Aryo dan Andra

71 12 11
                                    

Hari sudah lama berlalu sejak kejadian aneh yang menimpa Dewa. Ingatan yang susah sekali ia ingat perlahan membaik. Ia mulai mengingat kejadian saat kerusuhan sedikit demi sedikit. Yang membuatnya semakin terheran adalah, ia mulai mengingat sosok tak asing dimasa lalu. Kejadian yang sama persis dengan kejadian di luar nalar yang ia hadapi tempo hari. Namun ia tidak berperan sebagai orang tua berusia 45 tahun yang menolong anak yang mirip dirinya. Akan tetapi ia berperan sebagai dirinya sendiri saat muda.

Lelaki dengan kerut di sekitar matanya itu masih mencoba memahami sesuatu. Pola yang tidak asing di otaknya. Ia bisa kembali ke masa lalu, lalu ingatan tentang pria misterius yang selalu menolongnya saat kerusuhan. Ia menyadari ada benang merah aneh yang bisa menghubungkan keduanya. Mungkin saja orang misterius yang dulu selalu menolongnya itu kemungkinan besar adalah dirinya saat ini yang menjelajah waktu. Yah, karena kejadian diingatannya persis seperti kejafian yang dialaminya saat menjelajah waktu.

Samar, Dewa mengingat helai rambut dan lekuk wajah yang sama persis. Mata elang yang bersinar tajam, bisa jadi memang dari orang yang sama, yaitu dirinya saat ini.

"Apa orang itu aku? Kalau iya, bukankah seharusnya aku juga melakukan hal yang sama sekarang untuk menolong diriku dulu? Tapi bagaimana caranya?"gumam Dewa.

Ia yakin pasti ada yang menolong dirinya saat itu hingga ia bisa tetap bertahan hidup hingga sekarang. Kemiripan fisik dan karakter sosok penolongnya membuat Dewa yakin bahwa orang tersebut adalah dirinya sendiri. Dewa terus berusaha mengingat peristiwa yang menimpanya saat 1998 dulu.

"Aryo dan Andra." Dua nama yang terbesit di pikirannya. Dewa memberanikan diri untuk menghubungi Aryo dan Andra meski ia tidak yakin pilihannya tepat. Tak berselang lama, Marni datang membawa beberapa buah segar untuk Dewa. Marni berjalan menghampiri Dewa lalu mengecup kening anaknya itu penuh kasih sayang.

"Gimana harimu, Nak? Maaf ibu tidak bisa menemanimu pagi ini. Pekerjaan di restoran sangat banyak. Oh ya, ibu bawa buah mangga kesukaanmu. Ibu kupaskan, ya?" Marni mencoba tegar saat di depan Dewa. Ia selalu berusaha seceria mungkin agar anaknya itu lekas membaik.

Dewa mengangguk senang. "Ibu, bolehkan aku menghubungi Aryo dan Andra?" tanya Dewa di hadapan Marni. Saat itu Marni hendak mengupas buah. Ia tersentak kaget mendengar Dewa mengucapkan nama Aryo dan Andra.

"Kamu mulai mengingat Aryo dan Andra, Nak?" Binar bahagia terpancar dari tubuh tua Marni. Ia senang putranya mulai bisa mengingat satu demi satu masa lalunya. Bak angin sepoi yang melesak memenuhi relung hati Marni, ia merasakan kesejukan. Harapannya kembali membuncah. Namun ketakutan yang sama juga turut menghantui dirinya. Jika Dewa mampu mengingat siapa pelaku yang mencelakai dirinya, Marni sadar betul, bahaya besar sedang mengancam buah hatinya. Ia akan kehilangan Dewa untuk selamanya. Deru jantung Marni makin kencang.

"Masih samar, Bu... Tapi aku akan mencobanya. Aku ingin menemui mereka. Siapa tahu dengan bertemu mereka, aku jadi ingat beberapa hal," jelas Dewa.

Marni tampak lega. Di satu sisi ia ingin anaknya sembuh, namun di sisi lain ia juga takut kehilangan anaknya lagi. Derit jendela yang terbuka mengingatkan Marni jika ini semua bukanlah mimpi. Dewa bisa sadar dan mengingat kembali mungkin memang untaian takdir yang harus ia jalani.

"Baiklah, Nak. Ibu akan coba menghubungi mereka. Tapi Dewa janji, ya? Kamu nggak boleh terlalu memaksakan diri untuk mengingat semuanya. Ibu ingin kamu selalu di sisi ibu, Nak.. Dewa janji nggak akan pernah meninggalkan ibu lagi?"

Kedua sudut mata Marni mulai meneteskan air mata.

Dewa menatap Marni dengan perasaan tak menentu. Ia mengangguk. "Tentu saja, Bu."

"Baiklah... Dewa makan ini dulu, ya. Habis itu istirahat."

Marni menyodorkan sepiring mangga yang sudah dipotong dadu pada Dewa. Lelaki itu mencomot sepotong mangga dengan garpu. Kelelahan menggurat di wajanya. Dewa merasa lelah dengan rasa sakit yang terus berulang di kepalanya. Ia juga lelah setelah perjalanan waktu yang ia lakukan. Rasa manis dari buah mangga membuat kepala Dewa sedikit tenang. Sepertinya otaknya mulai merespon setelah mendapatkan asupan nutrisi baru.

"Biar ibu saja yang meminta mereka ke mari. Bukankah lebih nyaman jika ngobrol langsung di sini? Mereka pasti senang mendengar kabar ingatanmu berangsur pulih."

Marni mengambil ponsel di tasnya lalu tersenyum pada Dewa. Marni mulai menghubungi Aryo dan Andra bersamaan melalui videocall grup.

"Hallo, Nak Aryo. Nak Andra. Ehm, apa tante menganggu? Ini, sebenarnya Dewa mintamu dan Andra untuk main ke rumah. Tapi... kalau kalian masih sibuk kerja, ya nggak pa pa, lain waktu saja..."

Aryo menatap Andra penuh kecemasan. Tanpa kata jelas sekali mimik wajah Aryo menyiratkan jika ingatan Dewa benar-benar pulih, tentu saja itu menjadi bencana bagi dirinya dan Andra..

"Tentu saja aku tidak keberatan tante," jawab Andra ceria. "Lalu Nak Aryo?" Tatap Marni penuh harap.

"Aryo juga tidak masalah kok, Tante," kata Aryo. "Alhamdulillah. Kalau begitu tante tunggu kedatangannya ya."

Marni memutuskan panggilannya dengan wajah yang sangat bahagia. Ia tidak sabar melihat Dewa bisa berkumpul kembali dengan rekan-rekannya seperti dulu.

Di lain tempat, "Bagaimana jika ingatan Dewa pulih?" Aryo memicingkan mata ke arah luar jendela. Laki-laki itu berulang menggumamkan kata-kata yang sama. Sesekali tersenyum hambar. Hingga ia memutuskan menghubungi Andra.

"Ndra, bagaimana jika ingatan Dewa pulih?"

"Sudahlah, Yo. Jangan bepikir macam-macam! Kita pergi ke rumah Dewa sekarang... Kita bertemu di gerbang rumah Dewa setengah jam dari sekarang!" jawab Andra dari seberang panggilan.

Andra bergegas sementara Aryo masih mondar-mandir di kantornya. Hubungannyan dan Andra tidak membaik sejak kejadian di gudang. Ditambah lagi kejadian 25 tahun lalu yang membuat sikap Andra padanya berubah.

Aryo yang juga terlalu memikirkan Dewa hingga membuat Andra risih. Tampak sekali bila Andra tidak lagi menyukai Aryo begitu juga sebaliknya. Sehingga ia menghindari Andra secara tidak langsung.

"Anak bodoh itu tidak pernah berpikir jauh ke depan. Memuakkan," gerutu Aryo. "Andra benar-benar buta akan kenyataan. Kehidupan kami tidak akan berjalan normal meski dua puluh lima tahun berlalu.

Aryo melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu semalin cepat berputar. Ia harus bergegas. Ia tidak mau ketinggalan informasi tentang kondisi Dewa. Ia harus memastikan bahwa ingatan Dewa tidak akan pernah bisa kembali. Ia juga akan melakukan hal apapunagar keinginannya terwujud termasuk menghabisi nyawa orang yang menghalangi jalannya.

Kantor Aryo tidak jauh dari kompleks perumahan milik Dewa. Hanya butuh sepuluh menit mengendarai mobil ia akan bisa dengan mudah sampaj di sana. Di tengah perjalanan Aryo terus menerus menggerak-gerakkan tangan dan kakinya tak beraturan. Ketegangannya membuat keringat mengucur deras dari pelipis kanan.

"Aku harap tanganku tetap bersih sampai akhir." 

FLASHBACK 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang