Kapal yang sebelumnya berlayar dari arah selatan, kini telah berlabuh di dermaga Ze'ev.
Seorang gadis cantik dengan rambut digerai turun dari kapal. Sambil membawa satu tas besar dan sebuah koper miliknya.
Kemudian seseorang memanggilnya.
"Nona Jiwa!"
Ia pun menoleh lalu menghampiri meski dengan raut ragu. "Tuan Adipati?"
"Benar. Mau saya bawakan tasnya, nona?" tawar Adipati.
Tanpa ragu lagi, Jiwa memberikan tasnya pada orang itu.
Adipati adalah pemandu wisata. Sebenarnya. Tapi Jiwa meminta bantuan untuk dipandu menuju Ballerina Island.
Pulau di mana seluruh penghuninya, pandai menari ballet.
×××××××
Mereka berdua kini berada di atas Dokar. Adipati sebagai pengemudi. Sedangkan Jiwa duduk di kursi penumpang.
"Nona, hati-hati ya." katanya sambil memacu kuda.
Jiwa yang sebelumnya tengah melihat-lihat hamparan sawah, jadi menoleh. "Kenapa memang?"
"Yaa tidak ada apa-apa sih, manusia kan memang wajib waspada nona." Adipati berujar seperti itu sambil menyengir.
"Orang jahat itu bentuknya bisa saja orang terdekat."
"Kamu dong?" fitnah Jiwa.
"Ya bukan lah. Saya pemuda biasa yang sibuk cari nafkah. Mau jahatin orang kayak nona? Ya angkat tangan saya,"
"Nah, sudah sampai nona." ujar Adipati lagi dan benar saja.
Dalam obrolan yang singkat, tiba-tiba saja mereka sudah berada di dekat pasar hutan pinus.
Pasar itu ramai sekali. Buat turis seperti Jiwa jadi terkagum. Apalagi ini di tengah hutan.
"Hei kau, sini beli dagangan ku!" teriak seorang bapak dari jauh ketika melihat Adipati dan Jiwa turun dari Dokar.
××××××××
Usai diteriaki bapak-bapak, mereka jadi memutuskan melihat-lihat apa yang dijual bapak itu. Kata Adipati, kalau ada penjual yang manggil datang saja siapa tau berkah.
Ternyata ketika di lihat, bapak itu menjual organ-organ kambing dan sapi.
"Jual apa pak?" tanya Adipati, iseng.
"Mata kau dimana?" ketus si bapak yang punya kesabaran setipis tisu di belah tujuh.
"Itu kepala kambingnya buat apa ya?" tanya Jiwa seraya menunjuk kepala kambing di sebelah kiri meja.
"Persembahan. Oh ya kelen mau kemana?"
"Ballerina Island,"
"Wih bagos lah, ku titip bawakan ini kesana ya." pintanya sambil menyodorkan kepala kambing tersebut.
××××××××
Segan menolak permintaan si bapak, barang bawaan Jiwa sekarang bertambah satu. Sekarang pula mereka melanjutkan perjalanan menuju danau.Ketika sudah sampai, Adipati menarik jangkar yang dikaitkan pada paku yang tertancap di tepi danau.
Setelah barang naik, Adipati menyodorkan lengan tuk membantu Jiwa naik ke atas perahunya.
Perahu mulai di dayung.
×××××××
Kala itu mereka duduk saling berhadapan dengan Adipati yang bertugas mendayung perahu.
"Harusnya tak perlu membantu membawakan bahan persembahan. Kalau ditahan di sana bagaimana?" tanya Adipati membuka obrolan baru lagi.
"Tinggal menjelaskan."
Adipati kemudian tertawa renyah. "Bukan pulaumu itu, nona."
"Tuan Adipati, sering memandu orang kesini?" Jiwa mengalihkan obrolan.
"Tidak juga, biasanya hanya mengantar saat sudah sampai danau."
Jiwa mengangguk-angguk. Sibuk melihat kesana kemari.
Ia jadi mendongak ketika kawanan burung terbang sesuai barisan mereka. Membentuk anak panah dengan latar langit biru sedikit berawan.
Adipati berdeham tuk mengalihkan atensi Jiwa. "Nona ini .."
"Anak tunggal?" Lantas Jiwa mengangguk.
Lagi-lagi Adipati menyengir aneh. Tertawa renyah padahal tak ada yang lucu. "Berani sekali melepaskan putri semata wayangnya," celetuknya.
"Mereka percaya kok dengan putrinya." jawab Jiwa sambil mengerutkan keningnya. Adipati tak tahu apa-apa.
×××××××
Jiwa mengulum bibirnya sebentar. Hendak membuka obrolan baru. Tak enak saja sejak tadi Adipati yang memulai obrolan terus.
Di atas perahu itu, Jiwa kemudian menatap mata Adipati. Membuat si pemilik netra hitam tak fokus mendayung.
"Tuan Adipati ... tinggal dimana?"
"Saya? Saya aslinya bukan dari sini. Ikut bibi soalnya kampung halaman saya itu susah maju, terpencil. Kalau di sini senang nona, suka dapet turis yang sewa jasa kita."
Adipati kemudian menengok ke kanan-kiri. Detik selanjutnya, Adipati menambah laju dayungannya.
"Rumah saya juga nggak jauh dari alun-alun kota."
"Di sini juga ada alun-alun?" tanya Jiwa takjub.
"Iya, nanti kalau nona senggang saya ajak keliling sana deh. Makanannya juga enak-enak, hehe,"
"Boleh," jawab Jiwa lantas berbalik badan untuk melihat objek di depannya. "Loh kita sudah sampai!"