2. Body Perfumer

968 217 81
                                    

Gev menjalani hari dengan biasa saja meski kini tidak ada lagi Alannar dan segala perhatian yang pernah pemuda itu persembahkan.

Gadis itu masih rebahan di atas pembaringan. Menatap kamarnya yang temaram dan mendengar deru suara Commuter Line dari luar sana.

Apartemen Salemba memang berada tepat di seberang Stasiun Kramat. Suara kereta-kereta yang melintas sudah bukan hal yang baru. Begitu juga suara klakson dari kendaraan yang terjebak macet yang melingkupi Jakarta setiap harinya.

Gev ingin tidur lagi.

Ingin bermimpi bertemu Esmeniar dan melupakan segala pelik di dunia nyata. Namun, suara dering dari telepon unit apartemennya memecah niat. Gev bangkit, keluar dari kamar dan berjalan malas untuk meraih gagang telepon yang terletak di tembok dekat ruang TV.

"Halo?"

"Kak Gev, aku Julia. Ini ada yang kirim sarapan ke lobi. Mau diantar apa diambil?"

Gev terdiam sebentar, tak langsung menjawab pertanyaan dari Julia, sang resepsionis apartemen yang dandanannya suka cetar membahana. "Siapa yang kirim?"

"Mas ganteng."

Gev terdiam lagi, pasti Alannar yang kirim. "Alannar, ya?"

"Eh? Bukan, deh, kayaknya. Beda orang."

"Buat kamu aja, Mbak, sarapannya. Aku udah masak."

"Kak, tapi ...."

Gagang telepon kembali ke tempat semula.

"Ngapain kirim-kirim makanan. Dikira aku nggak bisa cari makan sendiri apa." Gev memutus telepon lalu menghela napas sambil rebahan lagi di atas sofa. Matanya mengarah ke balkon, menembus langit di luar sana. Tidak sedang berdoa buruk, dia senang kalau sibuk. Tapi tidak berharap hari itu akan banyak orang yang dilarikan ke Asvathama.

Sudah tiga tahun ini Gev menjadi karyawan tetap di rumah duka mewah itu. Namun, sebelumnya, sudah sejak usia 19 tahun Gev dengan berani melamar pekerjaan paruh waktu di sana sambil kuliah di universitas swasta di daerah Semanggi.

Ebrahim menentang keras saat tahu Gev mulai memilih arah hidupnya sendiri. Bahkan, sampai sekarang. Ebrahim tidak menyukai pekerjaan yang digeluti Gev. Tidak Ebrahim, tidak semua orang, semua menganggap pekerjaan Gev adalah profesi yang tidak bisa dibanggakan.

Gev bangkit lagi, kali ini dia berjalan membuka pintu balkon dan memutuskan untuk berdiri menatap dunia dari sana.

Suara riuh ceria anak-anak yang sedang bermain di kolam renang di bawah sana, suasana ramainya jalan raya, dan aktivitas penghuni apartemen dari kedua tower yang kadang terlihat dari balkon masing-masing unit.

Gev tersenyum. Dunia dan bumi ini ramai, mungkin hanya dia saja yang sepi dan sendirian.

Gev masih di sana, berlama-lama menatap ceria milik orang. Namun, hanya dalam hitungan detik semuanya berubah tatkala matanya menatap hal yang tidak beres dari seorang perempuan yang berdiri di Tower B di lima lantai teratas bangunan itu.

Mata Gev terbelalak. Tangannya menjulur seolah sanggup mencegah. Hanya saja, Gev hanyalah perempuan biasa yang sedang berdiri di balkon kamarnya di lantai 12 Tower A. Dan perempuan yang mencuri perhatian Gev kini meluncur bebas ke tanah.

Lutut Gev gemetar. Luruh, lemas. Gadis itu menjerit, lalu ambruk di balkonnya sendiri dengan wajah pucat pasi dan mata nanar menatap udara.

Suara ceria anak-anak masih terdengar. Mereka tidak tahu ada hal menyeramkan yang baru saja terjadi. Tetapi, Gev bisa melihat petugas apartemen mulai bergerak cepat mendekati lokasi. Mereka melakukan penanganan sesuai prosedur. Lokasi itu tampak segera dibatasi, dan Gev kesetanan masuk ke dalam unitnya sambil menggigiti kuku jemari.

SEPI TERJAUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang