2. Boys Will be Boys

176 7 0
                                    

"PAPA ADA TAMU NIH," teriak Nadiva selepas membuka pintu depan. Piama masih melekat apik pada tubuh rampingnya. Alih-alih tersenyum, perempuan bersurai sepunggung tampak berkerut kening menatap seseorang dihadapannya.

"PAPAAAA"

Nadiva kembali berteriak. Alhasil bukan hanya kepala keluarga Wardana yang datang, melainkan dua anaknya ikut serta. Melihat tatapan nyalang dari sang ayah, Nadiva langsung ngacir ke belakang tubuh Malio.

Bisa Nadiva lihat kedua saudara laki-lakinya tiada henti menatap tamu- perempuan cantik bersurai sebahu. Dari gayanya sih mirip artis ibu kota, tetapi siapa yang tahu. Kan hanya mirip.

"Kakak ajak adik-adikmu ke ruang tengah." ucap Arsyad singkat.

Melihat anak keduanya diam sontak Arsyad kembali membuka suara. "Sekarang, Kakak!"

"Hah?Oke Papa siap! Ssstt ayo-ayo, jangan bikin papa emosi."

Setelah melihat tiga anak Wardana itu melenggang pergi, perempuan yang didaku sebagai tamu langsung terduduk disusul Arsyad sebagai pemilik rumah. Sebelum itu Nadiva sempat menoleh ke belakang guna melihat kembali sosok tamu sang ayah.

"Wah gila. Papa kenal tuh cewek di mana? Cantik benerrr." Maraka menggeleng seraya berkacak pinggang. Menatap bergantian kedua saudaranya. Rasanya seperti belum puas memandangi tamu ayahnya.

Hal sama dilakukan oleh Malio, namun bedanya lelaki itu bersedekap dada. Pandangannya turut ke arah ruang tamu. Nadiva menepuk jidatnya tidak habis pikir mengenai insiden pagi ini. Tubuhnya condong ke Malio juga Maraka, satu jentikkan jari menyadarkan keduanya.

"Astaga lo berdua kaya nggak pernah liat cewek cantik aja. Matanya jelalatan banget." Nadiva menatap keduanya tajam. Dirinya langsung duduk di sofa ruang tengah.

Maraka menggeleng sebentar. "Konon katanya melihat perempuan cantik dapat meningkatkan daya ingat dan menyegarkan mata."

"Kata siapa mas? paling itu cuma akal-akalan kamu aja." Anggita, nyonya rumah Wardana datang dari arah dapur. Masih lengkap dengan apron yang melekat pada tubuhnya. Perempuan itu menyajikan sarapan di atas meja makan.

Aturan setiap pagi yang tidak boleh hilang dari keluarga ini adalah rutinitas sarapan bersama. Kegiatan yang wajib untuk dilakukan orang tua dan anak mereka. Tujuannya adalah untuk menjalin keakraban antaranggota keluarga. Tidak dapat dipungkiri Nadiva sangat menyukai aturan tersebut.

"Beneran tau, Ma. Raka baca di artikel, terus katanya Melihat laki-laki tampan dapat meningkatkan daya ingat dan penyegaran mata makanya adek demen sama siapa tuh namanya Chele-chele itu."

"Chenle kali ah." timpal Nadiva meletakkan ponsel di atas meja.

"IH APA KOK BAWA-BAWA AYANG CHENLE?" pekik Natasha dari anak tangga.

Sebetulnya, bungsu Wardana itu sudah mendengar percakapan mereka sejak Anggita menuangkan udon ke dalam mangkuk berukuran besar. Hanya saja baru menyahut setelah mendengar nama salah satu anggota boyband korea selatan disebut-sebut.

"Ayang-ayang. Kayang noh!" respon Malio datar.

"Hus! Aa' Io nggak boleh gitu sama adek." ujar Anggita hangat. Teguran amat halus reflek membuat Malio mengangguk mengiyakan.

"Ma, itu siapa yang sama Papa?" Natasha menarik kursi makan. Sedari tadi perutnya keroncongan minta diisi.

"Heh nanti dulu makan nya. Nunggu pak bos." pungkas Maraka. Dia masih setia goleran di atas sofa seraya memindah-mindah channel televisi. Natasha yang mendengar itu lantas tidak jadi menyendok nasi.

"Temen Papa? selingkuhan Papa? Atau jangan-jangan istri baru Papa?" Dugaan Maraka langsung disanggah oleh Anggita. Nadiva ikut menampol lengan adiknya.

"Your mouth minta diulek."

"Temen Papa itu, nak. Namanya tante Hera. Beliau model salah satu brand besar. Bukan selingkuhan apalagi istri baru Papa." Anggita mencoba menjelaskan perihal siapa tamu suaminya.

"Oh, model toh. Pantes cantik paripurna." Malio menimpali.

"Udah bersuami, Ma?" tanya Maraka. Sementara sang Ibu menjawab dengan anggukan.

"Cerai tahun lalu." ujar Anggita.

Maraka ber-oh-ria, "Kau masih gadis atau sudah janda."

"Asek." sahut Malio. Keduanya tampak bergoyang bak penyanyi dangdut gerobakan. Jempolnya bergoyang seiring Maraka bernyanyi. Tampang malas terlihat dari Nadiva juga Natasha, lalu Anggita hanya terkekeh melihat kelakuan dua putranya.

Lima belas menit sudah Papa Arsyad berbincang dengan Tante Hera di ruang tamu. Anggita atau kerap dipanggil Mama Gigi memilih untuk kembali berkutat dengan adonan kue di dapur bersama Bi Minah- orang yang membantu mengurus pekerjaan rumah keluarga Wardana. Nadiva menguap lebar menatap sekeliling bosan. Satu tangan menopang kepalanya menahan rasa kantuk yang perlahan menyerang.

"Bahas apa sih lama banget? Apa perlu adek susul aja?" Natasha bertanya, namun dengan tegas ditolak oleh Malio.

"Tolong jangan buat perkara ya manis."

"Laper tau. Aing hungry." Natasha mendesah gelisah. Perutnya berulangkali bunyi tanda minta diisi.

"Bahasa lo benerin." samber Maraka cuek.

"Kok belum mulai sarapan?"

Suara bariton Marvel terdengar jelas. Pemuda itu menuruni anak tangga lalu duduk menyender pada sofa samping Nadiva. Pandangannya mengedar mengamati satu per satu adiknya. Sebuah senyuman menghiasi wajahnya, cukup lucu raut wajah mereka yang sayu-sayu mengantuk.

"Papa tuh bang masih ngobrol sama tante Hera." adu Natasha.

Baru Marvel akan bertanya, suara Arsyad menggema menyuruh anak-anak untuk mendatangi ruang tamu. Mereka yang sebetulnya sudah mager terpaksa bangun setelah mendengar ancaman jatah ancaman sarapan oleh Anggita.

Setelah tadi Malio dan Maraka yang bergeming menatap Hera. Kini gantian Marvel yang terbengong menatap janda anak satu tersebut. Pemuda itu mengakui bahwa paras wanita dihadapannya sangatlah cantik. Pawakan yang tinggi langsing membuat matanya melek seketika. Bahkan hampir saja Marvel membandingkan dengan paras wanita tersebut dengan Anggita. Sontak Marvel menggeleng ribut.

"Kenapa, Abang?" tanya Arsyad setelah mengenalkan anak-anaknya pada Hera.

"Nggak, Pa. Nggak apa-apa."

Maraka menyenggol lengan Marvel lalu berbisik, "Janda anak satu dia bang."

Marvel berdeham untuk mengalihkan perhatian.

Wanita bernama Hera tersenyum simpul. Kehangatan keluarga ini sangat terasa bahkan ketika dirinya mendengar sedikit percakapan bapak dan anak tadi.

"Anakmu sudah pada besar ya, Syad? Nggak kerasa. Omong-omong anakku seumuran dengan anakmu yang paling tua." ucap Hera.

Mendengar penuturan itu, Nadiva juga Natasha saling memandang. Perasaan aneh timbul begitu saja. Nadiva terlebih dahulu menyenggol lengan adiknya lalu dibalas oleh Natasha. Akan tetapi gerak-gerik keduanya dapat ditangkap oleh Hera.

"Tapi anakku sudah punya pasangan. Kalau anakmu bagaimana? Marvel sudah punya pacar?"

Marvel yang merasa disebut pun mengangguk. "Sudah, tante. Alhamdulillah"

"Syukur alhamdulillah kalau gitu. Oh iya, Syad. Aku pulang dulu ya, mau lunch nanti sama anakku. Tante pamit ya?" tutur Hera bergsntian melihat Arsyad dan kelima anaknya.

"Oh iya, Ra. Silakan. Makasih ya sudah mau berkunjung." kata Arsyad diselingi tawa renyah.

"Thanks, Tan. Sudah mampir." ujar Malio mewakili keempat saudaranya. Dan itu disambut baik oleh Hera.

Setelahnya dua perempuan di sana menghela napas. Apalagi ketika melihat tiga suadara laki-lakinya- Marvel, Malio, Maraka yang turut mengantar wanita bernama Hera sampai ke mobilnya.

"Sek-sek aturan kalau tau Papa punya istri, harusnya bilang gini Salam ya buat istri kamu gitu. Ya nggak sih, Kak?" tanya Natasha, Nadiva mengangguk cepat. Dirinya juga menyetujui pendapat adiknya, bahkan sangat menyetujui.

Natasha melanjutkan, "Itu lagi cowok-cowok. Nggak bisa banget liat yang bening dikit."

"Biasalah. Boys will be boys." tutur Nadiva lirih.

Wardana: The Rich Sweet FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang