Jiwa sengaja bangun lebih pagi. Ia akan berlari mengitari pulau ini.
Pertama-tama Jiwa melakukan pemanasan. Lantas dirinya melompat-lompat dan barulah mulai berlari.
Jiwa tak memiliki rute. Ia hanya akan berlari sampai dengan pukul tujuh lebih lima belas. Sedangkan sekarang pukul lima.
Hawanya sejuk meski sedikit mencekam.
Mendadak ia berhenti. Jiwa melihat Madam.
Ya, Madam Gie yang kini sedang berendam di dalam air penuh akan bunga.
Namun, lebih anehnya lagi, Madam Gie duduk bersimpuh di dalam bathtub dan menghadap ke barat.
Dia ...
Sedang berdoa?
Tak mau terlalu banyak ikut campur, Jiwa memutar balik tuk melanjutkan berlari. Kala setengah perjalanan ditempuhnya-
Lagi-lagi Jiwa mendapat kemalangan.
Tiba-tiba saja dirinya menabrak bapak tukang kebun.
Lantas barang yang dibawanya di dalam botol kaca terlempar ke tanah dan pecah.
"SUDAH TULI SEKARANG BUTA! Lihat perbuatan mu!" bentak sang bapak sambil mengumpati Jiwa yang tak sesuai fakta.
Jiwa kemudian meminta maaf, badannya di bungkukkan dan saat itulah dia sadar akan sesuatu.
"Bapak .. membawa jantung?"
Sebuah pertanyaan keluar dari mulut Jiwa begitu saja kala melihat jantung segar diantara serpihan kaca dan air yang sepertinya berasal dari formalin.
"Jangan sentuh!" perintah Madam Gie.
Pergerakan Jiwa pun jadi terhenti. Ia menoleh dan tampak Madam Gie mengenakan Bathrobe berwarna putih.
Rambutnya pula digulung oleh handuk.
"Itu hanya replika."
"Kenapa terlihat seperti jantung yang masih segar?" tanya Jiwa makin penasaran.
"Pergi ke ruangan saya." potong Madam Gie.
×××××××
Tak ingin dikeluarkan dari sekolah, Jiwa menuruti perintah Madam Gie.
Jiwa masih dapat memaklumi ketika melihat lampu besar nan megah yang di pajang di tengah-tengah ruangan tapi tidak di nyalakan.
Kemungkinan karena sudah pagi?
Namun, jika dipikir.
Meskipun semua barang milik Madam Gie tertata rapi, keanehan terasa di benak Jiwa.
Empat jendela besar itu tertutup rapat. Tidak ada AC ataupun kipas.
Aroma semerbak wangi dari bunga sedap malam juga menyeruak ke dalam indra penciumannya. Membuat ruangan Madam Gie terasa lebih aneh.
Dua kata jadi terlintas dibenaknya.
Ruangannya..
Menjijikkan
"Kenapa hanya berdiri? Duduklah di depan meja kantorku," ujar Madam Gie mengagetkan Jiwa.
×××××××
"Kenapa kamu berlari sepagi ini?"
"Apa impianmu sudah berubah menjadi atlet lari?"
"Saya hanya ingin berlari, Madam."
"Ballerina seharusnya melakukan yoga dan pilates bukan berlari. Kamu tidak paham aturan?"
"Maafkan saya, Madam."
"Ya sudah silakan kembali ke asrama mu. Lekas pula pahami aturan di sini."
Kala Madam Gie sudah tak mempermasalahkan hal tersebut. Jiwa belum juga mau beranjak dari tempat duduk.
Ia memilin seragamnya. Mengambil aba-aba untuk bertanya.
"Madam, may I ask you something?"
Madam Gie yang sebelumnya sedang sibuk mencari sebuah berkas, mendadak mengalihkan atensinya.
Ia menghela napas.
"Aku paham arah pertanyaanmu. Jantung itu hanya replika." tegas Madam Gie yang sepertinya mengusir Jiwa secara halus.
×××××××
Seperti biasanya, usai melahap sarapan di kamar asrama masing-masing, para penari menuju ruangan latihan.
Namun bukannya Madam Gie yang masuk sendirian dan mengenakan Leotard. Ia malah datang bersama para pelayan.
Jumlah pelayan sama seperti jumlah siswi di sini. Mereka membawa satu gelas untuk satu Ballerina.
Setelah ditelusuri, ternyata itu gelas dari sarapan mereka.
"Bagi yang belum meneguk habis minumannya, segera habiskan."
"Aku nggak mau minum itu lagi.." bisik Jiwa pada Aruna.
Kopi hitamnya masih penuh. Belum tersentuh sekalipun.
"AYO CEPAT HABISKAN!" bentak Madam Gie ketika melihat tak ada satupun yang mau menyentuh gelas sisa mereka.
Mendengarnya buru-buru mereka menyentuh serta meneguk habis minuman sisa itu.
Aruna tidak termasuk. Jus jeruknya selalu habis karena enak meski dibagi dengan Jiwa tadi pagi.
×××××××
Selepas kejadian itu, Jiwa masih belum kembali sejak tadi.
Ia sekarang sedang memegangi perutnya sambil duduk di atas closet.
Perutnya mulas bukan main setelah meneguk habis kopi hitam itu.
Kemudian suara seseorang menangis mendadak masuk ke pendengarannya.
×××××××
Lama mendengar orang itu terus-terusan menangis. Jiwa berinisiatif menjadi psikolog dadakan.
"Kamu menangis? Ada apa?"
Namun tangisannya tak berhenti.
Jiwa menarik nafas sebentar, "Aku paham, hidupmu pasti sangat berat. Tapi aku berharap kamu tak terfikir mengakhirinya."
"Kamu tau, banyak hal seru di dunia yang suram ini. Oh ya, boleh aku tau namamu?"
Dan lagi-lagi pertanyaan Jiwa tak digubris olehnya. "Okay, whatever."
"You know what? I'm free right now."
"Jadi jika kamu ingin bercerita, aku nggak masalah. Tapi maaf ya kalau kotoran ku bau,"
Detik selanjutnya, orang itu mengetuk pintu kamar mandi Jiwa. "Boleh pinjam?"
"Maksudnya?" jawab Jiwa sambil mengernyit di dalam kamar mandinya.
"Tubuhmu,"
"Boleh ku pinjam?"
"Boleh, kan?"
"Boleh, ya?"
Orang aneh itu kini mulai meracau. Pintu kamar mandi yang Jiwa gunakan digedor-gedor.
Satu hal yang membuat Jiwa aneh.
Dari bagian bawah pintu itu, terbuka. Namun, Jiwa tidak dapat melihat bayangan.
Bahkan kaki dari orang yang menggedor-gedor pintu kamar mandinya.
