3. Celah Rasa

991 225 111
                                    

"Kata Pak Arayi, nggak usah resign. Kami tahu Mas Akassa lagi berduka banget. Tapi, jangan mutusin buat mundur gitu aja, Mas." Zava berdiri 3 meter dari peti jenazah Coralia, sementara di sampingnya ada Akassa Prana Saputra, pria berusia 33 tahun yang baru saja ditinggal mati istri tercinta.

"Tapi, susah warasnya lagi, Zav." Akassa menjawab dengan pandangan mata kosong lurus ke depan. "Saya dan Ralia sudah sama-sama sejak kecil. Seumur hidup kami berdua saling ketergantungan. Lima tahun kami menikah, rasanya baru kemarin saya lihat dia jingkrak-jingkrak seneng banget karena akhirnya kami mau punya momongan. Tapi, lihat, sekarang mereka ninggalin saya sendirian. Anak saya bahkan belum jelas rupanya, Zav."

"Pelan-pelan, Mas. Saya tahu ini bakalan berat. Tapi, jangan tinggalin Gajah Mada, Mas. Pesan Pak Arayi, Mas Akassa masih bisa pegang project dari mana pun Mas mau dan kapan pun Mas mau kembali, pintu Gajah Mada selalu terbuka lebar."

Akassa mengangguk dan tersenyum kecil.

"Hari ini dikremasi, ya?"

Zava sempat melihat, jenazah Coralia terlihat cantik sekali. Terakhir bertemu, saat Gajah Mada mengadakan outing besar-besaran di Puncak. Saat itu, semua orang nyaris iri dengan romantis dan manisnya pasangan Akassa dan Coralia. Arayi Madaharsa yang saat itu masih belum bertemu dengan istri pun sampai dibuat buang muka. Iri, cemburu, ingin punya pasangan juga.

"Saya temani kremasi nanti."

Akassa mengangguk lagi. Pria yang menjabat sebagai manajer pemasaran di usia muda itu menghela napas. Ruang semayam nomor 6 yang sengaja dipersembahkan dengan dekorasi cantik itu dia pandangi dengan sendu.

Sebentar lagi, sebentar lagi dia akan benar-benar kehilangan Coralia.

Saat petugas kremasi datang dengan pakaian formal dan rapi berdatangan, air mata Akassa menetes deras tanpa suara. Langkahnya gontai mengikuti peti istrinya yang akan dibawa ke lantai 9.

Di lantai itu, terdapat 6 krematorium yang masing-masing memiliki kapasitas pengunjung hingga puluhan. Namun, kasus Coralia berbeda.

Coralia adalah anak tunggal dari pasangan orang tua yang sudah lebih dulu meninggal beberapa tahun silam. Begitu juga dengan Akassa. Keluarga dekat tidak ada. Semuanya berada jauh di luar negeri dan juga tidak terlalu hangat. Sehingga hanya kolega dan kenalan saja yang sedari kemarin berdatangan. Ramainya habis di hari kedua. Hingga hari ke-tiga, Akassa sendirian.

Tanggal 15 Agustus 2022, Akassa memutuskan untuk mengkremasi Coralia hanya ditemani oleh Zava, asisten pribadi CEO di perusahaan tempatnya bekerja.

"Kami turut berduka cita, Bapak." Seorang tim leader di krematorium mengucap bela sungkawa. "Sebelum proses kremasi dilakukan, kami akan melakukan penghormatan terakhir, ya. Izinkan staf-staf di Asvathama ikut mengiringi kepergian Ibu Coralia Gheonasara dengan doa yang kami panjatkan setulus hati."

Akassa mengangguk. Ada sekitar 15 orang yang tadinya berjejer di luar dengan pakaian formal berwarna hitam, kini masuk berdiri di belakangnya dan ikut berdoa bersama.

Termasuk Gev yang kini menatap Akassa dari belakang. Pria itu terlihat tak berdaya. Tangan putihnya mengepal erat di sisi tubuh. Namun telinganya memerah, seolah memendam kemarahan juga kesedihan yang begitu luar biasa di kepala.

Ruangan itu dingin, namun di hati Akassa panas membara.

"Prosesnya 2 jam, ya, Pak." Petugas krematorium kembali bersuara setelah bakti dan doa terakhir selesai.

"Iya."

Tak lama kemudian, peti Coralia mulai dimasukkan. Di lantai itu, ada 6 ruang dengan kapasitas masing-masing 30 kursi dan semuanya difasilitasi dengan mesin kremasi modern dengan teknologi digital.

SEPI TERJAUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang