Kala semua tengah fokus mempelajari gerakan baru, teriakan dari luar ruangan memecah fokus mereka.
Mendadak semua berhenti dan memandangi pintu besar yang menutup ruang latihan. Lantas bunyi teriakan itu berpadu dengan suara kaca pecah.
"Siapa yang tidak ada di sini?!" tanya Madam Gie lantang membuat seluruh murid saling pandang.
Mereka mulai mengecek temannya satu-satu. "Jiwa! Hanya Jiwa yang tidak ada di sini!" teriak Aruna di tengah-tengah kerumunan para penari.
"She's on the bathroom, Madam!" lanjut Aruna kemudian.
"Okay, stay here! Let me check up!"
×××××××
Suara benda-benda pecah dan jeritan seseorang terus muncul meski Madam Gie sudah meninggalkan ruang latihan.
Aruna menggigiti kuku jarinya dan berjalan bolak-balik.
Beberapa menit telah berlalu, pintu akhirnya terbuka. Menampilkan Jiwa yang terbungkus selimut dan Madam Gie memeluknya sambil berjalan.
Wajah Jiwa tampak tergores terlalu banyak. Rambutnya acak-acakan. Tangannya pun lebam bahkan lehernya meninggalkan bekas cekikan.
Namun, Madam Gie mengatakan bahwa Jiwa tidak diserang siapapun. Katanya, Jiwa tampak melukai dirinya sendiri di toilet.
Jiwa pun berakhir diadili oleh para guru keamanan. Ia dianggap melakukan percobaan bunuh diri.
"Saya kan sudah bilang, saya tidak gila! Kenapa kalian tidak percaya sih?"
"Are you forced to study here?" tanya salah satu guru keamanan sambil melihat Jiwa melalui kacamatanya yang melorot.
Rasanya Jiwa ingin sekali memukul udara di sini. Para guru keamanan terus saja menanyakan hal bodoh.
"I'm not. Okay?"
Jiwa menghela napasnya. Sudah berapa kali dia menjelaskan.
"I swear to God. I've been attacked. It's because you guys or even Madam Gie can't see her."
Setelah lama berdebat dengan para guru keamanan, Jiwa berhasil keluar tanpa dijatuhi sanksi. Ia bertemu Madam Gie di luar pintu ruang keamanan.
Madam Gie melintasi Jiwa begitu saja tanpa menanyakan keadaannya.
"Sudah selesai?" sahut seseorang.
Mendengarnya Jiwa jadi menoleh ke kiri. "Madam?" tanya Jiwa yang terkejut.
Padahal ia baru saja melihat Madam Gie melintasinya.
×××××××
"Hold me close and hold me fast,"
"This magical you cast. This is la vie en roses."
"When .."
"You kiss me, heaven sighs, and thought I close my eyes. I see la vie en roses."
...
..
"Give your heart and soul to me, and life will always be la vie en rose."
Usai rampung menyanyikan lirik terakhir lagu La Vie En Rose, jemari lentik Aruna berhenti memetik gitar.
Ia lantas memerhatikan rumput di luar jendela dengan tatapan sendu.
Posisi Aruna kala itu duduk di meja belajar bersamaan dengan kaki yang membujur lurus diatas meja.
"Jiwa,"
"Hm?" sahut gadis itu yang tiduran menatap tembok.
"Janji ya, malam ini tidur cepat?" pinta Aruna.
"Gampang."
"Jangan berkeliaran lagi sambil membawa lentera." ujar Aruna yang membuat Jiwa mendelik kaget.
Namun, ia berusaha menyangkal. "Tidak pernah tuh."
Aruna menoleh memandangi punggung Jiwa sebelum akhirnya berkata, "pembohong .."
"Pokoknya ikuti saja perintah ku. Malam ini akan ada yang berkeliling."
Jiwa merubah posisi tidurnya. Jadi membelakangi tembok. "Siapa?"
"Tidur saja lebih cepat."
×××××××
Bulan purnama telah tampak sinarnya disahut dengan suara burung hantu di atas rumah besar.
Jiwa masih belum tidur. Matanya terjaga sejak pukul 8 malam ketika semua penari sudah bisa tidur dengan nyenyak.
Bahkan menghitung domba sambil terpejam pun tak membantu Jiwa sama sekali.
"Jiwa ... tidu rr.." ucap Aruna parau di ranjang atas.
Lantas pintu kamar sebelah terbuka dengan bunyi berderit. Sial, dia sudah dekat.
Umpatnya dalam benak. Jiwa mencoba memejam seraya memeluk selimut.
Tak lama kemudian, kini pintu kamar Aruna dan Jiwa terbuka juga.
Mata Jiwa berkedut meski terpejam. Kuku tajam sekarang menyentuh kulit wajahnya.
Ini bau. Bau anyir darah.
Kala dirasa tidak ada pergerakan dari dua siswi yang menempati kamar itu, ia langsung berjalan keluar.
Namun, bodohnya Jiwa malah meliriknya menggunakan mata yang agak disipitkan. Jelas hal itu langsung membuat Dia menoleh.
Seringai timbul di bibirnya. Lantas bergegas menuju ranjang Jiwa.
Dalam beberapa menit, Jiwa dicekik olehnya. Sontak anak itu jadi membuka mata lebar-lebar saking terkejutnya.
Jiwa melihat siapa yang mencekiknya.
Wanita yang tadi. Wanita yang menggedor-gedor pintu kamar mandinya tadi pagi.
"Jadi kamu di sini ya? Jiwa ..."
Wanita tersebut mulai tertawa bengis.
Seluruh giginya tajam dengan lidah panjang yang menjulur keluar dari mulut, layaknya lidah milik seekor kadal.
"H .. hhelpp," Jiwa berusaha berteriak dibalik cengkraman wanita itu.
"Shut up!" bentak wanita itu. Kemudian senyum bengisnya timbul lagi.
"Uhm anyway ... Aku boleh pinjam, kan?"
"HEY!" Seseorang mendadak berteriak dari belakang. Ia tampak menyorot menggunakan lentera.
Seketika itu juga Jiwa jatuh dari ketinggian 3.000 milimeter. Dan wanita itu tadi, menghilang.
"Belum tidur juga?" tanya guru keamanan seolah tak melihat Jiwa baru saja melayang.
"Bapak siapa?"
"Saya yang berkeliling malam ini."
"Kamu cepatlah tidur, jangan terus-terusan membuat masalah." ujar si guru keamanan lantas menutup pintu kamar.
