EPILOG : Rubah Kecil

819 70 1
                                    

Seorang laki-laki berjalan masuk ke area pemakaman keluarga. Umurnya yang sudah tua tidak menahan langkahnya untuk tetap rutin mengantarkan bunga ke keluarga kecilnya.

"Eomma, Appa, Halmoni, aku datang,"

Ia membetulkan kacamatanya, meletakkan kursi lipatnya, dan mulai duduk memanjatkan doa.

"Bagaimana keadaan kalian di sana? Kenapa selama 30 tahun ini, kalian tidak ada yang mampir? Aku benar-benar marah,"

Lelaki itu menautkan kedua telapak tangannya. Menyandarkan dahinya yang keriput di genggaman tangannya.

"Mungkin kalian bosan mendengar ini. Tapi maafkan aku karena tidak bisa menjaga kalian pada saat itu,"

"Hidupku baik, semua baik. Tidak ada vampir lagi yang menakutiku. Dan maaf, aku tidak menikah. Aku belum bisa melupakan laki-laki yang juga tertidur di pemakaman keluarga kita,"

Laki-laki itu menghela nafas kasar. Ia letakkan satu persatu buket bunga yang sudah ia bawa ke masing-masing nisan. Tak lupa ia mengucap pamit kepada mendiang ketiga anggota keluarganya itu.

Laki-laki itu kemudian bangkit dan mengambil sisa buket bunganya yang dikhususkan untuk seseorang.

Ia berjalan melewati tiga batu nisan. Ia letakkan kursi lipatnya dan kembali duduk. Ia meletakkan bubga mawar merah itu, tanda cinta katanya.

"Halo hyung, rubah kecilmu datang,"

Jeongin tersenyum kecut setiap menyebut kata 'rubah kecil'. Dirinya sudah tua, apakah masih pantas dipanggil begitu? Entahlah.

"Sudah lama ya hyung? Kau tahu, Changbin-ssi, dia tidak menua sama sekali. Sangat berbeda denganku,"

Jeongin menyandarkan dirinya pada kursi lipatnya. Menatap lurus memandang batu nisan yang bertuliskan 'Hwang Hyunjin'. Ia usap perlahan jari manisnya, tempat di mana Hyunjin pernah menandainya dulu.

"Boleh aku percaya kalau kau akan kembali hyung?"

Kacamatanya ia lepas. Selalu seperti ini, setiap ia memohon Hyunjin untuk kembali, entah mengapa rasanya semakin mustahil.

Jeongin berusaha menahan air matanya yang turun. Mengusapnya sekilas dengan tisu yang dibawanya.

"Aku masih marah padamu, hyung! Kenapa kau tidak berbicara padaku saat itu? Kenapa kau mengambil semua keputusan itu sendiri?!"

Jeongin menghentakkan kakinya kasar. Ia benci. Lebih tepatnya, ia benci karena semuanya sudah terlambat.

"Jika sudah seperti ini, kita bagaimana?

Aku bagaimana?"

Jeongin memeluk dirinya yang lemah dan rapuh. Umurnya yang semakin tua benar-benar membuatnya menjadi pribadi yang semakin ringkih.

"Aku benci mengetahui bahwa aku masih mencintaimu. Aku masih menunggumu di sini. Aku marah padamu hyung!"

Di pemakaman yang lengang itu, Jeongin menjerit. Menumpahkan seluruh emosinya. Selalu dan setiap ia mengunjungi makam Hyunjin, selalu seperti ini.

"Apa hanya aku di sini yang merindukanmu, hyung?"

Tak terasa, rintik hujan mulai menetes turun menyapa bumi. Jeongin masih setia duduk dan enggan untuk berpindah. Titik-titik hujan semakin terlihat jelas menutup permukaan tanah, membasahi pemakaman.

"Kembali padaku hyung. Aku mohon kembalilah,"

---

Flashback

Jeongin mendekap tubuh yang perlahan berubah menjadi abu itu. Air matanya tak bisa berhenti mengalir. Ia mendekap tubuh rapuh Hyunjin dengan sangat hati-hati.

"Kau memintaku untuk percaya padamu. Setelah aku tahu kau berkhianat pada mereka, sekarang kau meninggalkanku seperti ini,"

Tetap saja, mau Jeongin mengoceh dan mengomel sedemikian rupa, vampir itu tidak akan membuka matanya.

"Kenapa kau meninggalkanku seperti ini hyung? Jawab aku!"

Jeongin mendongak ketika seseorang meletakkan guci di samping mayat Hyunjin. Itu Minho, yang menatapnya dengan wajah sendu.

"Kenapa...kenapa kau masih kasihan padaku? Kau seharusnya membenciku juga," ujar Jeongin dengan suara parau.

"Kita berdua sama-sama kehilangan. Kau kehilangan pasanganmu dan aku kehilangan mate serta adikku. Dia yang salah, bukan dirimu," ujar Minho.

Jeongin perlahan meraup abu tubuh milik Hyunjin yang sudah benar-benar hancur. Ia masukkan abu itu perlahan ke dalam guci sambil menggigit bibir bawahnya.

Setelah penuangan abu terakhir, Jeongin memegang mulut guci itu dengan erat. Kemudian ia mendongak ke arah Minho.

"Boleh...aku bawa ini?"

Minho mengangguk memberi izin, "Kau lebih pantas membawanya. Dia milikmu."

Jeongin kembali menangis sambil memeluk guci milik Hyunjin. Kejadian itu berlangsung begitu lama, hingga Felix dan Changbin akhirnya memutuskan untuk membawa Jeongin kembali ke kastil.

Beberapa hari kemudian, Jeongin mendengar kabar bahwa seluruh keluarganya di bunuh. Bahkan kakak-kakaknya pun juga ikut terkena imbasnya. Jeongin sudah lelah menangis. Dihadapkan dengan cobaan bertubi-tubi secara berturut-turut seperti ini, membuat kesehatannya menurun drastis.

Dia tahu itu ulah siapa, sayangnya sang pelaku sudah lebih dulu tewas di tangan Minho.

Kini, dirinya hanya bisa duduk sembari memandang abu milik Hyunjin yang entah akan dikuburkan kapan olehnya.

Flashback end

---

Jeongin masih terdiam di kursinya sambil menunduk. Mengingat masa-masa dirinya hampir gila karena Hyunjin lebih sering muncul di mimpinya. Bagaimana laki-laki bersurai merah itu terus-menerus meminta maaf atas perbuatannya.

"Kau tahu hyung? Kita pernah menjadi pasangan paling manis. Cerita paling manis dan menyenangkan untuk didengar banyak orang. Sayangnya, akhir yang tragis lebih memilih hubungan kita berdua yang tengah kita jalani,"

Air hujan sudah tak lagi menetes. Seseorang dengan sengaja memberikan tumpangan payung padanya.

"Jangan menjemput Hyunjin-hyung terlalu cepat dengan cara seperti ini. Dia akan sedih,"

Jeongin tersenyum sambil menoleh ke belakang.

"Lee Felix, kau benar-benar tidak menua ya?"

---

Mine - Minsung, Changlix, HyunjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang