Tiga tahun kemudian.
Bisnis berlian Joanna gagal. Dia bahkan harus terlilit hutang sebanyak enam miliar. Hingga rumah dan berbagai aset yang dipunya disita bank. Untuk melunasi hutang yang awalnya bernilai dua triliun rupiah.
Setelah berpisah dengan Jordan, sebenarnya Joanna masih sangat kelimpahan. Rumah milik Jordan diberikan untuknya. Uang yang dulu diinvestasikan pada si pria juga sudah dikembalikan, berikut bunganya.
Namun Joanna yang salah langkah harus siap menui hasilnya. Dia terlilit hutang dan harus merelakan segala kemewahan yang dipunya. Karena pihak bank terus mendesak dirinya. Sampai-sampai mendatangkan debt collector ke rumah dan membuat Jendra ketakutan.
"Setelah ini Ibu dan Den Jendra mau ke mana?"
Tanya Sumi, ART Joanna yang baru saja menangis. Dia sedang menyeka air mata saat ini. Sembari menunggu taksi. Karena dia akan pulang kampung hari ini.
"Kemarin, saya dengar Ibu sedang cari boarding school untuk Den Jendra. Kenapa tidak masukkan Aden ke pesantren saja, Bu? Supaya ilmu agama Den Jendra semakin bagus. Kebetulan keponakan saya ada yang anaknya masuk pesantren waktu umur tujuh tahun. Sejak SD dan sekarang kuliah di Mesir. Beasiswa lagi."
Joanna yang mendengar itu mulai tersenyum getir. Lalu memuji keponakan Sumi ini. Hingga taksi yang dia panggil datang kemari. Membawa Sumi pergi.
"Barang Mama hanya ini saja?"
Tanya Jendra yang sedang menarik koper besar keluar rumah. Membuat Joanna lekas mendekat. Membantu Jendra yang tampak kesusahan menarik kopernya.
"Iya, Sayang. Barang-barang Jendra?"
"Ada tiga koper, Ma. Itu saja masih ada banyak mainan yang kutinggal. Aku sudah berusaha mengepak barang-barang yang penting saja. Tapi sepertinya kebanyakan, ya?"
Joanna terkekeh pelan. Lalu membantu anaknya membawa koper miliknya. Diletakkan di depan gerbang karena taksi mereka akan segera tiba.
"Tidak apa-apa, Sayang."
Tidak lama kemudian taksi Joanna datang. Membawa mereka menuju hotel tempat mereka menginap untuk beberapa hari ke depan. Sebab Joanna belum menemukan tepat tinggal baru untuk mereka.
"Iya, untuk Jendra. Apa tidak bisa dicicil? Aku baru tahu kalau biaya masuk boarding school semahal ini."
Tanya Joanna saat mengangkat telepon di kamar mandi. Sebab Jendra sedang makan saat ini. Sehingga Joanna memutuskan bersembunyi. Agar anaknya tidak tahu jika dirinya sedang tidak baik-baik saja saat ini.
"Oh. Begitu, ya? Terima kasih infonya."
Joanna mulai mematikan panggilan. Lalu mendekati Jendra yang sedang makan pizza sembari menonton kartun di televisi hotel tempat mereka menginap. Karena meski kamar ini tidak terlalu besar, paling tidak televisi yang disediakan bisa memberi hiburan. Sebab iPad milik si anak sudah dijual.
"Loh, sudah? Kok masih banyak? Katanya tadi lapar?"
"Buat Mama. Tadi Mama hanya makan sedikit, kan? Aku sudah kenyang."
Joanna mengusap kepala anaknya. Dia benar-benar bersyukur karena masih memiliki Jendra sekarang. Anak yang begitu manis dan perhatian. Tidak pernah mengeluh meski kini, mereka harus hidup kekurangan.
"Terima kasih, ya, Sayang? Tapi Mama sedang diet, tidak bisa makan banyak. Jadi kamu yang harus habiskan. Tinggal dua potong juga."
Joanna menyuapkan pizza yang tersisa pada Jendra. Anak itu tampak menolak awalnya. Namun karena terus dipaksa dengan candaan, mau tidak mau dia makan juga. Dengan catatan jika ibunya ikut makan satu potong pizza.
Setelah makan, Joanna dan Jendra bersih-bersih dan bersiap tidur malam ini. Sebenarnya hanya si anak yang sedang tertidur pulas sekali. Karena si ibu masih terjaga karena bingung akan apa yang akan dilakukan nanti. Sebab dia harus kerja di luar negeri tanpa membawa Jendra agar bisa cepat melunasi hutang ini.
Karena Joanna tidak mungkin mewariskan hutang untuk anaknya sendiri. Selagi masih bisa produktif, dia berkomitmen untuk terus berusaha sampai titik akhir. Tidak peduli jika harus menahan rindu pada si anak nanti.
Apa aku masukkan Jendra ke pesantren saja, ya? Ah, jangan! Dia masih terlalu kecil. Bagaimana kalau dibully?
Batin Joanna sembari menggeleng pelan. Dia juga mulai mengusap kepala si anak yang tidur pulas di sampingnya. Sembari memeluk perutnya.
Apa aku minta tolong Jordan?
Joanna langsung bangkit dari ranjang. Setelah melepas pelukan Jendra. Lalu membawa ponsel ke kamar mandi sekarang. Guna menghubungi mantan suaminya.
Tut...
Tut...
Tut...
Joanna tampak cemas. Dia benar-benar berharap Jordan akan mengangkat panggilan. Sebab hanya dia satu-satunya harapan. Karena dia memang sudah tidak memiliki keluarga yang bisa dititipi anak selama kerja di luar.
"Halo?"
Ada apa? Urusan kita sudah tuntas, kan? Ada apa lagi sekarang?
"Maaf kalau mengganggu malam-malam. Aku hanya ingin minta tolong sedikit saja."
Apa?
"Kamu pasti tahu berita kebangkrutanku, kan? Aku sudah tidak punya apa-apa sekarang. Bisnis berlianku gagal dan aku masih memiliki hutang bank. Rumah baru saja disita bank. Jadi aku dan Jendra tidur di hotel sekarang. Bulan depan aku berencana kerja di Thailand, tapi aku tidak bisa membawa Jendra. Jadi, aku mau minta tolong sekali saja. Aku janji ini akan menjadi yang terkahir, Jordan. Aku ingin menitipkan Jendra. Karena aku tidak mungkin membawa anak. Kamu juga tahu kalau hanya kamu orang yang bisa aku andalkan, kan?"
TIDAK! Gila, ya!? Apa kata istriku, hah!? Aku baru saja menikah! Kenapa tidak minta ayah kandung Jendra saja? Kenapa harus aku!? Kamu mau menghancurkan pernikahanku?
Joanna yang mendengar itu hanya bisa meminta maaf. Dia benar-benar merasa buntu sekarang. Karena dia sudah mendapat pekerjaan dengan gaji menjanjikan yang bisa dipakai untuk membayar hutang. Tidak mungkin jika dia melewatkan kesempatan ini begitu saja, kan?
Menitipkan Jendra pasa Jeffrey? Tentu saja tidak mungkin. Joanna takut anaknya celaka nanti. Apalagi Sirene dan Jessica membenci dirinya. Tidak menutup kemungkinan jika mereka akan membenci Jendra juga. Meski dia yakin kalau Jeffrey pasti akan menyayangi anaknya.
Namun tetap saja. Jeffrey tidak bisa hadir 24 jam di rumah. Jendra jelas akan merasa tertekan jika tinggal bersama ibu tiri yang membenci ibu kandungnya.
Kalo jadi Joanna, kalian bakalan ambil keputusan apa?
Tbc...