6. At The Bus Stop

204 21 1
                                    




"Namjoon...ayo cepat..." Pria itu berlari kecil kegirangan melambai-lambaikan tangannya.

"Hallo kakek, adik kecil..."

Sapanya ramah saat menunduk membuka tirai kain yang menutupi hampir separuh kedai yang berada di tepi jalan sepi.

"Ah....kakiku pegal menanjak sejauh itu Seokjin..." Namjoon menyusulnya dengan langkah yang semakin melambat.

"Astaga kau manja sekali" Seokjin tertawa menatap pria yang terengah, membungkuk menopang tubuh dengan kedua tangan di atas lutut.

"Aku bisa makan dua porsi jika begini..." Ia mengusap perutnya yang keroncongan.


Dan mangkuk kedua pun disodorkan, Namjoon tersenyum lebar menyambutnya.

"Kukira kau bercanda" Seokjin terbahak sambil menghalangi mulutnya yang masih mengunyah dengan satu tangan.

"Benar apa yang kau bilang...Ramen ini enak sekali"

"Sayang letaknya kurang strategis..." Tatapannya beralih pada jalan sepi di sekitar.

"Aku memotret mereka kemarin" Seokjin mengeluarkan kameranya.

"Maksudku ingin membuat orang-orang tahu bahwa ada makanan enak di sini"
"Apalagi jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat kota"

"Tapi aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa..."

Namjoon menatapnya tak berkedip, memperhatikan bibir yang bergerak-gerak, juga ibu jari yang menggeser hasil-hasil jepretannya.

Bulu matanya lentik dan panjang, bibir penuh itu sesekali mengerucut saat ia berbicara serius.

Lalu pipinya, pipinya terlalu menggemaskan untuk seorang pria berumur seperempat abad.

"He's so thoughtful..." Namjoon tersenyum mengayunkan kedua kelopak matanya pelan.

"Boleh kirimkan foto-fotomu ke emailku?"
"Rekan kerjaku dulu punya teman seorang Food Blogger"

"Benarkah?!"
Sosok manis itu menoleh riang. Kedua matanya membulat bak kelereng. Berbinar diterangi cahaya matahari.

"Aku tidak berani janji, tapi akan coba kutanyakan okay..."
Namjoon memalingkan wajah gugupnya kemudian melahap sisa Ramen yang sudah hampir dingin itu hingga tak bersisa.

"Please Namjoon....aku sangat berharap mereka mendapatkan pelanggan yang banyak..."
Tatap mata memelas itu membuat Namjoon tersenyum kecil.



Langkah mereka menjauh beriringan di sisi jalan meninggalkan kedai. Namjoon memandangi tas selempang hitam pria yang berjalan di depannya, talinya yang putus terikat dan berbalut isolasi sewarna. Jemari lentik sang pria pun merematnya erat agar tautan itu tidak lepas.

Ia menghela napasnya. "Tasku yang kemarin saja sudah kubuang"
"Apakah ia tak ingin menggantinya dengan yang baru?"

"Ah.....hujan!" Seokjin menoleh dengan senyum lebarnya.

Berbanding terbalik dengan Namjoon yang mulai mengerang sambil mengerutkan dahi.

Pria itu membuka payungnya dan mengangkat lebih tinggi agar kepala pria di hadapannya tidak terkena tetesan air.

"Maaf payungnya kecil..."

"Kukira hari ini akan cerah..." Namjoon meraih pegangan pria itu, menggantikan posisinya untuk memayungi mereka berdua.

"Apakah tidak lebih baik kita meneduh dulu?"
"Hujannya semakin deras...."

"Payung kecil ini tidak akan cukup untuk kita berdua"
Ia terbahak kemudian menoleh pada sang pria yang tak berkata apa-apa sejak payungnya berpindah tangan.

Genggaman itu hangat, walau hanya sesaat. Mungkin Namjoon tak menyadarinya, namun itu cukup untuk membuat jantung Seokjin berdebar sedikit lebih cepat dari temponya.


Berdirilah mereka di bawah naungan pemberhentian bus.

Namjoon yang sibuk menepuk-nepuk jas dan celananya yang basah sesekali berdecak kesal.

Sementara Seokjin dengan tenang melipat payung itu menjadi kecil sebelum memasukkan ke dalam tas jinjing plastik dan meletakkannya di sisi sepatunya yang basah.

"Aku benci hujan" Pria itu menggumam tanpa menoleh, terus disibukkan dengan kegiatan tangannya menepuk-nepuk bahu juga kepalanya.

"Aku suka hujan"
Tawa ringan pria di sampingnya membuat Namjoon akhirnya menoleh dan mendapati sisi berlawanan bahu jas juga rambut Seokjin basah kuyup.

"Payung itu hanya cukup untuk satu orang dan ia tidak bilang jika bahu dan kepalanya terkena hujan..."

"Padahal ia bisa saja menarik payung pink itu lebih ke sisinya"

"Kau ada acara lagi hari ini, Seokjin?"

Yang ditanya hanya menoleh membulatkan mata sambil tersenyum dan menggeleng.

Refleks jemari Namjoon menangkap butiran air yang masih berjatuhan dari rambut menjuntai di sisi kepalanya.

"Tempat tinggalmu dekat dari sini?"


DEG

"Apakah orang ini berbahaya menanyakan tempat tinggalku? Padahal kita baru saja kenal..." Tak langsung menjawab, Seokjin berusaha menghindari tatapannya.

"Kupikir daripada kita menaiki bus itu dan menghabiskan hampir satu jam perjalanan menggigil dengan pakaian dan sepatu basah ini, lebih baik kita membeli baju ganti di sana"

Tak menoleh, pria tinggi itu tersenyum kecil sambil menunjuk ke pusat pertokoan yang berseberangan dengan tempat mereka berdiri.

"Jarak apartemenku hampir satu jam perjalanan dari sini"

Hela napas lega berhembus pelan dari bibir Seokjin, perlahan sudut bibirnya terangkat saat ia menunduk.

"Kau benar Namjoon...."
"Ayo!" Tanpa aba-aba, tubuh ramping itu hendak berlari ke ujung trotoar untuk menyeberang.

"Wait! Kau gila!"
"Seokjin!" Namjoon segera membuka jasnya dan menaungi tubuh mereka berdua.

"Apa kau tidak pernah bermain hujan, Namjoon?" Binar bola mata bening itu menatapnya riang.

"No! That's gross"
"Dan....aku mengkhawatirkan kameramu"

"Oh.....astaga aku lupa!" Sontak menarik tas selempang lalu memeluknya erat.

Setengah membungkuk, mereka berdua kembali berlindung di bawah perhentian bus itu.

"Namjoon....bajumu jadi basah semua...."
"Maaf...."

Menoleh menatap bola mata memelas milik sang pria setelah melipat jasnya, Namjoon mengulum senyum. "Pakai payungnya ya..."

Tatap mata memelas itu kemudian diiringi senyum lebar juga anggukan pelan.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang