Dokumentasi

128 14 14
                                    

Senja itu di halaman kampus Universitas Trisakti masih basah ketika puluhan aparat berseragam berlarian. Dari moncong senapannya, peluru menghambur mengejar sasaran. Diiringi desingan peluru, ratusan mahasiswa berlarian kocar-kacir. Televisi berita dunia melukiskannya dengan seksama. Asap gas air mata mengepul, darah membuncah.

Di halaman kampus Trisakti, butiran peluru telah menewaskan empat mahasiswa. Sisa-sisa ingatan itu masih lekat di benak kedua pria paruh baya itu. Mobil CRV putih berkendara di jalanan Trisakti. Aryo melirik sekilas tempat kuliahnya dulu. Menelan ludah dan kembali melajukan mobil menuju gudang terbengkalai tempat dahuli ia nongkrong bersama rekan-rekannya. Andra sibuk membalas pesan di ponselnya.

Mereka berjalan menuju sebuah ruangan sempit dengan dinding beton berwarna putih tak jauh dari gudang, Aryo dan Andra nampak terlibat pembicaraan serius.

"Lo yakin, Ndra?"

Aryo mengembuskan asap rokok ke udara, membentuk gulungan asap tipis yang melayang-layang. Lelaki itu menatap tajam lawan bicaranya.

"Ada dua kemungkinan. Kondisi Dewa akan makin memburuk dan... death..." Andra melintangkan telapak tangannya di depan leher, "atau mungkin sebaliknya... akan menjadi titik sadar dia..."

"Hah? Yang benar ada kemungkinan kedua?" Aryo terperanjat. Ia bangkit dari kursinya dan menepuk bahu Andra. Jujur-jujuran saja Aryo tidak mau jika Dewa sampai sadar kembali begitu juga dengan Andra.

Andra mengangguk. "Itu yang sempat aku pelajari dulu sewaktu kuliah. Bukannya bagus ya kalau Dewa sadar."

"Yah, maksud gue bukannya ga seneng sih. Gue juga bersyukur kalau dia bisa bangun lagi." kata Aryo mengalihkan topik. "Lalu kalau Dewa sadar... ehm... apakah ingatannya masih berfungsi dengan baik? Kejadiannya sudah 25 tahun silam. Bahkan sudah banyak korban peristiwa 1998 memilih berdamai dengan trauma akibat kerusuhan..."

Aryo menghadapkan wajahnya persis di hadapan Andra.

"Lo gila ya, kejadian itu tidak layak dilupakan. Lo tau benar hal itu. Kita kehilangan Marta, Johan dan banyak lagi. Orang yang melupakan semua hal itu tidak layak disebut mahasiswa Trisakti," kata Andra marah.

"Yah, maksud gue bukan ingatan kita. Tapi ingatan Dewa," jawab Aryo.

"Kalau itu, kemungkinan besar dia akan hilang ingatan, entah permanen atau sebagian..." gumam Andra.

Arya mendengus. "Ini bisa bikin masalah baru!"

"Maksud lo?" Andra mengisap rokoknya lalu mengambil secangkir kopi yang sudah mulai dingin.

Ruangan sempit ini mulai dipenuhi dengan gulungan asap rokok.

"Lo nggak lupa, kan? Dewa meliput aksi demo waktu itu? Lo juga tahu kan kepiawaian Dewa membekukan setiap momen penting? Termasuk... waktu teman- teman kita tumbang dan beberapa hilang nggak kembali?" sungut Aryo.

Andra hanya mengangguk. Tidak ada respon berlebih darinya.

Aryo makin bersungut, "Artinya itu bahaya!" Aryo menepuk bahu Andra. Andra hanya mengedikkan bahunya saja.

"Ndra!" Arya mematikan puntung rokoknya, "Lo masih bisa santai, ya!"

Andra tidak menyahut. Ia malah asyik mengisap rokok lalu mengembuskan perlahan.

"Gila lo, Ndra! Ini nyawa lho taruhannya!" mata Arya nanar. "Semua bisa kebongkar..." imbuhnya.

"Lo takut mati? Sejak kapan?" Andra tertawa kecut. "Bukankah semua ini juga terjadi gara-gara lo. Udahlah Yo. Jangan berpikiran kolot."

"Sssttt...." Ujung jari telunjuk Aryo berdiri di depan bibirnya, "Ingat, Ndra... tembok pun bisa bicara. Gue rasa lo nggak akan pernah lupa..." bisik Aryo.

"Ngapain lo ribut mikirin hal yang belum terjadi, Yo? Ini bukan tahun pertama atau tahun kedua! Sudah dua puluh lima tahun, Yo. Kondisi Dewa tetap nggak ada progress berarti. Meski ada pergerakan kecil, lo dengar sendiri, kan? Dokter belum bisa memberikan kepastian apa pun. Jadi jangan berpikir yang nggak-nggak! Lagian, bukti-bukti itu pasti juga sudah lenyap. Negatif film itu pasti juga sudah rusak. Toh sejauh ini nggak ada satu pun media yang mempublikasikan foto-foto liputan Dewa waktu itu, kan?" sahut Andra ketus.

"Kurasa nyawa Dewa juga dalam ancaman, Ndra. Mereka pasti nggak akan membiarkan Dewa bersuara..." gumam Aryo.

"Cerdas dikit kenapa, Yo? Lo jelas sudah tahu. Kalau Dewa sadar, kemungkinan besar memorinya akan hilang atau beruntung bila masih tersisa sebagian. Kalau ingatannya bisa kembali, dia dulu yang bakalan dihabisin..." bisik Andra.

"Ndra, lo... tega ya sama sahabat sendiri? Lo nggak kasihan lihat ibunya tiap hari bolak-balik ke rumah sakit. Dua puluh lima tahun itu nggak singkat, Ndra... Coba lo bayangin kalau lo dalam posisi dia..."

Aryo menyandarkan kepalanya di dinding, terasa ada batu besar yang bertengger di sana. Ada kepingan benda tajam yang kini menusuk-nusuk ulu hatinya, terasa ngilu.

"Jangan sok jadi pahlawan kesiangan, Yo! Ngapain lo baru ngomong begini sekarang, hah? Sebelum-sebelumnya lo ke mana? Lo ngapain saja? Lo memilih bungkam dua puluh lima tahun! Itu risiko!"

Andra menyesap sisa kopinya lalu meninggalkan ruangan sempit yang makin pengap dengan asap rokok tersebut.

Aryo menghela napas dalam. Otaknya seperti gulungan pita kaset yang memutar kembali frame demi frame kejadian dua puluh lima tahun silam. Kepingan peristiwa yang terus menghantuinya hingga sekarang.

"Andra, lo boleh ga peduli, tapi gak dengan gue. Gue gak akan membiarkan malapetaka itu kembali ke kehidupan kita," kata Aryo dalam hati.

Aryo mengingat kejadian mengerikan itu. Di Jakarta saja, menurut catatan tim Relawan untuk kemanusiaan. Kekacauan itu telah menyebabkan sedikitnya 1217 orang tewas, 91 orang terluka, dan 31 orang hilang. Tidak disanksikan bahwa kejadian itu menggoreskan trauma kolektif bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang secara langsung menjadi korban akibat kejadian tersebut.

Dokumentasi menyeluruh mengenai Tragedi Mei tentu saja amat penting bagi setiap upaya untuk merenggut tirai kekaburan yang menyelubungi petaka itu. Pastilah dengan kian lengkapnya dokumentasi mengenai kejadian tersebut akan terbuka pula kemungkinan-kemungkinan untuk menelusuri faktoe-faktoe yang melatarbelakangi, mendorong, dan mengarahkan Tragedi Mei serta pihak-pihak yang terlibat sebagai pelaku utamanya.

Hal yang berbahaya bagi Aryo dan Andra, dokumentasi yang dibawa Dewa adalah kunci kematian keduanya.

"Andra, anak bodoh itu gak paham seberapa mengerikannya singa yang marah. Menghabisi kita bukan hal sulit buat mereka." Aryo menyesap puntung rokok terakhirnya lalu melemparnya ke sampah.

"Njing, tunggu gue. Kita ke rumah sakit sekarang," kata Aryo. Andra menengok sebentar lalu kembali berjalan menjauhi Aryo.

"Cecunguk itu benar-benar..." sebelum Aryo selesai dengan perkataannya, Andra berbalik dan berjalan menuju Aryo, menatapnya lekat.

"Berhenti mengataiku. Lo tau lo itu gak pernah berubah. Overthinking. Gue berani taruhan semua hal yang lo takutin itu ga akan pernah terjadi. Toh Dewa tidak akan pernah bangun," tegas Andra.

Setelah itu Aryo hanya diam begitu pula Andra. Mereka melaju dalam kesunyian menuju rumah sakit tempat Dewa dirawat. Kebiasaan yang selalu mereka lakukan sebulan sekali selama dua puluh lima tahun terakhir. 

FLASHBACK 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang