Ebrahim tidak tahu harus bagaimana lagi untuk meluluhkan hati Gev yang tak kunjung mereda. Kemarahan sejak meninggalnya Esmeniar itu masih selalu kuat terasa.
Seringkali pria itu diam-diam pergi ke Asvathama, memerhatikan Gev yang sedang bekerja. Tidak pernah terlintas di bayangan Ebrahim, bahwa Gev akan besar dan dewasa sebagai petugas penanganan jenazah. Tangan putrinya yang halus, putih, dan lembut itu, selama bertahun-tahun telah berjibaku dengan ribuan mayat yang dimandikan.
Ebrahim menghela napas. Dunianya kembali kepada kenyataan, di mana sebagian besar saham perusahaannya masihlah milik Esmeniar, dan mutlak akan diturunkan kepada Gev.
"Minta Gev buat resign dari kerjaannya. Lagian, buat apa. Kerja jadi pemandi jenazah, malu-maluin aja." Theresa, ibu dari Ebrahim bersuara di depan saudara lainnya.
"Anakmu itu, satu-satunya yang kami anggap sebagai penerus keluarga. Tapi, kalau kerjaannya kayak gitu, nggak ada prestige-prestige-nya, ya, kamu arahin, dong."
Ebrahim sedikit membuang muka. Memang benar, dari semua keluarga, hanya Gev yang berbelok ke arah yang tidak terduga. Di saat saudara lainnya berlomba untuk mendapatkan pekerjaan atau membangun bisnis yang mumpuni, Gev malah nyaman dengan dunianya yang terlampau sederhana dan tak mengejar nama.
"Mama nggak peduli sama anak-anaknya Marriane. Mau jadi apa pun mereka, bukan urusan mama. Tapi kalau, Gev, kamu wajib menjadikan dia manusia yang bermartabat, Ebra."
"Ma, biarkan Gev menjalani hidup yang dia mau, Ma."
"Terus kamu maunya bisnis yang sudah turun temurun keluarga kita jalani jatuh ke anak-anaknya Marriane itu, hah?" Theresa melotot sambil menunjuk wajah Ebra. Geram terasa begitu kuat. Wajah tua itu memerah, menyimpan amarah yang begitu menggelegar. "Jangan pernah sedikit pun bermimpi untuk mewariskan bisnismu kepada Zean, anak haram kamu itu, sampai kapan pun, mama nggak rela kalau hartamu jatuh ke anak-anak wanita yang nggak tahu diri itu!"
***
Gev tersenyum sambil meletakkan setangkai bunga mawar di samping abu Esmeniar. Alasan besar yang melandasi pekerjaan dan rotasi hidup Gev saat ini di Asvathama memang sebab Esmeniar ada di sana.
Dulu, semua orang, keluarganya, termasuk papa, tidak mau melihat jenazah Esmeniar. Mereka bilang tidak tega, tidak kuasa, tapi disertai tangan yang menutup mulut dan hidung. Lalu suara-suara menahan mual yang terasa begitu lekat di telinga Gev.
Gev meneliti satu per satu wajah di rumah duka saat itu. Hanya ada raut khawatir yang berbalut rasa penasaran. Wajah-wajah orang yang mungkin merasa bersalah. Namun, sedikit ketulusan yang teraba.
Papanya murung, memang terlihat sedih bukan main, namun Gev melihat ada sorot penyesalan yang ditanggung dengan begitu kuat. Entah Ebra punya salah apa, yang jelas hanya hitungan bulan, Gev tahu bahwa mungkin papanya sudah berselingkuh lalu mendapat kesempatan untuk menang saat mamanya tiada.
"Papa sudah punya keluarga yang bahagia, Ma. Mereka sekarang makin bahagia, apalagi ... mau menyambut kelahiran cucu pertama." Gev terkekeh sinis.
"Gev malas balik ke rumah itu, Ma. Sejak Mama nggak ada, rumah itu bukan lagi tempat yang nyaman buat pulang. Gev lebih baik sendiri. Bersama Mama dan Tuhan di hati ini, semuanya sudah cukup."
Ada foto Gev dan Esmeniar dari bayi hingga Gev usia remaja yang dijadikan satu di tempat penyimpanan abu nomor 4045 itu. Foto yang menjadi bukti bahwa Esmeniar adalah segalanya di hidup Gev.
"Mama baik-baik di sana. Tuhan melindungi Mama." Senyum Gev merebak manis. Tubuh semampainya kemudian perlahan menjauh dari lorong rak-rak penyimpanan abu yang berderet dengan rapi dan bersih.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPI TERJAUH
RomanceGenevieve hidup bersama kebencian yang teramat banyak dan dia sendiri tidak berniat untuk meredakannya. Baginya, kebencian itu membuatnya tetap bernyawa. Lahar yang tersembunyi di dalam tubuh tenangnya, membuat Genevieve lebih suka menyelami pekerja...