بسم الله الرمن الرحيم
***
2 bulan kemudian...
Dua bulan bukan waktu yang sebentar. Banyak yang berubah dalam kehidupan seorang Naura Syanaz.
Tak ada lagi anak-anak panti di sekitarnya. Tak ada lagi yang mengajaknya bermain di taman. Tak ada lagi yang merengek meminta dibacakan dongeng setiap malam karena saat ini Syanaz telah kembali ke rumah lamanya bersama Aqil.
Dan Hisyam.
Tidak bisa dipungkiri, ada rasa bahagia saat dirinya tinggal bersama lagi dengan sang ayah. Namun, yang membuat ia sedih ialah rumah tangga ayahnya itu yang kembali gagal.
Masih ada nikmat yang bisa Hisyam syukuri. Yaitu bisa kembali bersama-sama lagi dengan kedua anaknya.
Selama dua bulan ini pula, tepatnya semenjak kejadian yang menggagalkan khitbah antara Alfaaz dan Kamila, Syanaz kehilangan kabar lelaki berlesung pipit itu.
Syanaz menutup buku bacaannya agak keras disertai helaan napas panjang. Lantas ia bangkit dari duduknya menuju jendela di kamarnya dengan rambut yang dibiarkan terurai.
Perempuan itu membuka sedikit gorden, melihat hujan di malam hari yang membawa suasana sejuk.
Tok tok tok
"Masuk aja, Qil," ujar Syanaz.
"Ini Ayah. Boleh masuk?"
"Oh, Ayah?"
Baru masuk, Hisyam langsung menyodorkan ponsel miliknya, membuat Syanaz kebingungan.
"Alfaaz mau bicara sama kamu. Ayah udah ijinin kok. Nih." Hisyam berbisik seraya menampilkan senyuman lebar.
Dengan kikuk, Syanaz menerimanya. Hisyam berlalu dan kembali menutup pintu.
"Assalamu'alaikum."
Ah, kenapa sekedar salam saja membuat jantung Syanaz tak kalah cepat dengan kecepatan air hujan yang membasahi bumi kini?
"Wa'alaikumussalam."
Hanya itu yang bisa Syanaz jawab. Ia berlari kecil menuju ranjang dan mengambil boneka untuk ia peluk erat-erat.
"Saya ingin mengkhitbah kamu."
"Hah?!" Syanaz refleks menutup mulutnya. "T-tapi, kenapa mendadak kayak gini, Kak?"
"Ini nggak mendadak, Syanaz. Saya khawatir gak mampu lagi untuk memendam rasa yang udah saya jaga selama bertahun-tahun lamanya. Maka dari itu, saya berusaha untuk mengambil jalan yang halal. Saya ingin mengkhitbah dan menikahi kamu."
"Aku belum menjadi hafidzah 30 juz, bukan turunan kyai dan pemahaman agamaku belum luas, Kak."
Terdengar Alfaaz terkekeh kecil. "Saya mencari istri, bukan guru."
"Kalau saya mencari guru, tentu saya akan cari kayak yang kamu sebutin tadi," lanjutnya halus.
Segores senyuman tercipta di wajah Syanaz. Perempuan itu menunduk. Secara tidak langsung, Alfaaz akan menerima segala apa yang tidak dimiliki perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alfaaz Al-Mumtaz
SpiritualeSetelah wafat ayah handa, kakek yang mengasuhnya. Disusul kepergian ibunda tercinta, hingga paman pun turut menjaga. Bukan, dia bukan Muhammad yang hidup bersama Abdul Muthalib setelah Abdullah dan Aminah tiada. Dia adalah Alfaaz Al-Mumtaz. Sesosok...