Marta

119 15 18
                                    

Dewa yang masih koma tidak bisa menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Matanya terasa gelap karena melekat satu sama lain terlalu lama. Mulutnya terasa kering, dahaga seperti tidak pernah tersentuh air berabad-abad lamanya. Suara mesin pengukur detak jantung mulai terdengar nyaring. Tetesan infus mulai menyadarkan keberadaannya sekarang. Namun Dewa tetap tidak bisa menggerakkan ujung jarinya. Dalam kebingungan, serpihan ingatan mulai membanjiri kepalanya saat ini, membuatnya terasa pusing dan makin tersiksa.

Sayup-sayup Dewa mulai mengingat sesuatu, membuatnya merasakan kerinduan yang membuncah. Sesuatu yang dekat tapi terasa sangat jauh. Cahaya dari Abah Yai membuat Dewa terjebak kembali di kenangan saat kerusuhan 1998.

"Banyak bacot! Habisi dia!" gertakan sosok tinggi garang sedang menyungkurkan kepala Dewa ke tanah. Dewa berusaha membuka matanya, namun ia hanya bisa membuka sedikit saja karena bengkak. Darah yang menetes dari pelipis juga mengaburkan penglihatannya. Lelaki, entah siapa orang itu dengan santainya menginjak kepala Dewa berkali-kali dan tertawa pada teman-temannya yang lain.

"Mau kamu apakan orang-orang ini?" ujar salah seorang temannya yang bersandar di dinding. Kepulan asap rokok melayang di udara membuat wajahnya tak jelas di pandangan Dewa.

"Siapa lagi? Mereka ini siapa? Mengapa begitu banyak orang asing di sini? Apa yang aku lakukan hingga mereka berbuat seperti ini padaku?" Pertanyaan demi pertanyaan silih berganti menjejali otak Dewa.

"Bunuh mereka semua, kecuali dia!" Sekali lagi orang itu menginjak kepala Dewa, rasanya sangat sakit. Dunia terasa jungkir balik setiap kali ada kaki melayang di kepalanya. Pandangan Dewa kian kabur. Telinganya berdengung hebat. Darah lagi- lagi mengalir dari pelipis, hidung, dan mulutnya. Rasanya asin dan memuakkan, membuat Dewa ingin memuntahkan seluruh makanan di perutnya.

"Tolong jangan lakukan itu! Dasar kalian semua biadab! Kalian tak ubahnya seperti iblis berkedok manusia!" Suara seorang wanita membuat bola mata Dewa ingin melirik ke arah wanita itu.

Marta! Ya, di sana Dewa melihat Marta, teman seangkatannya sedang ditarik paksa kakinya oleh lelaki yang lagi-lagi tak dikenal Dewa. Lelaki itu menyeret kaki kiri Marta dengan kasar. Kedua tangan dan mata Marta diikat kain hitam. Dari mulut gadis itu terus menerus keluar makian kasar sementara lelaki yang membawanya menariknya kian kuat dan menyingkirkannya ke dalam sebuah ruangan. Lima lelaki yang lainnya mengikuti mereka masuk ke dalam.

"Memangnya kenapa kalian juga orang-orang Tionghoa selalu merampas milik kami para Pribumi, hah? Punya hak apa kalian menggurui kami? Dasar bangsa pendatang yang menjijikkan! Para penjilat penguasa!" kata lelaki yang menarik paksa Marta lantang hingga terdengar sampai ke telinga Dewa, padahal jarak mereka cukup jauh. "Gadis cantik sepertimu harusnya melayani kami seperti gundik. Posisi itulah yang paling tepat buatmu!"

Setelah itu hanya teriakan Marta yang didengar Dewa. Dewa tidak berani membayangkan apa yang dilakukan para iblis itu pada Marta. Gadis yang malang, padahal Dewa mengenalnya sebagai bunga kampus yang cantik dan berprestasi. Andai saja ia tidak berada di sini seperti sekarang, pastilah masa depan gemilang menantinya.

"Aghhh... jahanam kalian! Kalian itulah penghianat negeri yang sesungguhnya!" teriak Johan. Dewa bisa mengenali suara Johan. Keduanya bertemu saat demonstrasi. Johan ditendang perutnya bertubi-tubi hingga memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Hahaha... Tak sepantasnya orang yang akan segera mati mengucapkan hal konyol seperti itu! Kau pikir akan ada orang yang peduli dengan omong kosongmu itu, hah? Kami adalah utusan yang terpilih. Kami bukan penghianat! Kalianlah yang bodoh!"

Gelak tawa para penyandera itu terus terngiang di kepala Dewa. Dewa mengepalkan kedua tangannya. Ubun-ubunnya terasa hampir meledak. Namun apa daya, kekuatannya saat ini kian terbatas. Ada tiga orang yang mengitari Dewa saat ini. Pasti mereka tidak akan membiarkan Dewa lolos dari pengawasannya.

"Kau marah rupanya? Kau mau menolongnya?" tanya seseorang yang berdiri di dekat kepala Dewa sambil menarik rambut Dewa ke belakang dengan kasar. Dewa merasakan tarikan yang sangat kuat hingga ia yakin puluhan helai rambutnya pasti rontok ke mana-mana.

"Mimpilah kau sana! Temanmu itu akan segera mati di tangan kami!"

"Hei! Tuhan tak pernah tidur! Kalian akan menerima ganjarannya, cepat atau lambat!" teriak Johan. Sedetik kemudian suara tembakan membelah udara disertai gelak tawa yang membahana. Tiga kali tembakan timah panas langsung menghujam kepala belakang Johan. Tak pelak, lelaki itu langsung meninggal di tempat.

Amarah dalam dada Dewa memuncak. Terlebih saat mayat Marta mereka lemparkan di atas tubuh Johan. Gadis itu tidak memakai sehelai benang pun di tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya membiru. Wajahnya bengkak di sana sini. Darah terus mengalir dari bagian bawah tubuhnya. Di sana tertancap berbagai macam benda, mulai dari tongkat kayu dan potongan besi berkarat. Di dadanya ada dua sayatan besar yang memanjang, dari leher hingga perutnya. Pemandangan yang membuat nurani Dewa meronta.

"Biadab! Kalian semua brengsek!"

"Hahaha, lihatlah lebih banyak lagi!" Seseorang mengangkat Dewa hingga terduduk lalu memutar kepala Dewa ke segala arah. Dewa melihat kobaran api di setiap sisi. Ia bisa mendengar teriakan pilu orang-orang. Dewa juga bisa menyaksikan tumpukan mayat yang kondisinya hampir mirip dengan Marta dan Johan.

"Kami punya rencana yang lebih baik dari pada kematian untukmu. Sampai kau nanti akan lebih memilih mati daripada hidup! Hahaha...." Pria tersebut terkekeh.

"Aku akan membalas perbuatan kalian!" Itulah kata-kata terakhir yang terucap dari mulut Dewa, sebelum benda tumpul menghantam kepalanya. Pandangan Dewa menggelap. Nama Marta, Johan tenggelam dan menghilang dari ingatan Dewa. Begitu juga seluruh nama yang pernah ada di kehidupan Dewa. Perlahan semua menghilang dari ingatannya.

Kelima indra Dewa terasa membeku, tercekat dan memudar. Ia sama sekali tidak bisa menggali apapun di otaknya. Seperti ingatannya tersapu bersih tak tersisa. Ia tidak bisa mengingat apapun, kosong.

Dewa kembali terbangun di suatu tempat yang ia sendiri tidak mengetahuinya, karena semua yang ada disana hanyalah kegelapan. Seolah mata Dewa tidak lagi bisa melihat.

"Tolong! Ada orang di sini? Tolong, tolong aku tidak bisa melihat. Tolong ini dimana?" teriak Dewa dalam kegelapan. Ia berusaha mencari jalan keluar dengan meraba dinding.

"Tenanglah, Nak. Semua akan baik-baik saja. Kau akan melihat kembali dunia yang lama kau tinggalkan," kata Abah Yai.

"Siapa? Bisakah kau menyalakan lampunya? Disini tidak terlihat apapun," keluh Dewa.

"Hadapilah hidupmu. Tuhan kembali berbaik hati padamu Dewa. Jalanmu masih panjang. Kebencian, dendam dan sakit hati akan menunggumu. Belajarlah, dan kau akan menang."

Seketika ada hembusan angin panjang yang membuat Dewa terhempas jauh. Hingga ia merasa seperti menabrak sebuah tembok besar yang keras. 

FLASHBACK 1998Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang