Selamat datang, silakan klik bintang untuk membayar kerja keras penulis, Kak.
Silakan berkomentar juga, karena hal tersebut sangat membantu kami agar semakin semangat update ide baru.
Terimakasih atas kunjungannya, hope you enjoy it^^
(1 Chapter bonus untuk kalian sebelum Ina dan kawan-kawan liburan ke Pulau Kapuk²an♡)
***
Tuk, tuk, tuk,
Ujung pulpen itu terus-menerus diketuk di meja oleh tangan yang- entahlah, saya tidak tau dia sedang gabut atau menunggu sesuatu. Setiap menit, matanya selalu melirik ke arah pintu.
Hingga akhirnya, kefokusannya itu teralihkan dengan suara bel. Berbeda dengan anak lain yang berbondong-bondong pergi makan ke kantin, Cahya memilih untuk pergi makan ke toilet- eh, koreksi, maksudnya mengecek Reina di toilet.
Hasilnya nihil, orang yang ingin dia temui tidak memunculkan batang hidung peseknya. Dari awal Cahya sudah curiga, seperti ada yang aneh dengan Reina. Dia tau betul jadwal datang bulan Reina tidak berdekatan dengan tanggal hari ini.
Karena khawatir, Cahya menanyakan keberadaan Reina pada setiap makhluk hidup yang berlalu lalang. "Ghea, liat Ina?"
"Enggak,"
"Teh, Reina lewat sini?"
"Kayaknya enggak,"
"Suharto, ada Reina gak di dalem?"
"Ada."
"Mana?!"
"Di dalam hati gue,"
"Bisa aja, lo, karpet WC!"
Cahya berjongkok di depan kelas orang. Matanya tertuju pada satu makhluk lain yang sedang berjalan santai. "Eh, cing, lo liat Ina, kagak?"
Bisa-bisanya yang ditanya malah menghentikan langkahnya. Kucing itu menatap sang wawancara. Cahya berjalan jongkok agar dapat lebih dekat dengan si kucing. "Lo berhenti?! Berarti lo tau dia ada di mana?"
Bukannya menjawab, si kucing malah memutar balikkan badannya, berjalan menjauhi Cahya. Ia berjalan membelakangi Cahya hingga menghadapkan auratnya tepat di depan wajah Cahya. "Dasar kocheng! Belum cebok, lo, ya?!"
Tiba-tiba, tubuh Cahya yang masih jongkok tersungkur ke depan. Seseorang telah membuat jidatnya mencium lantai. "Aduh! Siapa, sih, yang dorong gue?!"
Cahya menengok ke belakang, mendapati dua buah kaki di depan pintu kelas. Kepala Cahya mendongak ke atas, berusaha mengetahui si pemilik kaki. "Makanya, kalo mau ngemis jangan di depan kelas orang. Gue mau keluar jadi gak sengaja nendang badan lo."
Cahya tak menggubris. Ia masih sibuk meneliti wajah itu sambil menganga lebar. Sontak, Cahya mengulurkan tangannya.
"Gue gak punya receh," sindirnya.
Cahya menggeleng pelan dengan mata yang masih melekat padanya. "Gu- aku gak minta receh. Tapi minta seratu- maksudnya... bantu bangunin." Matanya beralih ke badge-name lelaki itu. David H. Victor.
David menaikkan sebelah alisnya, lalu mengambil sesuatu dari saku. Ia mengeluarkan sebuah sarung tangan dan memakainya. Kemudian mengambil tangan Cahya, membantunya agar dapat berdiri. "Kenapa harus pakai sarung tangan?"
Mata David menatapnya dengan sinis. "Jangan salah sangka. Gue cuma mau menghargai lo sebagai wanita berjilbab aja, takut lo ngamuk karena gue megang-megang tangan lo," David berbicara tanpa suara di akhir kalimat, agar Cahya tak mendengarnya. "Point utamanya, gue gak mau megang tangan lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMETHYST [HIATUS]
FantasyFANTASY - FICTION STORY Meskipun bukan primadona, Reina sering dijuluki sebagai Princess oleh kaum Adam di sekolah. Siapa sangka, di dimensi lain Reina benar-benar seorang Princess sungguhan. Ia mewarisi Amethyst dari kedua orang tuanya. Bunda yang...