Apa yang sesungguhnya terjadi pada 13-15 Mei 1998? Apakah betul kerusuhan besar di berbagai kota yang sekarang dikenang sebagai kerusuhan Mei '98 itu digerakkan oleh kelompok terorganisir? Siapa dalangnya? Benarkan ia orang penting di pemerintahan? Lalu menapa sampai sekarang pun tidak ditangkap? Apa pemerintah memang sengaja membiarkannya begitu saja? Bagaimana nasib para korban? Dibiarkan saja?
Mungkin bagi sebagian besar orang, seluruh kenangan kelam itu hanyalah sebagian dari sejarah yang harus kita pelajari di bangku sekolah, tidak lebih. Bagi para generasi Z, mereka bahkan tidak menyaksikan huru-hara itu. Mereka seolah tidak peduli dengan kejadian kala kerusuhan yang bagaikan neraka itu. Bahkan mereka dengan mudahnya melupakan tragedi Trisakti. Tidak mengenal siapa yang terbunuh disana apa yang mereka lakukan saat itu. Namun bagi keluarga korban tanggal 13- 15 pastilah hari yang tidak akan mereka lupakan seumur hidup. Ya, di hari itulah mereka kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Orang yang mereka dambakan akan meneruskan nama keluarga dengan kesuksesan. Semua berakhir dengan satu kata KEMATIAN. Begitu juga bagi Marni.
"Sudah selama itu kau tidur, Nak. Mau sampai kapan?"
Marni melihat ke arah kalender tidak jauh dari kursi yang ia duduki. Maret 2023, begitulah yang tertera disana. Lalu ia memandang kembali ke arah ranjang rumah sakit, di sana terlihat seorang lelaki paruh baya yang dipandang Marni dengan tatapan penuh cinta. Dia adalah Dewa anaknya.
Dewa terbaring di atas tempat tidur. Sejumlah kabel menghubungkan beberapa titik di tubuhnya dengan layar monitor. Pernapasannya menggunakan bantuan ventilator. Beberapa variabel tertera di layar monitor.
Jarum jam di dinding menunjuk tepat ke angka 12. Suasana rumah sakit makin sepi di lantai itu. Aktivitas makin berkurang. Jam besuk sudah lama berlalu sehingga tak ada lagi keluarga pasien yang tampak. Hanya 1-2 orang dokter dan perawat yang masih berlalu lalang.
Dewa tampak seperti tertidur pulas. Matanya terpejam rapat. Tidak ada pergerakan sedikit pun dari tubuhnya. Ia tampak begitu damai dalam tidur panjangnya.
Marni yang sedari tadi duduk di samping Dewa mendekatkan kepalanya ke arah anaknya. Wajahnya yang mulai menampakkan garis-garis keriput terlihat lelah. Butiran bening telah terkumpul di kedua sudut matanya. Selang beberapa detik kemudian, butiran bening itu mulai berjatuhan. Marni beberapa kali menyeka air mata yang membasahi wajahnya dengan tisu. Marni terisak. Dengan lembut, Marni mengusap wajah Dewa beberapa kali lalu berbisik di telinga Dewa.
"Selamat ulang tahun anakku..." Suaranya sendu. Air mata makin menderas membasahi wajahnya. "Kini usiamu genap 45 tahun. Tidak inginkah kamu merayakannya dengan ibumu ini, Nak?"
Tubuh Dewa tetap tidak bereaksi, membeku seperti hari-hari sebelumnya. Marni kembali mengusap wajah Dewa lalu menggenggam tangannya. Hawa hangat mengaliri jemari Marni.
"Sudah 25 tahun Nak, kamu begini. Bukan karena ibu lelah menunggumu, menyapamu setiap hari meski kamu nggak pernah membalas. Tapi ibu masih terus berharap, kamu akan terbangun kembali. Kamu akan jadi Dewa yang dulu. Sesuai nama yang kami berikan padamu, Dewa... Kamu selalu punya semangat membara, cita-citamu setinggi angkasa. Dewa... kamu akan menjadi cahaya di tengah kegelapan... "
Marni menatap foto Dewa di meja kecil yang terletak di samping tempat tidur. Dewa tampak gagah dengan jas almamater perguruan tingginya, Universitas Trisakti. Air mata Marni kembali menetes.
"Apa kau tahu, Nak sesuatu yang ibu takutkan? Ibu tidak takut dengan kematian, ibu hanya takut bila ibu tidak bisa menemanimu saat kamu membuka mata. Bangunlah, Nak! Bangunlah saat ibumu ini masih hidup." Marni mengambil napas dalam.
Kepingan peristiwa di tahun 1998 berkelebat di benaknya.
"Semua sudah terjadi..." Marni menggelengkan kepala. Ia tidak ingin mengingat peristiwa kelam yang membuat Dewa seperti ini. Marni bangkit dari duduknya. Ia memeluk Dewa dengan erat.
"Ibu pamit dulu, Nak. Ibu akan terus berdoa untukmu. Dewa, berjuanglah untuk bertahan hidup. Segeralah membuka mata, Nak..."
Marni mengecup kening Dewa. Lalu pergi melangkah ke pintu. Saat tangannya menyentuh gagang pintu, Marni membalikkan badan, kembali ia menatap Dewa. Sorot matanya menyiratkan harapan seorang ibu untuk buah hati satu-satunya agar putranya kembali sadar dari tidur panjangnya.
Ingatan Marni terlempar ke masa kecil anak semata wayangnya itu. Saat itu Dewa berusia sepuluh tahun. Ia terkena tifus dan dirawat di rumah sakit ini juga. Persis seperti sekarang, si kecil Dewa sempat koma selama tiga hari.
Hal aneh terjadi setelah Dewa sadar dari koma. Ia tiba-tiba bisa menggambarkan dengan jelas apa yang dialaminya selama koma. Dewa bercerita ia bermimpi bertualang seolah-olah di dunia nyata. Bermain ke taman, berlarian, berenang di sungai.
"Bu, ibu tahu dalam mimpi itu aku bisa naik ke langit. Tempatnya sangat indah, ada sebuah tangga kecil disana. Aku bersama anak-anak sebayaku pergi menaikinya." ujar Dewa kecil penuh semangat.
"Pakaian mereka semuanya berwarna putih. Sayangnya, anak-anak itu meninggalkanku. Padahal aku sedang berusaha keras mencapai puncak. Saat aku bermaksud mengejar mereka. Aku melihat sebuah pintu besar Bu. Pintu itu berada persis di depan puncak tangga." Dewa mempraktekkan jika ia percepat ayunan kakinya, seolah sedang menaiki anak tangga satu ke anak tangga berikutnya.
"Lalu anehnya Bu, tangga yang ku naiki itu seperti tidak ada ujungnya."
Marni mendengarkan dengan seksama cerita Dewa. Meski ia tidak 100% percaya.
Dewa kala itu bercerita, perjuangannya akhirnya berhasil setelah berusaha keras. Ia tiba di puncak tangga. Namun, Dewa tidak lagi mendengar suara teman-temannya. Suara-suara mereka lenyap dalam sekejap. Dengan ujung jemari tangannya, Dewa menggapai pintu besar di hadapannya. Saat daun pintu mulai terbuka, tangga yang menjadi pijakannya menghilang begitu saja. Dewa berteriak. Tubuhnya terpelanting lalu terjerembab di atas tanah lapang nan luas. Dewa mengaduh lalu ia tidak sadarkan diri. Saat Dewa mulai membuka matanya, ia merasakan ngilu di sekujur tubuhnya.
"Awh...! Sakit sekali...!" Dewa berusaha menggerakkan kakinya tapi ia malah merasakan nyeri luar biasa di ujung kaki kanannya yang meneteskan darah segar.
"Diamlah di tempatmu, Dewa..."
Seorang kakek berjubah putih dan berjenggot lebat menghampiri Dewa. Sang Kakek menggendong Dewa lalu membawanya ke bawah pohon rindang. Angin sepoi-sepoi mulai berembus perlahan, menerbangkan ujung jubah Sang Kakek. Ia mulai membersihkan luka di kaki Dewa lalu mengobatinya. Saat Sang Kakek membebat kaki Dewa, Dewa meringis menahan sakit.
"Rasa sakit ini hanya sementara." Kakek itu tersenyum. Ia mengangsurkan segelas air putih pada Dewa sambil berujar, "Kamu bisa memanggilku Abah Yai..."
Dewa bersegera minum air putih tersebut, seteguk demi seteguk. Sudah sejak tadi kerongkongannya kering dan seperti tertusuk duri.
"Terima kasih, Abah Yai..."
Lelaki berjenggot putih itu kembali tersenyum. Tangannya mengusap kepala Dewa dengan lembut. Lalu ia berbisik, "Dewa, kamu tidak akan lagi sama seperti kebanyakan orang. Tuhan menitipkan kemampuan ini kepadamu. Kamu harus menggunakan kemampuanmu untuk kebaikan. Dan ingatlah, takdir Tuhan itu tidak bisa diganti. Kamu hanya mampu memilih jalan mana yang akan kamu tempuh. Seperti orang naik sepeda, ada ratusan jalan yang bisa dia lalui, tapi tetap saja dia akan menuju tempat akhir yang sama. Pilihlah jalan yang sesuai kata hatimu karena ia tak akan pernah membohongimu, apalagi menyesatkanmu..."
Dewa hanya mengangguk tanpa mampu mencerna lebih dalam perkataan Abah Yai. Abah Yai mengusap kepala Dewa. Dewa menjerit kesakitan dan membuatnya tersadar dari komanya. Kejadian itu adalah kejadian paling membahagiakan di hidup Marni.
"Mungkinkah kau bisa bertemu Abah Yai lagi, Nak. Sehingga kau bisa sadar seperti dulu." Marni tersenyum. Secercah harapan terpancar dari sorot matanya. "Dewa, kau pasti bisa kembali sadar..."
Marni membalikkan badan. Ia menutup pintu lalu bergegas pergi meninggalkan rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLASHBACK 1998
Historical FictionSetelah 25 tahun mengalami koma, Dewa [45] akhirnya tersadar. Ia mengalami kecelakaan hebat di tengah demonstrasi 1998. Terbangunnya Dewa dari tidur panjangnya membuat sahabat-sahabatnya semasa kuliah mulai gelisah. Dewa menyimpan rahasia besar sepu...