10 Milyar

122 17 16
                                    

Tak biasanya Marni menghabiskan hari-harinya di rumah. Biasanya ia akan pergi ke rumah sakit dan selebihnya mengurusi restoran. Namun berbeda dengan hari ini. Ia merasa ia harus menenangkan diri sejenak di kamarnya. Kamar yang cukup besar dengan dekorasi klasik. Di dinding atas tempat tidurnya tergantung lukisan cukup tua miliknya. Di sana nampak raut bahagia dirinya, suami dan anaknya. Lukisan mereka yang berharga bagi Marni.

"Mas, aku lelah," gumam Marni sembari memandang wajah almarhum suaminya. "Ingin rasanya aku menyusul Mas saja."

Marni menyandarkan punggungnya di bantalan sofa. Ia memijat-mijat keningnya beberapa saat lalu memeriksa deretan pesan di WA-nya. Nomor tak dikenal itu kembali mengirimkan pesan ancaman.

Sepuluh miliar itu terlalu murah untuk harga sebuah nyawa.

Marni kembali memijat keningnya. Kepalanya terasa pusing. Hampir saja Marni beranjak dari sofa saat ponselnya berdering nyaring. Marni tampak ragu ketika sorot matanya menatap layar ponsel yang menampilkan deretan angka tanpa nama.

Degup jantung Marni mulai berpacu. Marni berjalan mondar-mandir beberapa saat melirik ke arah lukisan suaminya beralih ke Dewa, seolah ingin mendapat jawaban dari keduanya. Setelah membuang napas panjang akhirnya ia memutuskan untuk menerima panggilan itu.

"Jadi kapan kamu akan menyerahkan uang sepuluh M itu?" suara parau terdengar di seberang.

"Anda-anda... sii... apa?" Keringat dingin mulai membasahi kening Marni. Terdengar suara terkekeh.

"Serahkan uang yang kuminta besok pagi jam sembilan. Aku akan segera mengirimkan lokasinya. Jangan coba-coba memanggil polisi atau menipuku. Satu nyawa sebagai penggantinya. Ingat, sepuluh miliar Marni. Jumlah yang sangat kecil untuk menebus satu nyawa. Kami punya hadiah untukmu malam ini. Lihat dan terima dengan senang hati!"

Suara tawa parau itu mengakhiri panggilan.

Marni mengempaskan tubuhnya di atas sofa. Ia membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja. Tubuhnya terasa lunglai. Napasnya mulai tidak beraturan. Ruang udara di dadanya terasa sempit.

Malam kian larut, tanpa gerutu, tanpa siasat, dan tanpa hasrat. Seperti koloni semut hitam di atas mangsanya, seperti tinta hitam yang ditumpahkan di kota metropolis Jakarta. Dalam kegelapan, Marni berjalan pelan, terseok karena pusing memikirkan beban kehidupan yang tak kunjung usai. Anak semata wayangnya yang tak kunjung membuka harapannya, resto yang makin hari makin susah mendapatkan pelanggan hingga ancaman tadi pagi yang ia terima dari penelpon misterius.

Menurut Marni, kata-kata seorang filsuf yang mengajarkan bahwa kebahagiaan dapat diraih dalam sekejap mata oleh setiap manusia, itu sama sekali tidak benar adanya. Yang benar itu dunia adalah gumpalan kontradiksi yang karut-marut dan di mata Marni, gagasan apa pun tentang kebahagiaan adalah hal yang sangat tidak masuk akal.

Kehidupan tidaklah sederhana. Segala permasalahan yang dihadapi manusia dalam hidup juga tidaklah sederhana.

"Bu Marni... Gawat, Bu! Gawat...!" Seorang pelayan Resto Mirasa tergopoh menyambut kedatangan Marni. Dari raut wajahnya nampak sekali si pelayan sangat panik dan khawatir. Marni mengangkat wajahnya, menatap pelayan laki-laki itu lekat-lekat. Dalam hati ia berkata pada dirinya sendiri, masalah apa lagi yang datang ya Tuhan.

"Ada apa, Joko? Tarik napas dulu dan bicaralah pelan-pelan," kata Marni setenang mungkin. Meski ia tahu pasti ada hal yang buruk yang akan menyambutnya seperti sebelum-sebelumnya.

"Gawat, Bu! Tampaknya ada yang tidak suka sama resto kita, Bu!" Bak sambaran petir, Marni mengelus dadanya pelan. Rasa sesak melesak ke dalam rongga dadanya. Ia tidak bisa berbagi masalah ini pada siapa pun, suaminya sudah berpulang dan anaknya ada di rumah sakit. Bagi Marni, Tuhan terasa sedang membencinya.

"Maksudmu apa?" Seketika Marni memicingkan mata, melihat ke arah pintu depan restoran miliknya. Dari kejauhan terlihat banyak orang berkerumun di sana, membuat Marni ingin segera mengetahui apa yang terjadi.

"Mari, Bu... Ikut saya sebentar..." Joko dan Marni mengambil langkah cepat. Perasaan Marni mulai tidak tenang. Setelah bersusah payah membuka jalan, Marni terbelalak melihat pemandangan mengerikan di depan matanya. Lebih prah dibandingkan kejadian di Resto Gayatri tempo hari. Kali ini di resto Mirasa, tepat di tengah keramaian, ada tiga belas bangkai kucing hitam tergantung di atas pintu masuk dan puluhan bangkai tikus berjajar di beranda restoran. Tikus-tikus itu membentuk sebuah tulisan mengerikan.

"MATI," ujar Marni membaca kata-kata di bawah kakinya itu. Mata Marni melebar, kepalanya terasa makin sakit, "Coba jelaskan apa maksud ini semua?"

Para pelayan hanya menunduk dan saling berpandangan. "Masuk dulu, Bu. Saya akan menjelaskan di dalam." Bram seorang yang nampak lebih tua dibanding yang lain maju dan mempersilakan Marni masuk ke dalam restoran. Kondisi di dalam restoran pun sangat berantakan. Banyak piring pecah, berserakan di mana-mana. Meja dan kursi sudah tidak tertata rapi. Marni menempatkan dirinya di tengah restorannya lalu ia duduk di meja tengah. Bram mengikutinya dan berdiri tepat di sebelah Marni.

Kesabaran Marni perlahan sirna. Ia mengutuk orang-orang itu. Ia yakin orang-orang seperti mereka tidak akan bisa berubah. Dunia tidak akan pernah menjadi sederhana dan bahwa semua orang bisa berbahagia itu semua hanyalah kebohongan bagi Marni.

"Tadi sebelum kami selesai menutup resto, ada sekelompok preman datang ke mari, Bu Marni. Semua kekacauan ini ulah mereka. Lalu mereka menitipkan ini," kata Bram membuyarkan lamunan Marni. Bram menyerahkan sepucuk surat pada Marni.

Kejadian yang nyaris sama dengan resto Gayatri. Rupanya semua ini memang sengaja dikirim seseorang untuk meneror Marni. Marni membuka pelan surat itu, jantungnya kembali berdegup kencang. Ia tidak habis pikir, siapa orang yang setega ini memberikan surat ancaman padanya. Lagi-lagi mereka minta Marni segera menyerahkan uang senilai 10 M ditempat yang telah ditentukan. Bila Marni tidak mau, maka kelangsungan bisnisnya menjadi taruhannya.

"Persis seperti ancaman mereka di telepon... Padahal aku tidak pernah berutang sebanyak ini. Jadi haruskah menuruti ancaman mereka..."' gumam Marni dalam hati. "Tapi jika aku tidak menuruti jelas Dewa dan bisnisku akan berantakan." Mau tidak mau Marni harus memberikan uangnya besok hari.

"Permisi, kami ingin meminta keterangan Anda," kata seorang berseragam polisi. "Kami dengar ada keributan terjadi di sini."

Marni melirik ke arah Bram. Lelaki itu menunduk. Marni tahu bila Bram yang menghubungi polisi. Marni tidak bisa sepenuhnya menyalahkan bawahannya itu. Bahkan Nur yang sudah lama berkerja padanya saja menyarankan untuk melapor ke polisi.

"Tunggu sebentar, Pak. Saya butuh berbicara dengan karyawan saya sebentar." Marni meminta Bram mengikutinya.

"Ma... maafkan saya Bu Marni. Nur sudah menceritakan hal yang terjadi di resto Gayatri. Sa... saya pikir ini semua sudah keterlaluan dan harus segera diambil tindakan. " Bram menatap mata marah Marni. "Maafkan saya." "Anak muda tidak mengerti." Marmi menggeleng pasrah.

Sebuah pesan masuk ke ponselnya yang membuat Marni semakin geram. Pesan dari cabang restonya yang lain. Ternyata di beberapa cabang juga mengalami kejadian serupa.

"Lebih baik membicarakannya dengan polisi, Bu."

"Tidak akan pernah. Ingat Bram, kau tidak boleh membocorkan tentang surat ancaman itu ke polisi. Cukup bilang semua kerusuhan ini terjadi karena preman yang sedang mabuk. Kau boleh keluar sekarang," kata Marni panjang lebar.

Bram nampak kecewa dengan atasannya itu. Begitupun ia harus mematuhi perintah.

Marni memegang kepalanya, pusing memikirkan bagaimana mencari uang 10 M. Apalagi top up dana pembayaran rumah sakit juga akan segera jatuh tempo. Marni lalu melipat surat itu dan meminta para pelayannya untuk tetap tenang. Mereka diharapkan besok tetap buka seperti biasa. 

FLASHBACK 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang