Marni menyandarkan tubuhnya di atas sofa. Tubuhnya lunglai. Resto Gayatri berhasil diselamatkan. Meski demikian, taksiran kerugian akibat si jago merah ditaksir mencapai 2 M.
Marni menelepon Pak Kasno, kepala security. "Pak, saya minta di semua cabang resto, termasuk Mirasa diperketat keamanannya." Kepala Marni terasa berat. Baru kali ini semua cabang restoran miliknya mendapat teror bertubi-tubi.
Bib. Suara pesan masuk. Sebuah pesan ancaman kembali diterima Marni.
Itu akibatnyabilakaukeraskepala! Jangancoba-cobalaporpolisiataukauakan kehilanganorangterdekatmu!
Tubuh Marni menggigil. Ponsel dalam genggaman tangannya terlepas. Kepala Marni berputar hebat seperti dipukul palu godam.
"Ibu...!"
Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi bergegas menghampiri Marni yang tergolek di atas sofa.
"Bu, kita ke dokter, ya... Dewa nggak mau ibu kenapa-kenapa..." Dewa memberi Marni air putih.
Marni menggeleng lemah. "Wa, tolong ambilkan obat pereda sakit kepala di kotak obat, ya..."
"Bu... Dewa antar ibu ke rumah sakit..." Dewa bermaksud membopong ibunya tapi lagi-lagi Marni bersikeras menolak. "Nggak, Wa... Ibu hanya lelah saja..."
Karena tidak tega melihat kondisi Marni, Dewa segera menuruti permintaan Marni, mengambil obat pereda sakit kepala dan memberikannya pada Marni.
"Dewa pijitin ya..." Usai Marni meminum obat pereda sakit kepala, Dewa memijat punggung Marni setelah sebelumnya mengoleskan minyak aroma terapi. Kondisi Marni berangsur-angsur mulai tenang.
"Dewa buatkan teh lemon hangat, ya?"
Marni menggeleng. "Dewa kamu di sini saja temani ibu..." Marni menghela napas sejenak. "Ibu sangat bahagia dan bersyukur melihat perkembangan kesehatanmu, Nak... Ibu juga minta maaf... Di saat ingatanmu berangsur-angsur pulih, justru kamu harus dihadapkan pada permasalahan ibu..." Marni terisak.
Dewa memegang lembut tangan Marni. "Bu... apa yang Dewa alami dan rasakan sekarang pastinya nggak sebanding dengan apa yang ibu rasakan dan alami selama dua puluh lima tahun merawat Dewa koma. Ibu telah banyak berkorban untuk Dewa..."
Dewa meneteskan air mata. Keduanya saling berpelukan, saling menguatkan. "Dewa yakin, kita bisa melewati semua ujian ini..."
Suasana ruang keluarga di rumah Marni hening sejenak. Dewa menatap Marni lalu beralih pada beberapa album foto yang masih berjajar di atas meja di depan sofa.
"Bu... Ibu kenal baik sama Andra dan Aryo, kan?"
Untuk beberapa saat, Dewa terlihat membolak-balikkan lembaran di album foto, mencari foto keduanya.
Marni mengangguk. "Kalian sahabat dekat. Sering kali kalian menghabiskan waktu bersama. Termasuk melakukan konsolidasi menjelang demo 1998..." lirih Marni. Tatapan Marni menerawang.
"Tapi... tapi... mengapa Aryo berkhianat, Bu?" Dewa menatap lekat foto mereka bertiga dengan background view Gedung DPR MPR.
Marni terperanjat. Ia menyipitkan matanya. "Maksudmu, Wa...? Berkhianat?"
"Iya, Bu. Aryo-lah yang membuat Dewa celaka!" Dewa mulai geram. Nada bicaranya sedikit meninggi.
"Dewa... kamu ini koma cukup lama, Nak. Jangan bicara aneh-aneh... Nanti kalau ada yang dengar bisa jadi fitnah, Wa..." Marni menghela napas panjang. Terkadang Marni memang merasakan keanehan pada diri Dewa. Namun setelah berkonsultasi dengan dokter, mereka mengatakan itu hal yang lumrah terjadi pada orang yang koma cukup lama karena struktur memori Dewa belum utuh seratus persen.
"Dewa lihat sendiri! Dewa memergoki Aryo, Bu...!" Dewa keceplosan bicara.
"Sebentar... sebentar... Dewa. Hmm... Jangan-jangan kamu halusinasi... Kamu dulu pernah mengalami seperti ini saat umur sepuluh tahun. Saat itu kamu kena tifus lalu koma selama tiga hari..."
Ingatan Marni berusaha menjelajah waktu, mengingatkan setiap detail kejadian yang menimpa Dewa saat dokter mengatakan Dewa koma.
"Kamu bertemu ibu di masa depan..." Marni tidak melanjutkan bicaranya. Ia tersenyum lebar lalu menepuk lembut bahu Dewa.
Dewa menggeleng. "Nggak, Bu... Dewa nggak halusinasi. Dewa bisa melihat kejadian di tahun 1998. Dewa sudah beberapa kali mengalaminya..."
Dewa menangkup wajahnya. Ia kecewa. Untuk kesekian kalinya, Marni menganggap Dewa berhalusinasi. Tanpa sengaja, Dewa melihat pantulan dirinya di atas layar ponsel. Ia mengamati beberapa saat lalu membandingkan dirinya pada foto di atas meja. Dalam ingatannya, terlintas sosok Aryo dan Andra yang menemuinya di rumah sakit. Sosok yang jauh berbeda dengan foto mereka saat masih muda. Dewa tampak merenung. Hatinya bergolak.
"Benar kan mereka orang yang sama..." lirihnya.
Marni yang memperhatikan Dewa sejak tadi akhirnya angkat bicara.
"Siapa yang kamu maksud, Wa?" Marni mulai merasakan keanehan pada diri Dewa.
Dewa mengalihkan pandangan. Kini ia menatap Marni. "Apakah Aryo sama Andra yang menemuiku di rumah sakit adalah orang yang ada di foto ini, Bu?"
Marni menggeleng-gelengkan kepala. Ia harus menghadapi keanehan pada diri Dewa. Kadang, Dewa bisa melupakan sesuatu yang baru saja terjadi dengan begitu cepat. Namun di saat yang sama, ingatannya tentang potongan kejadian masa lalu tiba-tiba muncul tanpa diduga.
"Wa, coba ingat-ingat... foto itu kan yang ibu tunjukkan waktu Andra dan Aryo menemuimu?"
Marni menghela napas panjang. Kepalanya terasa makin berat, tapi ia mencoba menegarkan diri. Marni mengusap lembut wajah Dewa. "Mereka orang yang sama, Nak. Penampilan fisik mereka sudah berubah seperti kamu dan ibu. Sudah dua puluh lima tahun waktu berlalu, Wa..."
Marni ikut memandangi foto yang ditunjukkan Dewa. Kedua mata Marni mulai berkaca-kaca. Ada kerinduan yang menyeruak, ingatan anaknya bisa kembali terjalin utuh sebagaimana dua puluh lima tahun yang lalu.
Brakk... Album foto di tangan Dewa terjatuh.
"Dewa... kamu nggak apa-apa kan, Nak?"
Marni melihat amarah terpancar dari sorot mata elang Dewa. Kedua telapak tangan Dewa mengepal.
"Aryo-lah yang mencelakaiku, Bu! Dia pengkhianat!"
Gigi geraham Dewa bergemeretak. Baru kali ini Marni melihat anaknya segeram itu. "Wa, tenangkan dirimu ya, Nak. Minum air putih dulu..."
Marni mengelus pundak Dewa. Ia benar-benar tidak habis pikir mengapa Dewa ngotot mengatakan Aryo pengkhianat.
Belum usai kemarahan Dewa, layar ponsel Marni kembali berkedip. Marni bisa melihat pop up pesan di layar, ancaman kembali dari si peneror. Kepala Marni terasa makin berat. Kedua kakinya mulai tidak mampu menopang berat tubuhnya. Marni menyandarkan tubuhnya di atas sofa. Rentetan peristiwa demi peristiwa yang dihadapinya hampir-hampir membuat kepalanya meledak.
Kondisi Marni yang lunglai menyadarkan Dewa dari amarahnya. "Ibu...! Ibu kita ke dokter..."
Dewa menahan tubuh Marni yang melorot ke lantai. Ia bergegas menggendong Marni dan merebahkan Marni di atas sofa.
"Kita ke rumah sakit, Bu." Marni hanya bisa diam pasrah.
Dewa mengambil ponselnya dan bermaksud menghubungi nomor Pak Warno seiring dengan bel pintu yang berbunyi.
Dewa mengurungkan panggilan. "Siapa lagi..." gerutu Dewa.
Dewa bersegera membukakan pintu. Kedua matanya terbelalak saat menatap kehadiran dua sosok di hadapannya. Pandangan Dewa langsung mengarah pada Aryo. Mata Dewa berkilat. Amarahnya memuncak ke ubun-ubun.
"Kau...! Dasar pengkhianat!" Dewa berkacak pinggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLASHBACK 1998
Historical FictionSetelah 25 tahun mengalami koma, Dewa [45] akhirnya tersadar. Ia mengalami kecelakaan hebat di tengah demonstrasi 1998. Terbangunnya Dewa dari tidur panjangnya membuat sahabat-sahabatnya semasa kuliah mulai gelisah. Dewa menyimpan rahasia besar sepu...