Pasukan Kekaisaran bersama Grasia berbaris dengan penuh persiapan menuju Pelabuhan. Bersiap untuk menghadapi Libya dan sekutunya. Mereka berbaris dengan semangat yang berkobar, bersatu dalam tekad yang sama. Jejak mereka mengisi jalanan kota dengan langkah tegas, sementara kendaraan tempur mereka menggema memenuhi udara dengan ketegasan.
Di tengah kerumunan yang bersemangat, Wheish bertanya kepada Philia yang memutuskan untuk tidak ikut perang kali ini, "Komandan, mengapa kau tidak bergabung dengan kami?" Dia melihat Philia duduk di atas atap gedung, menggunakan kekuatan sihirnya untuk melayang di udara. Setelah pemberian hak Khusus dari Kaisar kepadanya membuat dia berpisah kembali dari regunya dan memutuskan bergerak sendiri.
Matanya terpaku pada rombongan tentara yang berangkat ke medan perang. Di benaknya terpantul bayangan pembicaraan bersama Heinrich , dan pikirannya terus menerus merenungkan kata-kata yang diucapkannya.
"tidak untuk kali ini" ujar Philia dengan suara yang menyiratkan kelelahan . Membuat Wheish dan Heiar sedikit khawatir. Mereka tidak bisa berbuat apa apa dan hanya mengikuti rombongan tentara pergi.
Meraih sebuah Granat sihir yang mengantung di pinggangnya dan melihatnya dari dekat. mungkin kali ini dia bisa menggunakan ini untuk mengurangi dampak ledakan dibanding menggunakan senapan, namun entah kenapa dia merasa tertahan oleh sesuatu dan membiarkan perang berlangsung sewajarnya. Mengengam erat benda itu dengan kesal, terus merasa marah kepada dirinya kenapa dengan kekuatanya sekarang bahkan dirinya masih belum bisa melindungi seseorang.
Melihat sungai di dekatnya dia melempar jauh jauh Granat itu dan kembali terbang berlawanan dari rekan rekanya dan semua tentara yang bergerak ke barat.
Dia melesat ke atas langit, menuju arah utara yang jauh, sementara mata birunya melipat gandakan keindahan yang terhampar di bawahnya. Keindahan alam yang subur, dengan berbagai macam tanaman yang tumbuh beraneka macam warna. Hewan-hewan, baik yang ternak maupun liar, bergerak dengan harmoni dalam lanskap yang masih murni. Bukit-bukit yang berliuk liuk, gunung-ganang yang menjulang gagah, dan sungai-sungai yang mengalir bersih, semuanya menjadi pemandangan yang memanjakan mata dan menghadirkan kedamaian yang langka.
Namun, entah mengapa, Philia merasa terus-menerus terseret ke dalam aliran perasaan hatinya, seolah ada panggilan yang kuat yang menghantarkannya ke suatu tempat yang jauh, tempat yang tak terjangkau oleh akal sehat.
Dengan suara penuh ragu, dia berkata pada dirinya sendiri, "Ini bukanlah diriku." Philia merasa bahwa masalah ini bukan berasal dari inti jiwanya yang murni. Di ingatanya dahulu, dia tak pernah mengenal perasaan asing seperti ini, perasaan yang begitu kompleks sehingga tak mungkin digambarkan dengan kata-kata.
Hamparan daratan hijau yang memenuhi pandangannya menandakan bahwa dia telah tiba di Wilayah Wetonia. Dia mendarat dengan lembut di tengah hutan yang rimbun, di kaki gunung yang menjulang tinggi, sembari mendekati sebuah rumah yang tampak terpencil di sana.
Langkahnya pun kembali menginjak tanah di depan rumah Visha, sang ibu dari Ferdinan. Dengan hati yang berat, dia meraih kantong uang yang pernah Visha titipkan kepadanya untuk diberikan kepada anaknya yang kini telah tiada.
Philia memperhatikan dua tentara yang mengetuk pintu rumah itu, membawa bendera, surat, dan cendramata. Tak butuh waktu lama bagi Visha untuk keluar, dan wajahnya bersinar penuh kebahagiaan namun seketika wajahnya tiba tiba mengkerut dengan penuh ketidakpercayaan.
Dua tentara itu dengan sopan memberikan hormat yang rendah, lalu pergi tanpa berkata lebih banyak. Visha tampak gemetar, memegang benda-benda yang telah diberikan, sementara hatinya enggan untuk membaca surat yang ada di tangannya.
Philia berjalan perlahan mendekati Visha, melintasi halaman rumah yang beberapa kali ia lewati dulu. Di dalam benaknya, dia merenungkan kenangan singkat bersama pria yang kini telah tertimbun di bawah tanah, kenangan yang takkan pernah lagi mereka temui.
Visha merasa ada kehadiran yang mendekatinya, dan dia segera mengalihkan pandangannya. Itu adalah sosok Gadis bersurai perak yang dikenalnya dengan baik, kini berdiri di hadapannya dengan wajah yang penuh penyesalan, dan mata yang dipenuhi oleh kenangan yang tak terlupakan.
Dengan perlahan, Visha mendekati dengan pikiran yang telah didominasi oleh dugaan tentang apa yang tengah terjadi. Matanya, yang sekarang berkaca-kaca, tak mampu lagi menahan beban yang merobek hatinya, mengingat kenangan yang telah tercipta bersama putra satu-satunya yang selama ini telah menjadi peneman setianya.
Dia mengenang kata-kata pertama sang anak, "Mamah," diucapkan dengan bibir yang masih lemah dan memanggilnya dengan caranya yang begitu lucu.
Dia kembali terkenang saat sang anak berkata, "Ibu, aku berhasil menangkap kelinci," ketika ia pergi berlari ke hutan dan pulang dengan tubuh yang belepotan oleh tanah.
Dan ingatannya juga membawa dia ke momen ketika sang anak berbicara dengan suara lirih, "Ibu, mereka merundungku," ketika ia pulang dan menangis di pelukan Visha, cengeng karena perlakuan teman-temannya.
"Ibu," sang anak sering kali memanggil dengan penuh kasih sayang, "ibu, ibu, ibu."
Philia akhirnya mengeluarkan kata-kata yang memutuskan lamunan mereka dari kenangan yang menyentuh hati. "Ibu, aku ingin mengembalikan ini," ucapnya sambil menutup mata, berusaha mengatasi emosinya.
Dengan perasaan yang mendalam Philia menyondorkan kantung berisi uang yang pernah dititipkan kepadanya. Visha segera mengambilnya dengan lemas. Mata dan hidungnya sudah merah dan nafasnya mulai sesak. Terlihat seakan-akan dia telah kehilangan segala kekuatannya, dan pada akhirnya ia jatuh ke tanah, memeluk kantung uang itu dengan erat yang kini menjadi kenangan terakhir dari anaknya.
"Maafkan aku," ucap Philia penuh penyesalan, bersiap untuk menerima kemarahan yang mungkin akan datang. Dia mengingat masa lalu hidupnya yang sering kali diwarnai oleh momen-momen seperti ini.
Namun, Visha masih terdiam, tidak bergerak, dan hanya bisa melepaskan air matanya, air mata yang penuh kesedihan atas kehilangan yang mengalir tanpa kata-kata.
Dengan suara yang penuh kepedihan, Visha berkata, "Aku selalu berharap suatu hari aku melihatnya menikah, dan memiliki keluarganya sendiri. Menjadi dewasa seutuhnya dan menggendong memperlihatkan seorang cucu kepadaku, namun keduanya meninggalkanku terlebih dahulu." Ucapannya begitu lembut, disertai dengan tangis yang semakin intens, seakan-akan air mata tak bisa dibendung.
Philia segera merespon, memeluk Visha erat, berharap bahwa kehangatan itu bisa membantu mengobati luka hatinya. Baru-baru ini, Philia mulai memahami betapa beratnya kehilangan, meskipun tidak sepenuhnya mampu meredakan rasa sakit yang begitu mendalam.
" aku benar-benar minta maaf," tegas Philia, mencoba menyalahkan dirinya sendiri karena merasa tidak mampu untuk melakukan lebih banyak lagi dalam menjaga putra Visha.
"Jika aku melarangnya pergi dengan keras, pasti hal ini tidak terjadi," ucap Visha dengan nada tegas, lalu mulai memukuli dirinya sendiri, sebagai bentuk ekspresi dari perasaan bersalah dan penyesalannya.
"Kumohon hentikan" Philia segera menghentikannya dengan cepat melihat wanita di depanya mencoba membuat tubuhnya menjadi pelampiasan bagi emosi yang tak tertahankan.
Philia, dengan seluruh kekuatannya, menghalangi Visha dan menjadikan tubuhnya sebagai pelampiasan, mencoba untuk meredakan gejolak emosi yang begitu kuat. Sambil terus memeluknya dengan erat, dia berusaha memberikan kehangatan dan dukungan yang Visha butuhkan dalam saat-saat sulit seperti ini.
Menemaninya sampai membuat dia benar benar tenang di pelukanya dan terbaring lemas disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEMESIS Fire On The Western Front
ActionVol 2 dari Series NEMESIS Kematian dari seorang God Knight yang menjadi benteng kokoh pertahanan kerajaan Grasia membawa perang semakin memanas. Federasi Libya dan beberapa negara sekutu dari benua Genoa yang selama ini senyap mulai memperlihatkan...