17. Bandara

4.1K 694 70
                                    

Ini edisi belum diedit ya. Yang lebih rapi dan panjang ada di karyakarsa. Oiya, sekalian ngasih tahu, kalau cerita ini sudah tamat lebih dulu di karyakarsa ya. Well, anw, selamat membaca🥰

==

(n) Bandar udara, lapangan terbang, pelabuhan udara, pelabuhan kapal terbang, lapangan udara.

(n) kompleks landasan pacu dan bangunan untuk lepas landas, pendaratan, dan pemeliharaan pesawat sipil, dengan fasilitas untuk penumpang.

(n) tempat pertemuan dan perpisahan.

==

Aku langsung keluar dari selimut begitu suara roda koper menghilang dari ruangan. Sambil memikirkan apa yang baru saja kudengar, aku buru-buru keluar dari selimut. Merapikan selimut Pak Maheswara seperti sedia kala dengan kecepatan di atas rata-rata. Setelah merasa cukup, aku mengendap-endap di dekat pintu. Mendengarkan dengan seksama bahwa tak ada siapa-siapa di luar kamar.

Setelah lewat beberapa detik tanpa mendengar suara dari luar, aku memberanikan diri untuk melongok keluar. Aku bergerak meninggalkan kamar Pak Maheswara begitu tahu tidak ada siapapun di luar sambil memikirkan alasan apa yang akan kugunakan ketika bertemu Pak Maheswara.

"Kata Dirga kamu tidur di sofa." Satu suara mengagetkanku ketika aku menuruni tangga. Suara itu milik pria yang beberapa bulan terakhir begitu menguras perhatianku.

"Saya ke atas nyariin Pak Dirga. Tapi malah nyasar saking luasnya rumah bapak," jawabku. Mengucapkan ide yang melintas di kepala.

Dia mengangguk-angguk sebelum mengatakan, "Saya pikir, kamu disembunyiin Dirga di kamar."

Tunggu dulu, apa Pak Maheswara sedang cemburu? Setelah mendengarkan pengakuan sukanya, aku jadi mudah mengaitkan kata-katanya dengan perasaan itu.

"Nggak usah nethink ya lo." Suara bapakku terdengar dari ruangan lain. Dia kemudian melongokkan kepala. Senyumnya mengembang begitu mata kami bertemu, namun entah kenapa terasa berbeda. Tak ada ekspresi mengolok-olok di sana. "Lalita, bantu saya clean up meja ini. Sebelum si sindrom Peter Pan ngamuk."

"Maaf, Pak Maheswara, tugas negara memanggil," terangku sambil melangkah cepat menuju dapur. Mengabaikan Pak Maheswara yang tersenyum mencurigakan.

Bapakku langsung menunjukkan sisa pekerjaan yang ada di meja. Tidak ada perintah yang keluar dari mulutnya, dia hanya menggerakkan dagu bak majikan terhormat yang enggan bicara dengan babunya.

Aku melanjutkan mengemas sisa-sisa makanan. Sesekali melihat bapakku yang tubuhnya mulai bergeser ke arahku sedikit demi sedikit. Dari ujung meja hingga akhirnya dia tepat berada di sampingku.

"Harus bersih, Lalita. Mahes nggak suka kotor. Dia neat freak."

"Neat freak itu nggak bakalan suka traveling, Pak Dirga."

"Kamu sangat cetek, Lalita. Banyak orang yang cinta kebersihan suka travel. Mahes sekali travel ngabisin duitnya setara gaji dia setahun. Kenapa? Buat hotel terbaik, transporti ternyaman, dan tentu saja, pelayan-pelayan dengan nilai bintang lima untuk layanan kebersihan."

Ocehan panjangnya, membuat kecurigaanku timbul. Aku maju dua langkah padanya, memupus jarak di antara kami. "Kenapa bapak terus-terusan jelekin Pak Maheswara? Jangan-jangan ...."

Dia geragapan. Sepertinya prasangkaku benar, karena gestur tubuhnya menunjukkan gerakan yang begitu mencurigakan. "Jangan-jangan apa? Kenapa?" tanyanya gelagapan.

"Bapak masih ada cita-cita terselubung biar saya milih Pak Dewa, ya? Biar bapak bisa mendapatkan semua yang bapak inginkan?"

"Kalian belum selesai clean up-nya? Gue mau berangkat sekarang." Suara Pak Maheswara terdengar lebih dulu daripada jawaban bapakku. Mengusaikan perdebatan kecil kami.

BOSS IN MY RED ROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang