Inget cuman fiksi, Happy Reading!
*
Renjun mengangkat kuasnya, namun terhenti ditengah tengah. Melayang sejenak di udara sebelum kembali dia turunkan. Ini, kali pertamanya dia kembali melukis. Rencananya untuk hadiah ulang tahun orang tuanya yang kebetulan berdekatan. Sebuah lukisan mereka yang sedang tertawa.
Seseorang menyentuh pundaknya lembut, Renjun kali ini mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang datang. Itu Jeno, datang dengan senyum kecil di bibirnya.
"Kau akan menyelesaikan lukisannya sekarang?" tanya sang suami.
Renjun mengangguk. "Iya, rencana begitu.. tapi melihat wajah Mama masih terasa berat sekali.."
Jeno balas dengan senyuman, merengkuh sang kasih. "Kematian memang bukan sesuatu yang bisa kita cegah.." ujar Jeno pelan.
"Dokter bilang penyebab kematian mama adalah jantungnya, kenapa selama ini aku tidak tahu fakta bahwa mama sakit?" desis Renjun pelan. "Berarti saat itu aku tidak salah lihat, orang yang aku kira mama memang mama.. Ah, seandainya saja aku menghampirinya.." mata Renjun kembali berkaca-kaca karena sedih.
Jeno menatap sang kasih dengan tatapan sendu, berlutut untuk dia ambil tangan si mungil agar bisa dia genggam dan kecup lembut. "Hidup dalam berandai andai itu sakit, sayang.. Kita terima pelan pelan ya?"
Air mata Renjun jatuh menetes. "Selama ini rasanya aku selalu punya akhir yang bahagia.." Renjun menjeda ucapannya.
"Pelaku manipulasi kecelakaan itu tertangkap, aku bisa kembali melihat, aku bisa memukul Mark hyung, aku bisa berdamai dengan Jaemin.. semuanya mudah.. Jadi, aku pikir, semuanya pasti punya jalan keluar yang bisa membuatku bahagia.." lanjut Renjun.
"T- tapi, kehilangan Mama.." Renjun mulai terisak. "Itu tidak pernah bisa membuatku bahagia.."
"Aku menghibur papa semudah itu padahal aku sendiri-"
Jeno memeluk Renjun erat. Berat ya? Kehilangan yang tanpa aba aba seperti ini selalu membuat sakit yang teramat sangat.
"A- Aku tidak pernah membayangkan hidupku tanpa Mama, Jeno.." kata Renjun ditengah isakannya.
"Aku tidak bisa menerima fakta bahwa tidak ada lagi yang menyambutku saat pulang, tidak ada yang membantuku lagi.. A- aku.. masih membutuhkan Mama.."
"A- apa aku kekanak-kanakan? Padahal aku sudah menikah. Aku sudah punya Jeno.. tapi aku malah punya perasaan seperti ini.."
Jeno menggeleng. "Tidak, Renjun.. itu normal, tidak apa apa.. aku mengerti, kau sudah menghabiskan seluruh waktumu bersama mama, aku mengerti sekali.." bisik Jeno lembut. Jeno biarkan tangis Renjun memenuhi ruangan mereka, beruntung si bayi sudah lelap di kamarnya.
Sekiranya sang kasihnya sudah mulai tenang. Jeno beranjak memberi jarak, mengusap sisa sisa air mata yang membasahi pipi merah Renjun. "Setiap luka pasti punya sakitnya, Renjun.. Jadi, ayo pelan pelan kita sembuhkan.. Luka milikmu, milik Papa, milik Xiaojun hyung, milik Shotaro, dan milik semua yang kehilangan Mama.. ayo, kita pelan pelan saja sembuhkan.." ucap Jeno dengan suara lembut nyaris berbisik.
Renjun mengangguk pelan.
Luka yang bisu karena tak ada yang menyuarakan. Hati-hati yang setengah runtuh, setengah rapuh karena ditinggalkan mencoba untuk terlihat kokoh.
Sang Papa yang sakit karena ditinggalkan semestanya, Xiaojun yang kehilangan teman cerita selepas lelah dengan aktifitasnya meraih mimpi, Shotaro yang kehilangan sosok sandaran terbesarnya. Mungkin si bungsu yang paling kehilangan, tidak akan ada yang menyiapkan sarapan, bekal, atau menyambutnya pulang sekolah. Tidak ada orang yang akan mengambil rapornya, tidak akan ada sang mama dalam foto kelulusan atau saat hari pertamanya di perguruan tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLIND | NOREN
Fanfiction[COMPLETED] REMAKE STORY FROM MY FIRST STORY Apakah Tuhan membenci Renjun? Cahaya sudah hilang, Semangat hidupnya meredup. Lalu kemudian Tuhan menitipkan Malaikat kecil ke hidupnya yang kemudian menghadirkan Malaikat lainnya. Apakah Renjun harus...