Target

13 2 0
                                    

Matahari meninggi. Sinarnya mengiringi langkah Dewa. Ia berjalan menuju suara teriakan histeris dari para mahasiswa. Dewa melihat ratusan bahkan ribuan orang berkumpul di sana. Mereka memang sengaja dikumpulkan di tempat itu untuk mengikuti orasi bersama mahasiswa-mahasiswa lain. Begitu banyak massa berkumpul di halaman parkir Universitas Trisakti pukul 11 pagi, 12 Mei 1998. Ada guru besar, dosen, mahasiswa, karyawan, dan alumni.

Ada gerakan seseorang yang menarik perhatian Dewa. Ia melihat wajah yang sama seperti dirinya namun jauh lebih muda. Laki-laki itu mengenakan jas almamater biru dan membawa pengeras suara di tangannya. Dewa mengikuti sosok dirinya dari kejauhan.

Suara mahasiswa makin lantang. Beranjak siang, aliran manusia kian deras. Hawa mulai menghangat tatkala lima ribuan mahasiswa bergantian memekikkan yel-yel.

"Turunkan harga sembako! Reformasi politik! Soeharto mundur!" "Turunkan harga sembako!"

"Turunkan Soeharto!"

"Ganti sistem pemerintahan!" "Hentikan krisis moneter!"

Awal-awal aksi mereka tampak damai. Mereka meneriakkan keinginan mereka sembari menunggu orasi besar dari mantan Kepala Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution. Namun ternyata saat itu Abdul Haris batal datang. Massa mahasiswa kemudian melanjutkan aksi berjalan kaki ke gedung DPR/MPR di Senayan, Jakarta Pusat. Jaraknya sepuluh kilometer lebih dari Kampus Trisakti di Grogol, Jakarta Barat.

Dewa melihat dirinya ada di antara mereka. Ia tampak gagah mengenakan almamater berjalan di barisan paling depan. Dewa mengikuti dirinya dari belakang.

"Woi, Pak Tua, jangan menghalangi jalan! Anda mahasiswa abadi? Kok ada sih yang setua Anda?" umpat salah seorang mahasiswa yang merasa terganggu karena Dewa tidak kunjung berjalan maju.

"Ah, maaf!"

"Jangan banyak bacot! Kembali ke barisan! Maafkan teman saya, Pak. Ia memang kasar. Jangan dimasukkan hati, ya..." Seorang aktivis wanita terlihat membela Dewa. Di almamaternya tertulis nama Marta. "Hati-hati, Pak! Awas terinjak!" kembali gadis itu mengingatkan Dewa.

Belum sempat Dewa berterima kasih, gadis itu sudah menghilang di antara banyaknya mahasiswa. Saat itu tengah hari, sekitar pukul 12.00 WIB. Baru seratusan meter keluar dari kampus, pasukan Pengendali Massa Polres Jakarta Barat, Korps Brimob Polda Metro Jaya, dan Pasukan Anti-Huru-Hara Resimen Induk Kodam Jaya menghadang barisan. Dewa melihat dirinya sebagai wakil mahasiswa, Dekan Fakultas Hukum Trisakti, dan Komandan Kodim Jakarta Barat, Letkol (Inf.) Amril Amin tampak sedang berunding.

Perundingan menghasilkan aksi damai hanya sampai di depan kantor lama Walikota Jakarta Barat. "Saya minta kalian berjanji tidak ada aksi kekerasan di tempat ini," ujar perwakilan aparat disambut tepuk tangan mahasiswa. Aksi berjalan tertib. Sesekali mahasiswa bercanda dengan aparat keamanan, membagikan minuman kemasan, permen, dan bunga mawar.

Sekitar pukul 16.30 WIB, aparat meminta aksi dibubarkan dan mahasiswa diminta mundur ke kampus. Sempat terjadi ketegangan di antara mereka. Ketika mereka bergerak ke kampus, ada yang melontarkan kata-kata kotor dan makian. Aparat polisi terlihat sengaja memancing kemarahan mahasiswa.

Tiba-tiba dentuman senapan mengoyak udara petang hari. Mahasiswa kocar-kacir, belum semua dari mereka masuk ke kampus. Kampus yang merupakan inner sanctum atau wilayah suci tak lagi diindahkan oleh aparat. Berondongan senjata tak berkeputusan ke arah kampus berlangsung hampir tiga jam. Ratusan orang terluka. Beberapa mahasiswa gugur akibat peluru tajam. Dewa terdesak massa, membuatnya terpisah cukup jauh dari sosok dirinya.

Tak hanya menembak, aparat juga mulai menyerang, memukul, menendang, dan melepaskan gas air mata ke mahasiswa Trisakti, baik yang berlindung di kantor lama Walikota Jakarta Barat maupun yang telah kembali ke kampus. Dewa melihat dirinya terkena senapan di kaki kirinya sehingga ia kesulitan untuk bergerak. Dewa bergerak untuk menolong dirinya tapi ia terhalang gelombang massa yang mulai kocar-kacir.

Dari kejauhan, Dewa melihat dirinya berusaha keluar dari riuhnya mahasiswa yang ketakutan hendak menyelamatkan diri. Badannya terdorong hingga jatuh tersungkur dan terinjak-injak beberapa kali. Kesadarannya mulai menghilang.

"Hei, benar dia orang yang harus kita culik?"

"Benar! Wajahnya sama dengan orang yang di foto. Jadi pasti dia orangnya!"

Samar Dewa mendengar orang berucap ini dan itu berdebat dan saling mengumpat. Akan tetapi Dewa masih belum bisa mengembalikan kesadarannya secara utuh.

"Woi, bangun!" bentak seseorang sembari mengguyurkan satu ember penuh air ke tubuh Dewa. Seketika kesadarannya pulih, rasa sakit bekas tembakan yang terkena air mulai menjalar kembali di sekujur tubuh Dewa.

Dewa menyadari, dirinya bukan lagi berada di area kampus Trisakti, melainkan di gudang terbengkalai. Bau bubuk mesiu menyeruak.

Dewa mengedarkan pandangan. Ia melihat tumpukan bom molotov dijajar seadanya, senjata-senjata laras panjang dan pendek tergantung di beberapa sudut. Dua orang lelaki berbadan tegap berambut cepak sedang duduk di depannya.

"Dewa. Target nomer 007094," ucap salah satu dari mereka. Lelaki itu membawa selembar kertas dengan beberapa tulisan yang dicentang. Dewa melihat beberapa nama yang ia kenal tertulis di sana, nama mahasiswa yang berpengaruh dalam demo 1998.

"Bangsat! Kalau diajak ngomong itu perhatikan!" Seorang lelaki lain menendang kepala Dewa dengan keras. Dewa mengaduh. Ia memegangi kepalanya. Dunia terasa jungkir balik dan menjadi gelap.

Dewa melihat dirinya dibawa pergi oleh dua orang berbadan tegap dan berambut cepak. Dari kejauhan, Dewa mendengar sayup-sayup seseorang menyebut nama Andra dan Aryo. Dengan hati-hati, Dewa berusaha mengikuti orang-orang itu menuju ke suatu tempat. Mereka menuju sebuah ruangan di Universitas Trisakti.

Di ruangan itu sudah ada dua orang yang wajahnya terasa tidak asing bagi Dewa. Mata Dewa tertuju pada Andra dan Aryo, sosok yang menemuinya di rumah sakit. Mereka terlihat fokus berdebat satu sama lain. Lelaki bernama Andra tampak ngotot bila berhadapan dengan Aryo. Dewa yang penasaran apa yang mereka bicarakan mulai berjalan mendekat. Namun belum sempat Dewa mendengar percakapan mereka, Andra menggebrak meja lalu pergi meninggalkan Aryo. Ada tiga orang yang datang menemui Aryo. Dewa tidak mengenali ketiga orang itu. Dewa menguping pembicaraan mereka dari balik lemari besar. Matanya membulat menahan amarah mendengar ucapan demi ucapan yang dilontarkan Aryo.

"Bagaimana dia?" Tatapan Aryo berkilat..

"Kami berhasil menculik orang bernama Dewa itu." Ketiga orang itu melapor jika mereka berhasil menculik Dewa. Sekarang Dewa sedang mereka kurung di gudang.

"Bagus. Ini buat kalian!" Aryo sangat mengapresiasi tindakan ketiga orang itu. Aryo memberikan mereka segepok uang. Ia tersenyum lebar.

"Terima kasih, Bos!" sahut ketiga orang itu serempak.

"Eh, tunggu! Tugas kalian belum selesai!" seru Aryo. Aryo memerintahkan ketiganya menyebarkan berita palsu ke polisi, bahwa Dewa-lah yang menjadi dalang kerusuhan mahasiswa. Dewa adalah provokatornya. Dalam sekejap tersebarlah berita ini.

FLASHBACK 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang