"Eh." Jessi memicingkan mata untuk melihat lebih jelas sebuah mobil yang tampak tak asing baginya tengah terparkir di halaman rumah Flora. Karena keberadaan mobil itu, mobil Jessi jadi tidak bisa masuk. Jessi akhirnya menepikan miliknya di depan rumah Flora.
"Kenapa lo?" tanya Flora heran melihat gelagat Jessi seperti maling.
"Itu mobil siapa?" tanya Jessi menunjuk mobil putih yang terparkir di depan garasi.
Flora menengok sekilas. "Oh, mobil pacarnya Freya."
"HAH?!"
"Apa, sih?! Kaget gue, Jamet!" Flora terjengat kaget dan memukul lengan Jessi.
"A-adik lo itu punya pacar?" tanya Jessi tak percaya. "dia umur berapa, woi? Bukannya dia masih SMP, ya?"
"Udah SMA." Flora memutar mata malas. "Lo lihat, 'kan, waktu itu dia pernah jemput gue pulang sekolah naik motor? Gue gak bakal biarin bocah SMP naik motor kali."
"Kalian kembar?"
"Beda setahun."
"Wah ..."
"Apa yang wah?" Flora menatap Jessi heran.
Jessi menggeleng dan terkekeh. "Keren juga nyokap lo."
"Maksud?!"
"Ahh, Flora, jangan marah-marah terus nanti gue makin naksir. Astaga gemesnya, pingin gue kantongin. Ahh!" Jessi menutup wajahnya salah tingkah karena setiap ekspresi yang dibuat Flora benar-benar menggemaskan baginya.
Flora mengerutkan kening prihatin. "Sawan beneran kayanya."
"Flora, besok kita berangkat bareng lagi, ya?"
"Gak," tolak Flora mentah-mentah. Gadis itu segera melepas sabuk pengaman dan bersiap pergi. Namun, balasan Jessi membuat gerakannya terhenti.
"Katanya lo mau kasih gue kesempatan?" ucap Jessi menuntut. Jessi tersenyum karena berhasil membekukan pergerakan Flora. "gue punya hak buat gunain kesempatan itu, 'kan?"
Flora mendengus kesal. Siapa sangka Jessi malah membalikkan situasi? Harusnya rencana ini menguntungkan Flora saja, malah yang terjadi adalah Jessi memanfaatkannya dengan baik. Kalau sudah begini namanya senjata makan tuan. Karena tidak mau rugi, Flora segera memutar otak agar benefit yang didapatkan tidak berat sebelah.
"Ck, oke. Tapi, gue punya aturan," putus Flora. Dia menghadap ke arah Jessi sepenuhnya dan menunjukkan jari telunjuk, jari tengah, dan juga jari manis tangan kanannya untuk merepresentasikan angka tiga. "gue kasih lo tiga kesempatan. Gue bakal kabulin apapun yang lo mau kecuali jadi pacar lo, menggandakan kesempatan, dan ngelakuin hal yang gak bener. Terus, karena gue bukan orang baik, belajar di perpus tadi masuk hitungan jadi lo cuma punya dua kesempatan tersisa."
"Flora, Flora." Jessi terkekeh. "Oke, kalau itu kemauan terbesar lo. Berarti di luar kesempatan itu, gue masih bisa deketin lo, 'kan? Bedanya cuma kalau gue pakai kesempatan berarti lo harus nurut sama gue. Bener?"
"Iya. Di luar kesempatan itu, gue berhak nentuin iya atau enggak," tegas Flora.
"Iya, deh. Gue gak jadi nagih kesempatan kalau gitu, tapi besok gue bakal tetep nyamperin lo." Jessi tersenyum dan menaikturunkan alisnya percaya diri. "Mending lo juga tentuin jawabannya sampai sebelum gue dateng besok. Gini, 'kan, fair. Lo ngasih gue kesempatan, sementara gue ngasih lo pilihan."
"Ya, ya, terserah." Flora segera membuka pintu mobil Jessi setelah memastikan tak ada protes yang Jessi lontarkan. Akan tetapi, sebelum Flora menutup pintunya, ia menatap Jessi. "Omong-omong, makasih udah nganterin gue pulang. Hati-hati."