xi. wardrobe

51 28 15
                                    

Dokter tergesa-gesa berjalan masuk ke halaman depan Ballerina Island. Sehingga menimbulkan raut bingung di muka para penonton yang telah keluar dari auditorium.

Dokter tadi ditemani 5 orang yang juga mengenakan jas lab dan masker.

Jiwa kini tengah mengejar-ngejar Madam Gie yang sedang sibuk mengurusi siswinya.

"Madam kapan saya akan dipromosikan?" tanya Jiwa terus saja.

Bahkan sampai dokter melihat sosoknya, Jiwa masih terus merengek pada Madam Gie. "Tolong tangani, anak ini baru saja tertembak dari arah belakang."

"Apa ada ruangan kosong?" tanya dokter saat para asistennya membantu siswi yang tertembak naik ke atas tandu.

Madam Gie mengangguk dan mengarahkan para tenaga kesehatan. Sementara, Jiwa masih terus mengejarnya tuk dapat promosi.

Setengah perjalanan menuju tempat siswi itu ditangani, Aruna menarik lengan Jiwa. Menahan langkahnya.

"Bisa tidak jangan ganggu dulu? Kamu tidak lihat ada yang baru tertembak?" gerutu Aruna.

"Jangan ikut campur. Madam sudah janji ingin memberi promosi." balas Jiwa sama ketusnya.

"Iya, tapi bukan sekarang saatnya."

"Kamu gila? Orang-orang itu sudah hampir pergi!" ujar Jiwa kemudian mengikuti egonya tuk mengejar Madam Gie.

×××××××


Semua Ballerina diminta kembali ke kamar. Namun, hanya Jiwa yang tidak mau menurut masuk ke kamarnya.

Entah sekarang dia sedang merengek apa kepada Madam Gie. Aruna tak tau karena mengikuti arahan untuk kembali ke kamar.

Kala Aruna sedang sibuk mengigiti kukunya, pintu dari lemari kecil yang terletak di dekat ranjang—berderit.

Temannya datang.

"Penampilanmu tadi menakjubkan." pujinya ketika keluar dari tempat persembunyian.

Aruna tak menggubris. Ia malah menatap kosong jendela kamar sambil menggigiti kuku.

Wanita itu merasa aneh. Tak seperti Aruna yang biasanya.

"Anak itu lagi?" tebak wanita itu.

"Mungkin." jawab Aruna. Wanita itu pun jadi ikut kesal, "Masih berharap dipromosikan ya. Bukankah dia targetnya?"

"Kapan kamu akan memberitahunya, Aruna? Anak itu terlalu bodoh."

"Aku tidak boleh memberitahu," ujar Aruna lirih. Mendengar pernyataan Aruna, wanita itu makin geram dengannya.

"Kamu ingin mengulang lagi kejadian malam berdarah?"

Pintu kamar tiba-tiba terbuka lebar. Menampilkan Jiwa yang berdiri di sana dengan raut wajah yang kebingungan.

"Malam berdarah itu apa?"

"Kamu berbicara dengan siapa?"

Alih-alih menunggu pertanyaannya dijawab, Jiwa justru merubah atensi ke arah lemari kecil yang katanya tidak boleh digunakan.

"Lemari ini .. kosong. Kenapa aku tidak boleh menaruh pakaian di sini?"

Aruna kini beranjak dari ranjang. Ia berjalan ke arah Jiwa, lantas menutup pintu lemari.

"Cepat sekali kamu kembali. Sudah dapat promosi?" Jiwa tak menggubris. Ia fokus menatap lemari itu dengan kerutan di dahi.

Lantas ditatapnya Aruna, lamat. "Kamu menyembunyikan apa dariku?"

×××××××

Semenjak kejadian itu, Jiwa tak lagi berbicara dengan Aruna. Ia hanya datang ketika butuh, selebihnya Jiwa tak menggubris apapun yang Aruna lakukan.

Aruna mencoba memperbaiki pertemanan mereka. Namun, dia juga bingung harus menjelaskan darimana.

Wanita itu juga jadi lebih sering datang.

Ballerina IslandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang