23. The Day After

3.3K 548 54
                                    

(n) tomorrow

==

23. The Day After

==

(n) tomorrow

(n) days after the ‘day’.

Aku telentang di ranjang, kepalaku berdenyut keras. Syaraf-syaraf di otakku sepertinya saling membentuk simpul rumit yang membuat perasaanku makin sulit di mengerti. Dalam keadaan terombang-ambing kebingungan, ponselku berdering. Satu panggilan itu berasal dari nomor Riandry.

Aku bangun dari ranjang sebelum mengangkat teleponnya. Membuka laptop lalu menyapanya. Alasan Riandry meneleponku lebih dulu pasti selalu berhubungan dengan pekerjaan. Sudah kubilang, bukan, kalau dia adalah sandwich generation bermartabat. Dia tipikal manusia yang amat sangat enggan-kalau bisa jangan sampai, punya hutang budi pada orang lain.

“Selamat pagi, Ibu Riandry. Ada yang bisa di bantu?” sapaku meniru suara costumer service.

“Lalita, bisa minta tolong nggak?” tanyanya dari seberang, suaranya terdengar panik.

“Anytime, Ndry. Kenapa-kenapa? Bapak lo ubah-ubah jadwal kerjanya kayak bapak gue?”

“Lo sibuk nggak hari ini? Ada janji atau nggak?”

Untuk pertama kalinya Riandry menyalahi dugaanku. Selama kami berteman, dering telepon di akhir pekan yang datang darinya selalu perkara pekerjaan. Tidak pernah perkara yang lain. Jangankan bertanya tentang kesibukan hari ini, bertanya tentang pakaian apa yang akan kukenakan untuk awal pekan saja tak pernah terucap dari mulutnya.

“Nggak ada janji,” jawabku lalu melanjut dengan kalimat sarkasme, “gue lagi nonton doraemon.”

“Lo bisa bantuin gue nggak?” pinta tolongnya langsung membuat tubuhku terlonjak dari kursi. Siap melakukan apa saja untuknya.

Dia satu-satunya sahabat yang kupunya setelah pengkhianatan Abel. Meskipun aku sering tak dianggap sahabat oleh Riandry—dia hanya melihatku sebagai teman kerja saja—hari ini aku akan membuatnya terikat padaku. Aku akan menyerahkan jiwa dan ragaku untuk menolongnya. “Tentu saja. Bilang apa yang lo mau.”

“Tiga jam lagi gue nikah, jadi lo bisa nggak jadi bridemaid gue?”

Informasinya membuatku tidak bisa berkata-kata selama beberapa detik. Menikah tiga jam lagi? Maksudnya benar-benar menikah? Dengan Pak Rama?

“Lalita?” panggil suara dari seberang. Ada ragu dalam suaranya, seolah-olah takut aku telah menutup sambungan telepon.

“Ya.” Aku cepat-cepat menjawab. Segera sadar sebelum Riandry mengurungkan niatnya dan mencari orang lain. “Kirim saja alamatnya. Gue harus ke mana. Oh iya, gimana dengan pakaiannya?”

“Pakai saja yang sopan. Sorry, nggak ada baju yang gue siapin. Gue juga pakai yang ada di lemari. Yang paling masuk akal.”

Apa-apaan ini? Kenapa Pak Rama kurang modal banget jadi laki-laki? Padahal dia jelas-jelas bawa semilyar hari itu. Masa acara nikahan sendiri nggak modal sih?

“Oke. Gue tahu harus apa. Lo kirim alamatnya sekarang dan gue pastikan gue sampai sana secepatnya.”

Aku menyambar barang-barangku yang ada di depan meja rias. Memasukkan semuanya ke dalam tas sebelum turun.  Tak lupa pula membawa kotak riasan yang pernah tinggal di sisiku ketika aku sibuk di Underplay. Setelah melihat alamat yang dikirimkan Riandry, aku masuk ke dalam mobil. Meminta salah satu sopir papa yang hapal jalan pintas untuk mengantarku ke sana.

Dalam perjalanan menuju ke tempat Riandry, aku mencari beberapa MUA di sekitar alamat yang dikirimkannya. Melihat foto-foto hasil jepretan mereka sebelum akhirnya mengurutkan siapa yang paling dulu harus kuhubungi. Kalau semua tak bisa diundang secara mendadak, mau tak mau aku yang harus memberikan Riandry riasan.

BOSS IN MY RED ROOMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang