xii. meat

73 38 26
                                        

Aruna baru saja selesai mandi. Padahal ini baru pukul 4 pagi. Ia melongok ke bawah pintu kamar asramanya.

Sebuah surat tergeletak di sana. Dengan nama pengirim yang tidak diketahui, tapi yang jelas ini untuk Jiwa.

Ketika masuk, ruangan tampak gelap. Aruna hanya menerangi sekitar dengan lentera yang ia bawa mandi tadi.

Alih-alih kesunyian yang menyelimuti Aruna pukul 4 pagi itu, ia malah mendengar goresan pena dan kertas.

Seseorang sedang menulis.

Menulis di atas meja belajarnya. Dengan gerakan tergesa-gesa.

Ah datang lagi ya?

Lantas orang itu berhenti sejenak, menoleh ke belakang-di mana Aruna berdiri, memegangi lentera.

Mata merah itu menatapnya. Menatap Aruna dari atas kepala hingga ke ujung jari kaki seperti sedang menilai.

Bukan, bukan yang ini.

Aruna diam kaku di tempatnya ditemani lenteranya. Bukan, bukan wanita itu.

Gadis itu menelan ludahnya. Kenapa bisa masuk? Dia siapa?

Ia mencoba tetap diam meski lenteranya bergoyang. Hidungnya gatal. Kakinya kesemutan.

Namun jika dia sekali saja bergerak, tak ada yang tau Aruna akan dikabarkan apa besok. Lagipula orang itu tak pernah ditemuinya.

Ini pasti yang baru.

Aruna kini mencoba memejam. Mengatur nafasnya yang memburu karena ketakutan.

Tapi saat Aruna membuka mata kembali. Orang itu menjerit tepat di depan wajahnya. Lantas berlari keluar sambil menggebrak pintu kamar.

Suara berisik itu jelas membangunkan tidur nyenyak Jiwa, buat si empu bertanya, "Aruna, kamu berbicara dengan siapa lagi?" tanya Jiwa dengan nada parau.

"Mata mer- tidak, tidak ada." dusta Aruna. Dia tidak boleh memberitahu Jiwa, akan jadi lebih kacau permasalahan ini.

Lantas Aruna mendekati meja belajar. Mencoba melihat apa yang ditorehkan di atas kertas putih oleh orang tadi.

TERTEMBAK. NERAKA. NERAKA. DI SINI NERAKA. SELAMATKAN AKU. AKU TEMANMU. MUTILASI. KEJAHATAN. NERAKA. NERAKA. TOLONG. PANAS. DIKULITI. BUKAN BAHAN PERSEMBAHAN. MAKAMKAN.

×××××××


Dua kabar berlawanan tiba pagi ini. Orang tua Jiwa meminta anaknya untuk meminjam uang kepada kepala yayasan sebagai potongan dari beasiswanya.

Saking lamanya Jiwa tak pulang ke rumah, keadaan sepertinya semakin memburuk. Entahlah Aruna juga tak tau lengkapnya.

Sedangkan kabar baiknya adalah pagi ini dia dan Jiwa kedapatan sarapan dengan menu daging.

Aruna yang sudah mengharapkan ini sejak lama, tak henti-hentinya menghirup aroma daging asap yang ditaruh mentega di atasnya itu.

"Wangiii,"

"Enak,"

"Hmm perbaikan giziii."

Begitulah ujarnya. "Jiwa .. ayo makan."

Jiwa mendongak menatap Aruna. Lantas beranjak meninggalkan kamar asrama.

"Aku mau menemui Madam."

×××××××


Dikarenakan Madam Gie tidak mau diganti uangnya, Jiwa diminta membersihkan kandang kuda di belakang rumah besar hingga kelas tari berakhir.

Beasiswa Jiwa tidak jadi dipotong. Sebagai gantinya, Madam Gie meminjamkan beberapa puluh uang yang ia punya kepada anak malang itu.

Ketika jam makan siang tiba, Aruna tampak berjalan ke arah kandang kuda. Meninggalkan menu makan siangnya di atas meja ruang makan.

Di sana Jiwa tampak lusuh karena terkena kotoran kuda dan tanah yang lembab. "Bawa saja kudanya keluar."

"Di sini menjijikkan." kata Aruna terang-terangan. Jiwa melongok dari leher kuda yang sedang ia mandikan.

"Jam makan siangmu?" Hanya itu yang bisa Jiwa tanyakan. "Sudah kenyang. Cepat bawa keluar kudanya." suruh Aruna memaksa.

×××××××


Jiwa yang sedang sibuk memotong kuku kudanya. Harus pula mendengar ocehan Aruna yang belum berhenti sejak tadi.

Sepertinya, ini hari yang panjang baginya.

Sebenarnya Jiwa masih marah dengan anak. Hanya saja Aruna selalu berusaha mendekatinya agar kesalahannya dimaafkan. Padahal yang Jiwa mau hanya kejujuran Aruna soal lemari itu.

Lemarinya benar-benar kosong.

Kenapa tidak boleh ditempati?

Kemudian mendadak Aruna diam sejenak. Mengulum bibirnya dengan kaki kanan yang perlahan menekan-nekan rumput.

"Kamu tau ..?" jedanya. "Tau apa?"

"Hari ini semua sarapan daging. Aneh, ya?"


Jiwa kembali menatap kuku kuda yang masih panjang sambil menyangkal. "Hanya perasaanmu. Bukannya baik kalau semua kedapatan daging?"

"Baik katamu? Bahkan, hari ini tidak ada bekas hewan ternak yang disembelih."

"Mungkin sudah dibersihkan." Lagi-lagi Jiwa mencoba meyakinkannya.

Aruna lantas menggeleng. "Aku yakin .." Ia melirihkan suaranya

"Tidak." ujarnya sambil menatap ke rumput yang ditekannya menggunakan kaki kanan.

"Dan kurasa, itu bukan daging hewan."

Ballerina IslandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang