بسم الله الرمن الرحيم
Cie yang masih setia baca walau up part ini lama.
Jangan lupa vote dan komen!
***
Bandung, 2023.
Lelaki dengan pakaian bernuansa putih itu duduk tegap penuh keyakinan menghadap Hisyam yang kini terlihat menahan air mata karena tinggal hitungan detik lagi putrinya tak lagi sepenuhnya milik dia.
Alfaaz tak bisa mengatur degup jantung yang semakin berdebar ini. Acara pembukaan disertai lantunan ayat-ayat suci telah dilangsungkan. Ada Aqil yang wajahnya turut menegang bersama Elfaiz di sebelahnya.
"Saudara Teuku Alfaaz Al-Mumtaz bin Ibnu Athaillah Muzaki, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri saya yang bernama Naura Syanaz dengan maskawin berupa emas 55 gram, dibayar tunai!" Hisyam menghelakan napas.
"Saya terima nikah dan kawinnya Naura Syanaz binti Ahmad Hisyam Abrisam dengan maskawin tersebut, tunai!"
Alfaaz berhasil melakukannya dengan lantang dalam satu tarikan napas. Ketegangan lelaki itu berubah menjadi tangisan yang jarang ia tampakkan. Tangannya yang ia angkat untuk berdoa bersama dibanjiri tetesan yang enggan untuk berhenti. Ada segaris senyuman dibaliknya.
Tidak tahu kenapa, bukannya setelah halal Alfaaz akan tenang menatap dan menyentuh Syanaz. Namun justru sebaliknya, Alfaaz merasakan kegugupan bahkan ketika perempuan itu mulai berjalan ke arahnya dengan gaun putih dan make up yang terlihat natural.
"Masya Allah, cantiknya buat saya nggak rela untuk berkedip walau hanya satu detik," bisik Alfaaz hingga Syanaz merasa kakinya tengah melayang-layang di atas awan.
***
Setelah melewati hari yang panjang, duduk-duduk di pelaminan selama berjam-jam, sekarang Alfaaz dan Syanaz sudah berada di rumah baru mereka yang bertempat di komplek perumahan dekat dari rumah sang ayah.
Alfaaz memang sengaja tidak langsung mengajak Syanaz untuk tinggal di ndalem karena beberapa alasan.
Diam-diam Syanaz meneguk ludahnya sendiri saat ia membuntuti Alfaaz yang membuka pintu kamar mereka.
"Silakan, masuk." Alfaaz tersenyum.
Sudah dua kali Syanaz melihat senyuman Alfaaz yang berbeda dari biasanya. Senyum yang hanya Alfaaz berikan kepada perempuannya. Pertama, setelah akad dan kedua, saat ini.
"Kakak mau mandi?" tanyanya ketika Alfaaz mulai membuka peci dan jam tangan lelaki itu.
"Iya. Atau mau kamu duluan? Soalnya, saya butuh waktu tiga puluh menit di kamar mandi."
"Hah? Kok lama banget? Ngapain aja?" Syanaz terheran-heran.
"Kamu mau liat?"
Seketika Syanaz melotot dan memalingkan wajahnya yang sudah merah padam membuat Alfaaz terkekeh gemas. Perempuan itu langsung duduk di depan meja rias, hendak membersihkan riasannya sebelum mandi.
Alfaaz mulai mendekat, sementara Syanaz pura-pura tidak melihat.
"Muka kamu kenapa merah gitu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alfaaz Al-Mumtaz
SpiritualSetelah wafat ayah handa, kakek yang mengasuhnya. Disusul kepergian ibunda tercinta, hingga paman pun turut menjaga. Bukan, dia bukan Muhammad yang hidup bersama Abdul Muthalib setelah Abdullah dan Aminah tiada. Dia adalah Alfaaz Al-Mumtaz. Sesosok...