Teror Menggila

12 2 0
                                    

Dengan kesal, Dewa mengambil ponsel Marni yang tergeletak di atas meja di depan sofa.

"Hentikan semua ancaman kalian!" sungut Dewa. Ia mematikan ponsel Marni. "Mereka lagi, Wa...?" lirih Marni.

Dewa hanya mengangguk. Perasaannya campur aduk, antara kesal, marah, dan juga kecewa.

Melihat itu, Andra tidak menyia-nyiakan kesempatan.

"Maaf, Wa... Gue rasa ini sudah nggak bisa dibiarin. Gue minta bantuan saudara gue yang polisi itu, ya?" Andra meminta persetujuan.

Marni terlihat memijat keningnya. Ia tak habis pikir mengapa teror demi teror terus menghujani hari-harinya, padahal ia merasa tidak memiliki musuh.

"Apakah omongan kalian bisa kupercaya?" Dewa menatap sinis ke arah Aryo.

"Ya, Allah, Wa... lo masih nggak percaya?" Andra menepuk keningnya. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepala.

"Ibu nggak mau berurusan dengan polisi. Ibu trauma..."

Bibir Marni bergetar. Ia tidak melanjutkan perkataannya. Peristiwa kelam itu kembali membayang di benaknya.

"Bu, apa nggak sebaiknya kalian pindah rumah saja?" Aryo memberanikan diri angkat bicara. Ia tidak ingin melawan tatapan mata Dewa. Aryo terlihat mengarahkan pandangannya pada Marni.

"Maksud gue, ada rumah saudara gue yang tidak ditempati. Gue yakin lokasinya cukup aman karena berada di kompleks perumahan elit. Nanti biar Andra minta bantuan saudaranya itu untuk membantu pengamanannya juga," ucap Aryo berusaha meyakinkan.

"Benar kata Aryo, Wa. Kami nggak ingin kalian kenapa-kenapa," imbuh Andra meyakinkan.

Kali ini, Marni tidak berkata-kata. Kepalanya makin berat. Ia tidak bisa berpikir jernih untuk mengambil keputusan.

"Ok, kupegang kata-kata kalian."

Hati kecil Dewa masih ragu. Tapi apa yang disampaikan kedua temannya cukup logis. Ibunya hampir saja kehilangan nyawa. Jelas Dewa tidak menginginkan kejadian itu berulang. Ia tidak ingin kehilangan Marni.

"Oh, ya... Sebaiknya kalian juga ganti nomor baru," seru Aryo. Laki-laki itu terlihat sudah bisa bersikap tenang. Ia tidak meladeni amarah Dewa. Aryo mencoba bermanis muka di hadapan Marni dan Dewa. Kekhawatiran Aryo akan kembalinya ingatan Dewa, perlahan bisa ia tepis dengan baik.

Ketiganya saling berpandangan. Suasana hening beberapa detik. Dewa lalu mengangguk, memberikan persetujuan. Aryo tersenyum tipis melihat Dewa menyetujui rencananya.

***

Bukannya mereda, teror justru makin menggila. Bangkai ular dimasukkan ke dalam boks paket, membuat Marni menjerit histeris saat membukanya. Lalu disusul pesan beruntun dan telepon ancaman. Hal inilah yang membulatkan tekad Dewa mengikuti saran Andra dan Aryo. Keduanya akhirnya pindah ke sebuah perumahan elit, masih di kawasan Kemang. Dewa dan Marni juga mengganti nomor ponsel mereka. Rumah berlantai dua yang luasnya seukuran rumah Marni, sekitar 300 meter persegi tersebut hanya dihuni mereka berdua, tanpa pembantu.

Ketenangan itu akhirnya bisa mereka berdua rasakan selama hampir seminggu, tanpa teror dan tanpa ada pesan ataupun panggilan bernada ancaman. Dewa dan Marni cukup lega. Mereka bisa menikmati sejuknya udara pagi di atas balkon sambil menikmati teh hangat. Marni juga masih bisa mengurusi semua bisnisnya secara remote. Namun pada malam kedelapan, Dewa mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

"Hati-hati, Wa! Mereka bermaksud membunuh kalian!" Suara yang tidak asing bagi Dewa terdengar jelas di telinganya. Dewa memutar pandangan, ia tidak menemukan siapa-siapa. Dewa memeriksa kamar, terlihat Marni sudah tertidur pulas.

Suara itu kembali berdenging di telinga Dewa, meminta Dewa waspada.

"Abah Yai!" Dewa memanggil nama itu, namun tidak terdengar jawaban. Sosok tersebut juga tidak muncul.

Dewa berjalan mengendap ke dekat jendela kaca. Dari lantai dua tempatnya berada kini, ia bisa leluasa melihat ke luar. Halaman yang dipenuhi tanaman perdu terasa senyap. Tidak ada aktivitas yang mencurigakan. Dewa melirik jam tangannya, pukul 22.30.


FLASHBACK 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang