8. See You Monday Morning

169 23 0
                                    




"Apakah aku terlihat seperti penguntit dengan melakukan ini?"

Langkah kakinya berhenti di depan sebuah rumah. Namjoon menatap pintu berwarna putih dengan tiga anak tangga pendek di hadapannya.

Tiga hari setelah pesan elektronik yang berisi beberapa foto kedai Ramen hasil jepretan Seokjin dikirim, akhirnya ia memberanikan diri untuk mencari tempat tinggalnya.


CEKLEK


Sedikit tersentak ketika mendengar suara pintu terbuka, Namjoon membulatkan matanya. Jantungnya berdegup kencang menanti siapa yang akan muncul.

"Namjoon?" Sosok itu muncul dari balik pintu.

"H-hai...."

"Hai.....sedang apa disini?" Seokjin bergegas menuruni tangga dengan senyum lebarnya.

"Aku... mau mengembalikan payungmu..."
"Dan...."

"Astaga....padahal kau tidak perlu repot-repot"

"Ayo masuk...." Jemarinya membuka pagar pendek itu lebar-lebar, memberi tempat untuk Namjoon berjalan melewatinya.

"Maaf....mungkin aku terkesan seperti penguntit"
"Tapi aku tidak sabar ingin memberimu kabar baik"

"Dan....ini...."

"Kasihan kameramu jika harus terus terjatuh karena tali tasmu yang putus"

Namjoon menyerahkan paperbag juga payung berwarna pink yang telah terlipat.


"Namjoonnnnn......aku tidak bisa menerima ini...." Seokjin mengerang ketika mengintip isi paperbag coklat di tangannya.

Sebuah tas kamera baru berwarna hitam berbahan kulit.

"Ini mahal sekali..." Seokjin membulatkan kedua matanya.

"Aku membelinya bersama dengan tas laptopku yang juga rusak hehe..."

"Akan kuganti setelah gaji pertamaku okay!" Senyumnya melebar menyentuh tiap sisi tas barunya itu.

"Tidak usah, Seokjin....anggaplah permintaan maafku" Namjoon memiringkan kepala dan tersenyum gemas menatap pria di hadapannya.

"Dengar...."
"Aku telah menyerahkan foto-foto yang kau email pada temanku"

"Dia mempostingnya di website dan sekarang ia tengah membujuk atasannya untuk memasukkannya ke dalam majalah tempat ia bekerja"

"Kau serius Namjoon?!"
"Lalu?" Kedua bola matanya membulat penuh harap.

"Katanya responnya lumayan...kita tunggu saja kelanjutannya okay"

Seokjin mengangguk-angguk senang. "Terimakasih Namjoon...."

"No...not yet, kita lihat hasilnya akhir minggu ini...."
"Semoga kedai Ramen itu ramai ya..."

"Oh ya...."

"Haruskah temanku menyelipkan nama samaranmu di fotonya?"

"Moon......seperti karya-karyamu yang telah tersebar dimana-mana" Menaikkan sebelah alis, Namjoon tersenyum menggodanya.

"Ah.....tidak.....jangan....itu bukan apa-apa..." Seokjin mengusap tengkuknya malu.

"Dari mana kau tahu itu, Namjoon?"

"Dan.....bagaimana kau tahu rumahku?"

Namjoon terbahak menatap bibir mengerucut dan telinga memerah di hadapannya.

"Aku harus mengetahui siapa calon rekan kerjaku nanti bukan?"
"Kau sudah mengecek email?"

"Aku.....diterima"

"Wah....selamat, Namjoon!"
"Aku....belum mendapat balasan..." Seokjin menghela napas singkat dan tertunduk.

"Oh..." Raut wajah kecewanya tak bisa ditutupi.
"M-mungkin besok?"

"Iya...hehe..."
"Mungkin juga tidak diterima" Tatapannya beralih pada tas hitam barunya.

"Apa.....apakah kau akan pergi lagi dari kota ini jika...."

"No! Aku akan terus berusaha mencari pekerjaan disini"

Pertanyaan ragu Namjoon sontak dibantah dengan suara lantang.

Hela napas lega berhembus diam-diam, Namjoon menyunggingkan senyum tipisnya. "Kau tidak mudah menyerah ya..."

"Sudah kukatakan....aku ingin menetap"
"Meniti karir yang pasti...bukan hanya sekedar hobi atau pengisi waktu"

"Menunjukkan hasil karyaku pada dunia suatu hari..." Ia terkekeh pelan.

Namjoon menatapnya lekat, memperhatikan bibir pink yang sesekali mengerucut juga gerakan tangannya saat ia mengungkapkan antusiasnya saat bercerita.

Sekali lagi jantungnya kembali berdegup kencang. Ia sangat mengagumi sosok pria di hadapannya.
Pembawaannya yang tenang sama sekali tidak mencerminkan ambisinya yang kuat.

Namjoon bisa melihat dari hasil-hasil karyanya yang terpajang di beberapa galeri dan majalah.

Jepretannya seolah memiliki nyawa. Itu yang dikatakan hampir seluruh media yang memuji karya Seokjin.

"I like You....I really like You, Seokjin...."


"Kau sudah makan?"
"Aku memasak sup tahu....maukah?"

"B-boleh....jika tak merepotkan..." Namjoon mengangguk tersadar dari lamunannya.

"Fotografer terkenal, sabar tapi ambisius, baik hati dan suka menolong....pandai memasak"

"Apa yang tidak bisa kau lakukan, Seokjin?"
Namjoon mengulum senyum lalu menyeruput supnya.

"Tidak begitu Namjoon!" Ia terbahak menutup mulut dengan telapak tangannya.
"Aku biasa saja..."


"Boleh aku melihat-lihat foto hasil jepretanmu setelah ini?"


"Ini kuambil waktu aku tinggal di Tokyo dua tahun lalu"
Seokjin menggeser kedua tangan yang memegang kamera itu mendekat pada sang pria yang duduk di sampingnya.

"Kau tinggal disana?" Namjoon menoleh sebentar kemudian melanjutkan menggeser layar kameranya.

Sesaat ia tertegun sebelum melanjutkan sapuan ibu jarinya.

"Waktu awal aku mulai untuk serius menekuni pekerjaanku..."
"Hanya setahun"

"Indah....benar apa yang media katakan tentang hasil fotomu..."
"Mereka seperti bernyawa" Kamera itu dikembalikan pada sang empunya.

"Ah....sebaiknya aku pulang"

Seokjin mengangguk sambil menatap bingung pria yang tiba-tiba beranjak dari duduknya.

"Hati-hati..." Langkahnya mengantar sang pria menuju pintu.

"Oh!"

Kedua matanya membulat setelah tak sengaja melirik ponselnya yang berdenting dan membaca sebuah pesan elektronik yang baru saja masuk.

"Namjoon.....aku diterima!"

"Benarkah!?" Langkah pria itu terhenti, berbalik cepat lalu membaca pesan itu bersebelahan dengan Seokjin.

Keduanya tertawa senang lalu saling menatap.

"Sampai bertemu hari Senin berarti"

"Rekan kerja..."
Namjoon mengulurkan jabat tangannya, menahan diri agar tubuh ramping yang berdiri masih dengan senyum lebar itu tak dipeluknya.

"Sampai hari Senin, Namjoon..."

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang