5. Ego Jiwa Raga

889 213 65
                                    

Gev berdiri dengan tenang di lorong lantai penanganan jenazah. Tangannya terlipat di depan dada. Baju one piece coverall, hair cap, masker, dan sarung tangan sukses menyembunyikan dari ekspresi geram yang ada di wajah.

Di depannya, ada pihak keluarga dan tim penyidik dari kepolisian yang sedang bersitegang.

"Anak bapak kematiannya mendadak, lho! Dan sudah menjadi kasus publik yang disorot masyarakat, dan bagaimana pun juga, kami sebagai pihak berwajib, punya wewenang untuk melakukan penyidikan."

"Tapi, kami nggak mau anak kami diotopsi!" Pria paruh baya itu masih keras kepala kepada pendiriannya.

"Kalau tidak diotopsi, artinya tidak ada kasus. Bapak nggak bisa lanjut kalau mau keukeuh menyalahkan seseorang atas kematian anak Bapak."

Gev ingin sekali menggaruk jidat. Namun tidak bisa. Kadung sudah menggunakan sarung tangan pelindungnya.

Jenazah perempuan muda yang baru saja meninggal di sebuah hotel itu sudah di dalam ruang penanganan. Sudah tertidur manis di atas ranjang modern berbahan besi anti karat. Tapi, Gev belum bisa melakukan pekerjaannya sebab ada dua kubu yang masih sibuk silang pendapat.

Orang tua dan saudara dari jenazah perempuan itu terdiam.

"Kalau Bapak dan keluarga Bapak menuntut adanya keadilan dan ingin mengungkap kebenaran, jangan halangi tugas dari kepolisian untuk melakukan penyidikan. Bapak justru bisa dikenakan pasal tentang merusak barang bukti dan mengganggu jalannya penyidikan, lho. Tuntutannya sembilan bulan penjara dan denda!"

"Kami tahu keluarga Bapak bukan orang-orang yang tidak berpendidikan. Jangan ambigu. Kalau mau kematian anak Bapak terungkap, ya, otopsi. Mayatnya dibawa ke dokter forensik rumah sakit tertunjuk. Bukan langsung dibawa ke rumah duka."

Keluarga itu tak berkutik.

"Kalau tidak ada hasil otopsi, Bapak lucu kalau mau tetap maju ke pengadilan. Mau seribu orang pun yang Bapak tuduh, tidak ada satu pun dari seribu itu yang berhak dijatuhi hukuman sekali pun mereka benar-benar bersalah kalau tidak ada hasil otopsi dari jenazah anak Bapak."

Gev menganggukkan kepala, setuju dengan pernyataan dari tim penyidik.

Sebagai petugas penanganan jenazah, dia sudah sering bertemu dengan anggota kepolisian karena selalu ada mayat-mayat yang masih bersinggungan dengan hukum. Mayat korban pembunuhan, atau yang cara meninggalnya mencurigakan, biasanya datang ke rumah duka dalam keadaan sudah dibalsam oleh dokter forensik setelah agenda penyidikan tuntas.

Tapi, ada juga yang kasusnya seperti sekarang. Tercium mencurigakan oleh pihak berwenang, namun keluarga memutuskan untuk langsung memulasarakan.

Di lorong itu, ada direktur operasional Asvathama, Taruna Asa Manggala, orang kepercayaan dari pemilik Asvathama. Dia juga masih berusaha diam, tidak ingin mengintervensi pihak mana pun.

Bagi pria berusia 40 tahun itu, jenazah mau tetap dimandikan langsung juga tidak masalah, mau dibawa lagi juga tidak apa. Asal, sudah tidak bermasalah. Namun, tetap harus ada keadilan dan kebenaran atas nasib jenazah yang mereka usahakan.

Gev sendiri merasa ada yang tidak beres dengan keluarga itu. Keras kepala yang mereka tampilkan saat ini tidak pas dengan duka yang sedang terjadi. Agaknya, memang sedang ada yang ditutup-tutupi.

Di saat seperti itu, Gev jelas tidak berani menyuarakan pendapat. Tapi berani mengumpat saat melihat lift berdenting, terbuka, dan sosok Venan keluar dari sana. Pemuda dengan setelan jas, dasi, dan loafer hitam mengkilat itu tersenyum kecil saat matanya bertemu tatap dengan Gev.

Untungnya, Venan tampak paham kondisi. Pemuda itu memutuskan untuk duduk anteng di salah satu bangku tunggu dan dengan tenang ikut mendengarkan huru-hara yang sedang terjadi.

SEPI TERJAUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang