Kepala Dewa terasa berat. Sekujur tubuhnya perih sekali seperti ada yang menaburkan cuka dan garam di atas luka yang masih basah. Tulang-tulang persendiannya remuk. Dewa tidak mampu menggerakkan badan meskipun hanya sekadar ujung jarinya saja. Dewa mendengarkan suara bising di sekitarnya. Suara sol sepatu beradu dengan lantai silih berganti. Derit roda brankar tak beraturan. Dari jauh, sayup-sayup terdengar sirine ambulan meraung-raung.
Dewa melihat para petugas medis dan perawat berjalan hilir mudik. Beberapa di antara mereka berjalan cepat setengah berlari. Ada yang mendorong kursi roda sambil memegangi botol infus pasien. Ada pula yang mendorong brankar dengan pasien di atasnya yang telah membujur kaku. Mereka seperti bermaraton dengan waktu.
Selang pernapasan dan infus telah terpasang. Dokter mulai memberikan tindakan. Sayang, tubuh Dewa tetap bergeming.
Dewa melihat bercak-bercak darah mulai mengering di beberapa bagian pakaiannya. Nyeri di kepalanya makin hebat. Ingin sekali telapak tangan Dewa mengusap bagian kepalanya yang sakit, sekadar untuk meredakan rasa sakit yang kian tak tertahankan. Namun, seluruh persendiannya begitu kaku. Bibirnya pun terasa kering. Kerongkongannya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum. Nyaris tidak ada satu pun bagian tubuhnya yang tidak didera rasa sakit.
"Ibuuu...!" Dewa menjerit sekencang-kencangnya. "Ibu, tolong Dewa...!"
Dewa melihat kelebat bayangan ibunya. Dewa bisa mendengar tangis ibunya pecah. Ia berusaha memanggil kembali ibunya. "Ibu... jangan pergi! Tolong Dewa, Bu!"
Dewa berusaha mengejar bayangan ibunya. Lagi-lagi, kakinya seperti terikat rantai gajah. "Ibu...!" Dewa berteriak lagi.
Petugas medis dan perawat masih sibuk dengan pekerjaannya. Darah di kepala Dewa mulai mengering. Perawat dengan cekatan membersihkan dengan cairan. Dewa mengerang.
"Aduh! Sakit sekali, Suster! Perih...!"
Dewa menjerit. Tapi suaranya seperti tenggelam di dalam ruang kedap suara. Mereka mengabaikan jeritan Dewa. Satu suntikan bersarang di tubuh Dewa. Dewa mengerjap. Kepalanya berputar-putar. Dunianya terasa jungkir balik. Sesaat kemudian pandangan Dewa mulai menggelap. Sayup-sayup suara berdenging di telinga Dewa, persis seperti lebah yang keluar dari sarangnya.
Kini, kaki Dewa terasa ringan untuk melangkah. Tubuhnya melayang-layang di udara. Gumpalan awan tipis menabrak tubuhnya, terasa dingin menusuk. Dewa mengusap perlahan wajahnya, lalu beralih ke kepalanya yang sudah dipenuhi perban. Dewa meraba lehernya. Cervical collar terpasang di sana.
Dewa mengedarkan pandangan. Hamparan putih nan luas membentang di hadapannya.
"Putri, kau di sini..."
Sepotong wajah pualam melempar senyum ke arah Dewa. Ia berbalik lalu berlalu meninggalkan Dewa yang masih berdiri mematung.
"Putri, jangan pergi!"
Tubuh Putri lenyap ditelan awan putih. Dewa berusaha mengejarnya. Namun, usahanya sia-sia. Dewa menghentikan langkahnya. Kepalanya berdenyut hebat. Dewa mengerang kesakitan. Saluran pernapasannya ikut merasakan hal serupa. Napas Dewa naik turun.
"Dewa... sadarlah, Nak...!"
Dewa melihat Marni mengguncang-guncangkan tubuhnya. "Ibu..."
Seorang perawat menuntun Marni menjauh dari Dewa.
"Biarkan ibu tetap di sini!" teriak Dewa. "Apa yang kalian lakukan? Biarkan aku sama ibu! Lepaskan... Lepaskan!"
Beberapa dokter dan perawat tampak sibuk. Dewa berusaha menepis tangan-tangan mereka, namun sia-sia. Dewa seperti menghalau angin.
Dewa melihat sekelilingnya mulai dipenuhi kabut tebal. Perlahan, kabut itu makin pekat mengurung tubuh Dewa. Dewa tidak bisa melihat apa-apa, kecuali kegelapan yang menjulang tanpa batas. Tubuhnya terkulai. Tidak ada lagi suara bising seperti lebah yang semula berngiang-ngiang di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLASHBACK 1998
Historical FictionSetelah 25 tahun mengalami koma, Dewa [45] akhirnya tersadar. Ia mengalami kecelakaan hebat di tengah demonstrasi 1998. Terbangunnya Dewa dari tidur panjangnya membuat sahabat-sahabatnya semasa kuliah mulai gelisah. Dewa menyimpan rahasia besar sepu...