(a)Tidak benar, tidak betul, luput, cela, cacat.
(a)Keliru, menyimpang dari yang seharusnya, khilaf.
(a)Dengan cara atau arah yang tidak sesuai atau tidak diinginkan.
==
Hari ini aku dan Riandry sengaja pergi makan di luar kantor. Memilih menu bakso kuah cabai yang berada di deretan food court di belakang gedung. Sudah sejak beberapa hari lalu aku menginginkan makan pedas. Butuh yang pedas-pedas untuk menghilangkan stres.
“Lo stres kenapa?” tanya Riandry yang telah menandaskan makan siangnya. Wajahnya berpeluh dan hidungnya berair. Tak jauh beda dengan diriku yang kini tengah meneguk teh dingin untuk menghilangkan rasa terbakar di lidahku.
“Si bapak,” jawabku setelah meletakkan gelas. “Ndry, mau pesen eskrim nggak? Gue yang traktir. Makanan manis adalah penutup terbaik setelah makanan pedas.”
“Pengen apa?”
“Pilih yang lo mau.” Aku mengulurkan lembaran menu yang sejak tadi memang tidak meninggalkan meja. Menyuruhnya untuk memilih. Riandry memang paling pintar kalau urusan memilih makanan enak. “Lo sendiri stres kenapa?”
“Milih.”
Aku tahu apa yang dipusingkan Riandry, tapi aku harus pura-pura tidak mengerti. “Milih gimana? Masalah lo selama ini adalah lo yang generasi sandwich. Tulang rusuk yang terpaksa jadi tulang punggung.”
Dia sudah selesai memesan eskrim ketika memberiku jawaban, “Permasalahan ekonomi gue selesai tapi jiwa raga gue diabdikan pada seseorang.”
Aku melihat ke gerai yang menyiapkan es krim yang dipesan Riandry dan belum ada tanda-tanda bahwa pesanan kami akan segera tersaji. Dengan bibir yang masih tersisa rasa terbakar, aku mengomentari masalah Riandry. Setengah bercanda, setengahnya lagi serius. “Jangan bilang lo dinikahin CEO kayak di cerita-cerita roman 21 plus.”
Riandry melihatku tanpa kedip. Hampir lima detik dia melongo sampai akhirnya dia menggeleng berulang. Seakan menolak sesuatu yang ada di kepalanya. “Nggak sengeri itu juga. Nggak ada adegan 21 plusnya.”
“Jadi siapa?”
“Siapa maksud lo?” tanyanya balik. Mendadak jadi lemot.
“CEO yang bakal nikahin lo?” tanyaku berusaha terdengar penasaran.
“Ah itu.” Dia melihatku dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. Kami hanya saling menatap selama beberapa saat.
“Kalau lo nggak mau cerita juga nggak apa-apa, Ndry. Yang pasti, kapanpun lo butuh teman buat dengerin cerita atau masalah lo, gue siap sedia 24 jam buat lo. Gue tahu lo benci punya utang budi sama siapapun, tapi di kasus gue, selamanya, gue berutang budi sama lo. Lo tahu, kan maksud gue?”
Riandry masih melihatku tanpa berpaling. Mulutnya juga masih terkunci. Dia sepertinya tengah mengolah separagraf kata yang kulontarkan barusan.
“Maksud gue, ketika gue masih jadi sekretaris baru. Inget kan? Sekretaris lama Pak Aldy sama sekali nggak membantu? Dia ngajarin asal-asalan karena ngerasa udah selesai urusannya dengan kantor? Dan lo satu-satunya yang bantuin gue? Lo ajarin gue berbulan-bulan.”
“Gue cuman ajarin lo selama sebulan. Sisanya lo belajar sendiri.”
“But it means a lot for me. Utang budi satu itu, nggak bakal bisa dibales dengan apapun. Jadi, kapanpun lo butuh nangis, keluarin uneg-uneg, apapun itu. Gue selalu ada buat lo. Gue bisa jaga rahasia lo sampai mati.”
Pembicaraan serius kami harus usai karena eskrim yang sejak tadi dipesan akhirnya datang. Kami mengalihkan perhatian ke makanan penutup itu. menyendoki Vanilla choco cookies sundae. Fokusku sudah teralihkan sepenuhnya, lupa dengan pembahasan stres kami. Menikmati rasa dingin manis yang meleburkan pergi sisa terbakar akibat pedas.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOSS IN MY RED ROOM
RomanceKupikir pengganti Chief Financial Officer tak jauh beda dari Bapak Aldy. Berusia kurang lebih 50 tahun dan lebih suka sekretarisnya berbau minyak aromaterapi. Realita menjungkirbalik prediksiku karena CFO baru itu masih berusia 34 tahun dan lebih...