"Dari sekian banyak orang di sekolah, kenapa gue harus ketemu lo terus?!" tanya Flora tajam begitu dirinya berpapasan dengan Jessi di perpustakaan. Mereka tidak hanya berdua karena kebetulan kelas meraka masing-masing sedang ada di sana secara bersamaan.
"Orang bilang kalau gak sengaja ketemu sebanyak tiga kali tandanya jodoh," bisik Jessi pada Flora.
"Basi," balas Flora melengos pergi. Dia sedang mencari buku yang membahas soal VOC untuk melengkapi rujukan tugas peminatan sejarah.
Melihat Flora menjauh, Jessi mengikutinya dengan senang sambil terkekeh kecil. Flora selalu memutar mata, mengela napas, dan memasang muka malas saat berusaha menjauh dari Jessi. Menurut Jessi itu lucu.
"Jessi, mendingan lo ngerjain tugas juga daripada ngikutin gue mulu," desis Flora.
"Gue cuma mau nemenin lo, Flora. Lagian gue udah dapet apa yang gue cari." Jessi menunjukkan sebuah majalah lokal pada Flora. "Bu Rena minta buat nyari contoh berita di majalah."
"Nyari doang?"
"Sama analisis kerangka berita, sih, tapi--ck, gampang, lah, itu nanti. Masih ada banyak waktu, Bu Rena juga izin gak masuk. Hari ini kelas gue belajar mandiri." Jessi tersenyum bangga. "Itu lo buat tugas sejarah, 'kan? Biar gue bantu, gue udah hapal di luar kepala."
Flora menghembuskan napas lelah, dia mulai menyadari kalau mengusir Jessi adalah sebuah kesiasiaan. "Terserah lo."
"Topiknya apa?"
"VOC."
"Nah, bakal susah dan capek banget kalo lo nyari buku yang khusus bahas organisasi itu. Jadi, caranya lo harus cari buku sejarah Indonesia. Sini." Jessi menarik tangan Flora dan menuntun langkahnya melewati beberapa rak. Flora terdiam, dia ingin menolak tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Kakinya melangkah beriringan bersama Jessi. "Oke, di sini. Buku yang ini apa, ya, kalau gak salah."
Jessi mengambil dua buah buku dari rak atas dan tersenyum lagi karena intuisinya benar. Jessi lalu membawa Flora ke meja diskusi terdekat dan membuka buku itu.
"Ini, Flo. Bener, 'kan, gue bilang juga apa." Jessi memutar buku itu menunjukkannya pada Flora. "Udah, percaya gue. Pak Boby yang saranin buku ini ke kelas gue waktu itu. Lo tahu sendiri, 'kan, Pak Boby guru senior? Jadi udah pasti sumber ini terpercaya. Guru sejarah lo Pak Boby, bukan?"
"Bukan. Bu Gracia."
"Nah, pas. Pake aja buku ini buat rujukan. Ini lebih lengkap dari modul yang dikasih sekolah," jelas Jessi, mengutip kata-kata dari Pak Boby.
"Hm, oke," gumam Flora. "Makasih."
"Sama-sama." Jessi tersenyum, merasa senang telah membantu Flora. "Kalau gitu gue balik sama anak-anak di depan, ya."
"Tunggu." Flora menahan lengan seragam Jessi, membuat Jessi urung melangkah. Gadis berambut panjang itu berkedip bingung menatap Flora. "Lo boleh belajar sama gue di sini kalo mau."
Mata Jessi melebar. Flora lantas melepaskan cengkeramannya dan membuang muka, dia segera menarik kursi dan duduk di sana tanpa menunggu jawaban Jessi.
Senyuman Jessi yang belum hilang kini bertambah lebar. "Flora," ucap Jessi dramatis sambil mengusap air mata yang tak benar-benar ada. Namun, Jessi juga tahu alasan mengapa Flora menjadi lebih lunak adalah karena pengakuannya pagi tadi. "Makasih, Flo, tapi lo gak perlu perlakuin gue kaya--"
"Ini kesempatan," potong Flora tanpa menoleh, "gue gak akan kasihani lo kaya yang lo minta, tapi gue tetep punya hak buat nentuin lo pantes atau gak dapetin hati gue. Jadi, gue kasih lo kesempatan."