Selamat datang, silakan klik bintang untuk membayar kerja keras penulis, Kak.
Silakan berkomentar juga, karena hal tersebut sangat membantu kami agar semakin semangat update ide baru.
Terimakasih atas kunjungannya, hope you enjoy it^^
***
11 tahun kemudian...
Kring! Kring! Kring!
Kerumunan anak-anak, keluar dari ruang penyiksaan setelah 3 jam menanti bel dangdutan. Semua anak memenuhi tempat bernama kantin, dimana itu adalah surga untuk mengisi perut kosong, walaupun otak tetap kosong.
"Mbak! Pesanan Cahya buatin dulu!" Suara cempreng itu menghiasi seisi kantin. Walaupun keadaan kantin sedang ribut, suara wanita berjilbab itu tetap terdengar nyaring.
"Ngantri, napa! Gak sabaran banget jadi kecebong!"
"Gue duluan yang mesen dari tadi!"
"Sssttt," tidak ingin membuat keributan, sang bestie memilih untuk menjinakkannya. "Biarin aja dia duluan, dia mah cowok yang gak mengutamakan ladies first."
Arya gelagapan. "Eh, ada Ina. Kalau buat Ina, selalu ladies first, dong. Cowok mana, sih, yang gak mau mengutamakan Princess Reina."
Cahya mendengus kesal. "Giliran sama cewek cakep, ngalah, lo!"
"Nyadar, yak, muka lo kayak ondel-ondel?"
"Cowok sialan, lo!"
Mbak kantin memberhentikan keributan antar ras betina dan jantan yang satu ini. "Ini, Nduk, mie goreng rong porsi karo es jeruk rong gelas."
Cahya menerima pesanannya. "Siaap. Thanks, Mbaak,"
Kedua betina itu duduk di tempat seperti biasa. Paling pojok, paling adem. "Gue lagi suka sama cowok," lontar Cahya tiba-tiba.
"Gak percaya, pasti lo lagi suka sama transgender." Balasan Reina membuat Cahya cemberut. "Bercanda. Lagian, sih, lo kalo ngomong boros kata. Udah jelas lo suka sama cowok. Namanya siapa btw? Cahyo?"
"Sialan, itu nama bokap gue!"
Reina membulatkan matanya tak percaya. "Nama bokap lo beneran Cahyo?!"
Dengan sigap, Cahya membekap mulut durjana tak berakhlak itu. "Lo tau gak? Dosa besarrrr bagi orang yang meneriaki aib temannya sendiri."
"Emang kita temen? Bukannya musuh?" kekeh Reina. "Parah, lo. Bokap sendiri dibilang aib."
"Ina! Ngancurin mood gue aja, lo. Gue pengen curhat kepotong mulu!" jeritan Cahya membuat Reina melindungi gendang telinganya.
"Maap, maap. Lanjutin curhatnya. Gue dengerin, kok."
"Lo tau cowok ganteng misterius yang ada di kelas sebelah itu? Yang tinggi, putih, bening, pinter. Anak baru yang masuk ke sekolah ini pas kelas 11 kemaren."
"Aah, I see. Yang namanya Rey itu?"
"Jadi, namanya Rey?"
"Lo tau orangnya, tapi gak tau namanya? Lo kenal dia dari mana?"
"Kagak tau orangnya, gue. Cuma denger dari pergibahan ratu gosip. Denger dari ciri-cirinya, gue suka."
"What? Lo suka karena denger dari cewek-cewek?" Reina menggeleng tak habis pikir. "Kalo ternyata mereka lagi ngomongin monyet yang ganteng dan berotot, tetep mau, lo?!"
"Kagak, lah! Kurang kerjaan juga mereka ngomongin monyet."
"Sama aja kayak lo yang suka bahas 'kenapa upil rasanya asin?'. Lo, mah, kalo lagi suka sama cowok, alasannya aneh-aneh."
"Aneh-aneh kata lo? Apa yang aneh?!"
"Pertama, lo suka sama si Asep yang ngasih makanan sisa, dengan alasan dia perhatian. Kedua, lo suka Bayu, karena Shinta coret-coret Bayu ♡ Cahya pake tip-x di meja. Dan ketiga, yang paling membagongkan,"
Reina menjeda, sebelum akhirnya melanjutkan. "Bisa-bisanya lo suka sama Pak Dani, guru olahraga! Dan alasan lo suka sama dia, karena dia muji nilai lo yang tadinya 49 jadi 50. Dia udah beristri! Udah punya pawang!"
"Cinta itu buta, sis."
"GAK BUTA BENERAN! ITU CUMA PERUMPAMAAN!"
Telinga Cahya sontak berdenging. Sahabatnya itu, kini kerasukan sifat yang ada di dirinya. Membuat gendang telinga orang pecah. "Males, gue. Gue juga mau punya gebetan kayak orang-orang biar ada keren-kerennya dikit. Jadi, siapapun orangnya, gue gebetin."
"Termasuk bokap gue, mau, lo gebetin?!"
"Kalo lo siap punya Bunda tiri, gue mau aja."
"Punya temen bloon banget, sumpah!" Reina meringis, meratapi nasibnya yang dipilih Tuhan untuk menjadi sahabat Cahya. Kenapa Tuhan sangat tega kepadanya.
Di tengah kesibukan duo sejoli ini, pandangannya teralihkan dengan sosok yang sedang berjalan, mencari tempat untuk duduk. "Nah, kalo tu orang gak bejat, gue juga mau sama dia," bisik Cahya. "Walaupun gue harus jadi Kakak Ipar lo, gue rela."
Reina tidak peduli dengan ucapan Cahya. Dia memilih untuk meneruskan makan mie goreng yang mulai melar. "Pindah," seseorang berdiri di depan Reina.
Reina mendongakkan kepalanya, mendapati seseorang yang membuatnya malas untuk ditemui. "Apa susahnya cari tempat lain?"
"Gue. Mau. Di. Sini. Paham, lo?" balasnya dengan penekanan.
"Gak di rumah, gak di sekolah, kenapa lo gak suka banget sama gue, sih, Yan? Kita saudara!"
Ryan mendekatkan wajahnya tepat di wajah Reina. "Karena, lo yang udah bikin Bunda meninggal. Dan selamanya, gue gak pernah suka sama lo."
Ucapan Ryan membuat Reina tertohok. Reina bangkit, dan pergi dari sana. Meninggalkan makanannya yang belum habis, juga meninggalkan sahabat tak berfungsi itu. Cahya memilih untuk mengejar Reina walau masih lapar. Ia terlanjur takut dengan Ryan.
💎💎💎
Di toilet, Reina menelungkupkan wajahnya di bawah wastafel. Beruntung tidak ada orang, jadi, dia akan konser besar-besaran di sana.
Pintu toilet terbuka. Reina sudah tau itu siapa, jadi tidak perlu repot-repot menghapus air matanya.
"Ina..." panggil Cahya, seperti bocah yang memanggil temannya untuk bermain. "Lo jangan nangis, dong. Bedak tebel lo nanti luntur."
"Gue gak pake bedak!" jerit Reina yang masih menutupi wajahnya. Dia sangat kesal karena Cahya salah mengucapkan kata bujukannya. Seharusnya yang benar, 'nanti cantiknya luntur'.
Cahya mendekati Reina. "Gue gak tau kenapa dia selalu nyalahin gue atas kematian Bunda. Gue gak inget apa-apa, pemakaman Bunda juga gue gak inget kapan. Yang gue inget, pas kecil hubungan gue sama Ryan baik-baik aja. Aba juga bilang kalo Bunda meninggal karena sakit," isak Reina.
"Mungkin dia masih gak terima dengan keadaan, makanya dia selalu nyalahin lo," timpal Cahya, mengusap bahu Reina.
"Yang seharusnya belum ikhlas di sini, itu gue. Gue masih balita, gak tau apa-apa. Seharusnya dia nenangin gue, bukan nyalahin gue. Gue cuma punya dia sama Aba, tau, gak. Aba juga jarang ada di rumah."
"Oh, jadi lo gak nganggap gue selama ini ada?" Cahya melipat kedua tangannya.
Reina menyengir, lalu memeluk Cahya. "Walaupun lo koplak, gue seneng lo selalu ada buat gue. Makasih, kecebong."
"Gak usah lo sebut-sebut nama keramat itu di situasi seperti ini, ye! Lagian siapa, sih, dalangnya. Dari semester kemaren, gue dipanggil kecebong mulu." Cahya mengusap air mata Reina. "Jangan nangis lagi, lo. Jelek! Ayok, ke kelas."
Reina mengangguk. Mereka pergi ke kelas bersama-sama, berusaha agar semuanya terlihat normal seperti tidak ada yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMETHYST [HIATUS]
FantasyFANTASY - FICTION STORY Meskipun bukan primadona, Reina sering dijuluki sebagai Princess oleh kaum Adam di sekolah. Siapa sangka, di dimensi lain Reina benar-benar seorang Princess sungguhan. Ia mewarisi Amethyst dari kedua orang tuanya. Bunda yang...