بـســـــــم الله الرمن الرحيم
***
Sore ini Alfaaz baru saja mengakhiri kajian Shaf Hijrah setelah satu jam berlangsung. Untuk pertemuan sekarang, lebih banyak yang datang daripada yang sebelum-sebelumnya. Meski begitu, Alfaaz tidak menemukan Aqil maupun Syanaz disana.
Alfaaz keluar dari aula menuju mobilnya yang terparkir. Ia tak langsung melenggang, memilih bersandar di depan mobil kemudian menatap ke atas langit yang menampakkan perpaduan warna biru dan jingga. Cerah tetapi tidak secerah suasana hatinya.
Mau tak mau, Alfaaz harus membuat keputusan.
Ya, keputusan dalam memilih pasangan hidupnya kelak. Antara Syanaz dan Kamila. Masalahnya, keduanya merupakan pilihan dari masing-masing orang yang ia sayangi. Manakah yang harus dirinya pilih?
Saking terus menatap ke atas, Alfaaz tak sadar ada perempuan yang hendak menghampirinya dengan riang.
Namun, ketika tersisa beberapa langkah lagi, Amara tiba-tiba berhenti. Ia memejamkan mata serius hingga wajah galak Syanaz tergambar di benaknya kini. "PANTANG MENDEKAT SEBELUM AKAD!" ujarnya kala itu.
Seketika niat Amara hendak meminta nomor pribadi Elfaiz kepada Alfaaz urung. Ia memberenggut sebal. Salah Syanaz juga malah menceritakan bahwa Alfaaz mempunyai kembaran, pikirnya.
Berhubung Amara sadar kalau ia sudah tertangkap oleh penghilatan Alfaaz, akhirnya ia memilih menghampiri bersamaan dengan Alfaaz yang menegakkan tubuhnya.
"Assalamu'alaikum, Gus. Eh, gus atau ustaz, ya, manggilnya?"
"Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Saya gak masalah mau dipanggil apa aja." Ia ingat bahwa dia temannya Syanaz yang pernah datang terlambat ke kajian.
"Ada apa?" tanyanya.
"Gus, Nanas sakit loh. Gak enak badan katanya. Ini saya juga mau jenguk. Gus gak mau sekalian?"
Alfaaz termenung. "Maksudnya, kamu mau nyari tumpangan?"
Amara tersedak ludahnya sendiri. Ia bukan memberitahu Alfaaz kalau Syanaz sakit agar keduanya bisa menjenguk bersama-sama sehingga Amara bisa menumpang di mobil Alfaaz.
"Ya ampun, saya masih punya ongkos kok, Gus. Maksud saya itu, Gus nya gak mau ketemu–eh, jenguk?"
"Nggak."
"O-oh, nggak, ya?" Amara kikuk. "Buset, cuek amat."
"Ya Rabb, sesungguhnya perempuan bernama Naura Syanaz tengah tertimpa rasa sakit, sedangkan Engkau Maha Penyanyang diantara para penyayang. Maka, sembuhkanlah ia dengan kasih sayang-Mu," batin Alfaaz yang tidak Amara ketahui.
***
"Gue udah sembuh."
"WHAT?! Lo bohongin gue, Nas? Katanya sakit?!"
"Ih, dibilangin udah sembuh juga." Syanaz membuka pelan-pelan koyo yang sempat ia tempel di kedua sisi keningnya. Baru saja ia keluar dari salah satu kamar, ikut duduk dengan Amara yang menunggunya di ruang depan. "Dapet apa lo abis dari kajian, hm?"
"Dapet ilmu dong! Lo mah ketinggalan," ujar Amara seraya mengangkat dan menggoyang pelan notebook A6 ke hadapan Syanaz. Padahal itu pemberian dari Syanaz sendiri.
"Tumben banget lo nulis. Mahasiswi kupu-kupu juga dulunya."
"Yeee, itu kan dulu. Sekarang gue udah berusaha buat berubah," Amara menggantung kalimatnya seraya menggigit bibir bawahnya. "pengen kayak lo yang cinta ilmu," lanjut Amara yang membuat Syanaz menahan tawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alfaaz Al-Mumtaz
SpiritualSetelah wafat ayah handa, kakek yang mengasuhnya. Disusul kepergian ibunda tercinta, hingga paman pun turut menjaga. Bukan, dia bukan Muhammad yang hidup bersama Abdul Muthalib setelah Abdullah dan Aminah tiada. Dia adalah Alfaaz Al-Mumtaz. Sesosok...