"Mukanya kelihatan jahat," ucap Freya mengomentari wajah Jessi dari foto yang Flora dapatkan di menfess sekolah itu. "kaya tokoh antagonis yang suka bully orang di film."
Flora tertawa keras. Freya terlalu jujur jadi manusia.
"Tapi cantik, sih. Kalau dari cerita Kakak kayanya dia bukan orang yang macem-macem," lanjut Freya terkekeh. Flora tadi menceritakan pada Freya soal sikap Jessi selama mereka bertemu beberapa hari ini. "Kalau Kak Flora gak mau, buat aku aja."
"Ck, pacar lo mau dikemanain?" Flora lanjut memakan keripik kentang sambil menonton televisi sementara Freya tertawa lagi.
Sekarang mereka berdua sudah ada di rumah dan sedang bersantai sambil menunggu waktu makan malam tiba. Flora sedang duduk di sofa dan sibuk makan sementara Freya berbaring di pangkuannya sambil bermain ponsel--setelah sebelumnya benar-benar makan es krim lima bungkus.
Dan faktanya, mereka memang kakak beradik.
"Hm, tapi wajahnya kaya gak asing gak, sih, Kak?" tanya Freya masih mengamati foto Jessi. Flora jadi menoleh ke arahnya dengan penasaran. "Rasanya aku pernah lihat, tapi lupa di mana."
"Pernah ketemu?"
"Entah. Tadi siapa namanya?"
"Jessi. Jessica Chandra," jawab Flora.
"Gak, deh. Gak pernah denger namanya." Freya mengendikkan bahu dan menyerah. Dia segera keluar dari aplikasi itu dan beralih membuka game masak-masakan. Flora memutar mata lelah. "Tapi beneran kaya pernah lihat. Mukanya familiar, tapi namanya enggak."
"Salah orang kali," ucap Flora.
"Mungkin, ya."
Freya sudah sibuk dengan ponselnya lagi. Flora membuang napas pelan dan kembali menonton televisi, tetapi pembicaraan soal Jessi ini membuatnya sedikit tidak fokus.
Kalau dipikir baik-baik, bukankah semua yang terjadi terlalu mendadak? Flora bahkan tidak pernah sekali pun berinteraksi dengan Jessi sebelum ini tapi bagaimana bisa Jessi menyatakan bahwa dia menyukai Flora? Ditambah lagi, sikapnya yang terkesan memaksa dan terburu-buru itu membuat Flora berpikir kalau Jessi memang sedang terikat sebuah taruhan.
Akan tetapi, setelah Flora melihat Jessi pingsan di upacara tadi dengan raut muka dan obat asing itu, bias lain mulai muncul di kepala Flora.
"Fre, kalo misal lo sakit terus dokter bilang waktu lo gak lama lagi, apa lo bakal confess ke orang yang lo suka?" tanya Flora lirih.
"Hm? Kenapa nanya gitu?"
"Pingin aja."
"Aku, sih, iya. Aku gak mau mati sia-sia. Sekalipun nanti ditolak seenggaknya perasaan aku tersampaikan," jawab Freya.
Freya mengatakan itu sambil bermain game, tampak tidak serius dan tak acuh, tetapi berkat jawaban Freya, Flora jadi menyadari kalau ada kemungkinan semua orang memikirkan hal serupa kalau mereka tahu hidupnya akan segera berakhir.
Sial.
Flora jadi sedikit khawatir.
•••
Cuaca terik, kipas angin di kelas mati, dan jam kosong.