanaz duga, pasti wanita cantik yang merupakan psikolog itu istri dari Jindan. Ameena, namanya.
"Nanti aja, ya, kita kenalannya. Sekarang ayo susul Alfaaz." Ameena menarik lembut lengan Syanaz. Dan Syanaz menurut saja saat keduanya membawa dirinya sampai tiba di depan salah satu kamar.
Kedua mata Syanaz membelak menyaksikan Alfaaz tengah berpelukan dengan seorang gadis berambut panjang di dalam kamar yang berantakan itu. Apakah itu mahram Alfaaz? Syanaz sangat sulit berpikir positif kepada Alfaaz kali ini.
Terlihat Alfaaz tengah menenangkan gadis itu. Syanaz tertegun. Menyadari keterkejutan Syanaz, Jindan berbisik. "Mungkin kamu baru liat adiknya Alfaaz yang satu ini, ya?"
Syanaz menoleh lebih terkejut. "Adik?"
"Namanya Adiba. Dulu dia gadis yang ceria, senang belajar, penurut. Tapi, semenjak orang-orang yang dia sayangi satu per satu pergi, kesehatan mentalnya terganggu, Syanaz. Kepergian Abi-nya, Bunda-nya, dan adik terkecil mereka, Syatir." Jindan menjeda sebentar kalimatnya. "Selama ini Adiba sengaja tinggal bersama Om dan Tante Ameena agar Adiba nggak terlalu diingatkan dengan keluarganya yang udah gak ada kalau dia tinggal di rumahnya. Dan agar Tante Ameen bisa membantu kesembuhan keponakan kami itu."
"S-siapa itu?"
Pertanyaan itu mengalihkan atensi semua orang, terutama Syanaz. Adiba yang seumuran dengan adiknya—Aqil—memandangnya was-was. Maka Alfaaz memberikan isyarat agar Syanaz mendekat.
Tanpa ragu, Syanaz melakukannya.
***
Besok Alfaaz harus meng-khitbah Kamila.
Ya, ini fakta yang baru saja Alfaaz terima. Berulang kali Alfaaz menghela napas berat, berjalan kesana-kemari, dan mengusap wajahnya kasar. Jindan yang memperhatikannya ikut prihatin. Untung saja Syanaz masih sibuk berkenalan dengan Adiba ditemani Ameena di dalamnya.
Malamnya sepulang dari rumah Jindan, Alfaaz mengambil air wudhu. Ia melaksanakan rokaat dengan syahdu. Mengangkat kedua tangan di keheningan sepertiga malam kala manusia lainnya masih terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alfaaz Al-Mumtaz
SpiritualSetelah wafat ayah handa, kakek yang mengasuhnya. Disusul kepergian ibunda tercinta, hingga paman pun turut menjaga. Bukan, dia bukan Muhammad yang hidup bersama Abdul Muthalib setelah Abdullah dan Aminah tiada. Dia adalah Alfaaz Al-Mumtaz. Sesosok...