"Jadi aku akan tinggal di sini, Ma?"Joanna baru saja keluar dari gedung kantor pengurus pesantren yang berwarna hijau terang. Wanita itu tampak sedikit berbeda karena kali ini memakai pashmina yang menutupi kepala. Meski hanya disampirkan pada pundak hingga memperlihatkan leher dan bagian depan rambutnya.
"Iya. Banyak yang seusia kamu. Tadi lihat, kan? Kamu tidak sendirian."
Joanna mengusap pundak Jendra. Karena tadi, mereka sempat bertemu beberapa anak seusia Jendra. Karena pesantren ini memang sangat terkenal dan memiliki ribuan santri di sana. Dari berbagai usia.
Ya. Meski untuk kategori anak-anak, tidak begitu banyak. Mungkin hanya puluhan saja. Sedangkan total santri di tempat ini ada lima ribu lebih kurang.
"Terus, Mama tinggal di mana?"
Jendra tampak khawatir sekarang. Takut ibunya akan tinggal jauh darinya. Karena sejak kemarin, ibunya tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengatakan jika mereka akan tinggal di tempat baru saja. Tidak tahu jika mereka akan berpisah mulai dari sekarang.
Joanna membawa Jendra duduk di teras bangunan. Dia menatap wajah anaknya lekat-lekat. Lalu mengusap pipinya cukup lama. Sesekali dia juga memainkan telunjuk di lesung pipi si anak untuk menggoda. Sebab hal itu yang kerap dilakukan jika Jendra sedang kesal.
"Mama tidak akan tinggal di sini. Karena Mama harus kerja supaya kita bisa memiliki rumah lagi. Agar bisa tinggal bersama kembali."
Jendra tampak sedih. Matanya sudah berkaca-kaca saat ini. Sebab dia sudah mulai paham akan keadaan yang sedang dihadapi. Karena sejak awal, dia memang tidak tahu tentang masalah ibunya ini. Sebab setahunya, si ibu sengaja menjual rumah karena ingin move on dari si ayah yang baru saja menikah lagi.
"Jadi, sekarang kita miskin?"
Joanna terkekeh pelan. Sembari memeluk anaknya. Dia juga sampai terpingkal karena mendengar pertanyaan lucu Jendra.
"Apa menurut Jendra, sebelumnya kita kaya?"
Tanya Joanna sembari melepas pelukan. Lalu menahan kekehan. Sebab dia jelas tidak ingin menunjukkan kesedihan. Meski dalam hati begitu terluka.
"Kalau menurutku, sih, iya. Jadi kita benar-benar jadi miskin, ya? Mama tidak apa-apa, kan? Kenapa tidak cerita sejak awal? Kok baru bilang? Mama pasti kesulitan sendirian."
Jendra menangkupkan kedua tangan di wajah ibunya. Dia menatap lekat-lekat wanita yang sudah melahirkan dirinya. Wanita yang terus bersamanya dalam segala keadaan. Tidak seperti Jordan yang pergi meninggalkan dirinya.
"Tidak, tuh! Mama tidak kesulitan. Karena ada Jendra. Mama tidak masalah kalau jadi miskin sekarang, asal Jendra tetap sehat dan bisa tersenyum seperti sekarang."
Joanna ikut menangkup wajah Jendra. Namun kali ini dia juga menarik kedua pipi si anak. Sehingga garis senyum terlihat.
"Mama serius? Mama bisa, loh, cerita denganku. Meskipun masih kecil, aku tidak sekecil itu. Aku cukup dewasa bagi anak seusiaku. Aku juga tidak menangis saat Mama dan Papa memutuskan berpisah dulu. Mama seharusnya tahu kalau aku sudah sedewasa itu!"
Joanna terkekeh lebih kencang dari sebelumnya. Dia memeluk Jendra erat-erat. Sembari menahan air mata yang sejak tadi ingin keluar. Karena matanya memang sudah berkaca-kaca sejak dirinya memijak gapura pondok pesantren yang akan dimasuki Jendra.
"Aku tidak apa-apa tinggal di sini sendiri. Mama tidak perlu khawatir. Aku bisa jaga diri."
Ucapan Jendra membuat air mata Joanna mengalir. Apalagi saat anak itu membalas pelukannya saat ini. Sembari menepuk pundaknya beberapa kali. Seolah sedang menenangkan dirinya saat ini.
"Maafkan Mama, ya? Mama janji ini tidak akan lama. Mama akan berusaha agar kita bisa cepat tinggal bersama."
Joanna menyeka air mata saat masih memeluk Jendra. Sebab dia tidak ingin ketahuan menangis di belakang. Karena tidak mau anaknya bertambah sedih sekarang.
"Aku tidak merasa Mama sedang berbuat salah sekarang. Aku tahu Mama melakukan ini demi kebaikanku juga. Lagi pula, di sini, sepertinya seru juga. Aku bisa punya banyak teman. Banyak orang juga. Aku pasti tidak akan kesepian."
Joanna mulai melepas pelukan. Dia menatap Jendra yang sudah tersenyum lebar. Dengan mata berkaca-kaca. Membuat Joanna kembali memeluk si anak. Tidak lupa mengecupi kepalanya juga. Berharap anaknya hidup dengan baik tanpa dirinya.
Setelah melakukan pendaftaran ulang, Joanna membawa Jendra ke pasar terdekat. Untuk membeli berbagai keperluan si anak selama tinggal di sana. Dari handuk, gayung, hingga peralatan makan. Tidak lupa Joanna membelikan sarung dan peci juga. Karena si anak meninggalkan sarung dan peci di rumah yang sudah disita.
Setelah dua jam berbelanja, kini akhirnya tiba waktu perpisahan. Joanna menatap wajah Jendra lekat-lekat. Dia juga tidak berhenti memotret wajahnya yang tampak begitu tampan. Mirip ayah biologisnya.
"Mama pergi sekarang. Satu bulan lagi Mama datang. Karena Mama akan menjalani pelatihan di Jakarta. Doakan semoga Mama lolos, ya? Supaya kita bisa cepat tinggal bersama seperti sebelumnya."
Jendra mengangguk cepat. Anak laki-laki itu mulai memeluk ibunya yang kini sudah jongkok di depannya. Dengan pashmina yang sudah menutupi setengah kepala.
"Pasti! Aku akan mendoakan yang terbaik untuk Mama! Mama baik-baik di sana, ya? Makan yang banyak! Jangan diet-dietan! Karena Mama sudah jadi yang paling cantik sedunia!"
Joanna terkekeh pelan. Dia benar-benar tidak bisa menahan tawa saat Jendra berbicara. Karena dia masih belum bisa menyesuaikan diri dengan Jendra yang entah sejak kapan mulai pandai berbicara bak orang dewasa. Padahal, dia baru masuk sekolah dasar.
Setelah memeluk Jendra cukup lama, Joanna akhirnya pergi dari sana. Meninggalkan Jendra yang kini sudah melambaikan tangan. Sembari memegangi sarung yang akan turun karena tidak sengaja diinjak.
Membuat Joanna berlari dan kembali memeluk si anak. Lalu membeli peniti di toko terdekat. Kemudian mengajari anaknya untuk memasang peniti di sarungnya. Agar tidak mudah turun saat terinjak.
"Sudah, ya? Mama akan benar-benar pergi. Simpan penitinya baik-baik. Kalau habis. Beli di tempat tadi."
Jendra mengangguk singkat. Lalu mengusap pipi ibunya pelan. Sebab ada bulu mata yang jatuh di sana.
"Ih ada bulu mata jatuh! Ini tanggal sepuluh, a b c d e f g h i j. Cie!!! Ada yang kangen Mama nama depan huruf J! Pasti Papa Jordan, tuh!"
Joanna tertawa. Begitu pula dengan Jendra. Sebab mereka memang sudah sama-sama merelakan Jordan. Sehingga bisa bercanda seperti ini sekarang.
"Mama pergi sekarang, ya? Jaga diri baik-baik. Tunggu Mama datang lagi."
Jendra mengangguk pelan. Lalu menatap kepergian ibunya di depan gapura. Wanita itu berjalan mundur dan melambaikan tangan. Hingga bus datang dan membawa Joanna pergi dari pandangan.
Lambaian tangan Jendra berhenti saat bus pergi. Senyum yang sejak tadi terukir juga sudah pudar saat ini. Berganti dengan isakan kecil yang kini berubah menjadi tangis. Hingga dadanya kembang kempis. Karena sejak tadi sudah menahan tangis.
Jendra menutupi mata dengan punggung tangan kanan. Dia jongkok di pojokan gapura sembari menatap belasan peniti yang baru saja ibunya belikan. Lalu digenggam erat dengan tangan mungilnya.
Di dalam bus, Joanna menangis. Dia menutupi mulut dengan telapak tangannya sendiri. Agar tidak mengganggu penumpang lain.
Sungguh, hatinya benar-benar terasa sakit. Dia tidak tega meninggalkan anak sekecil itu tinggal sendiri. Namun kalau tidak seperti ini, Jendra akan menderita saat dia tua nanti. Karena hutang yang tidak kunjung dilunasi.
Ada yang sedih?
Next chapter klo chapter 13+14 diramein.
Tbc...