"Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh."
Suara Kak Satya dari seberang telpon menyapa lembut telingaku. Suara itu nggak begitu berat, tapi terdengar begitu candu membuat jantungku berdetak kencang nggak mau berhenti hingga nafasku mulai tercekat seiring naik-turun dengan ritme nggak beraturan.
"Wa'alaikumussalam Warahmatullaahi Wabarakatuh." balasku, mencoba tenang dengan segenap kegelisahan akibat terlalu degdegan ini.
Sesuai seperti janji tadi siang, malam ini aku menelpon Kak Satya. Padahal ini bukan pertama kalinya aku mendengar suara Kak Satya, tapi tetap saja aku masih gugup.
"Suara kamu bikin saya degdegan, Senayla. Lucu banget." ujar Kak Satya dengan tawa geli memanjakan telingaku. Gila banget, kepalaku mulai membayangkan seandainya Kak Satya berada di depanku saat ini, tentu aku bisa menyaksikan bagaimana Kak Satya tertawa seperti itu dengan begitu atraktif.
"Sekarang saya jadi bingung mau ngomong apa..." Alih-alih mengungkapkan bagaimana isi kepalaku saat ini, aku malah mengatakan itu, membuat tawa geli Kak Satya sekali lagi terdengar.
"Kamu tadi makan malam dengan apa, sayang?"
Ya Allaah, apa Kak Satya sengaja mau bikin aku jadi gila dalam sekejap begini? Aku mulai meragukan, apakah ini masih Kak Satya yang sama dengan Kak Satya yang selama ini aku kenal kalem dan nggak banyak ngomong sebagai teman kantor Papa itu.
"Saya makan tumis kacang panjang sama tempe goreng, Kak."
"Yang masak siapa?"
"Saya dong. Mama lagi nggak kuat masak, masih morning sickness."
"Mau dipuji anak baik atau calon istri baik, nih?"
"Apa sih Kak!"
Tawa geli Kak Satya kembali menyapa telingaku untuk kesekian kali. "Hahahaha. Ibu sekarang udah berapa bulan, Senayla?"
Kucoba mengingat-ingat sebelum menjawab Kak Satya. Kandungan Mama seingatku baru memasuki delapan bulan, diprediksi akan lahiran sekitar bulan September akhir atau awal bulan Oktober.
"Delapan bulan, Kak. Cuma emang nggak tau kenapa masih mual-mual sampai sekarang." jelasku seraya memandangi langit-langit kamarku. "Kakak udah makan malam, kan?" lanjutku gantian mengajukan tanya.
"Udah. Tadi saya nitip lamongan sama Mas Rendra." balas Kak Satya.
Aku mengangguk-angguk saja. Perlahan kegugupanku mulai berkurang sebab entah bagaimana Kak Satya berhasil membuatku merasa lebih santai. "Alhamdulillaah. Hari ini Kakak gimana?"
"Hmm, selain soal nolak dicomblangin tadi, nggak ada hal khusus, sih. Saya males keluar, lagi sibuk nyicil ngerjain skripsi."
"Saya ganggu nggak nih Kak?"
"Enggaklah. Kita kan emang udah janjian, sayang. Ntar kalau lagi sibuk ngerjain, saya bakal bilang kok."
Berpacaran dengan Kak Satya, membuatku jadi merasa bahwa seseorang yang membahasakan diri dengan 'saya' alih-alih 'aku' atau 'gue' itu benar-benar jauh lebih atraktif. Memang terdengar formal banget, namun entah kenapa aku suka setiap Kak Satya mengucapkan 'saya' secara langsung begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
BitterSweet [On Going]
RomantizmHal paling baik yang pernah terjadi dalam hidup Senayla Hazel adalah menjalin kasih dengan Satya Wardhana, teman kantor Papanya. Diantara sekian juta pria di dunia, Satya satu-satunya pria sempurna bagi Senayla. Tak hanya membuatnya merasa lebih ber...