50. Not Here

121 19 1
                                    




Mobil jemputan mereka berjalan pelan menyusuri jalan penuh retakan juga batu-batu yang berhamburan.

Aspal licin yang masih terguyur gerimis air hujan itu menuju sebuah pinggir kota yang telah hancur.

Namjoon melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru. Rumah-rumah bergaya lawas itu rubuh dengan retakan di sekitar jalannya.

Hiasan juga lampion-lampion yang tergantung pun hancur berantakan.

Sepasang mata itu terus mencari dalam cahaya remang.


"Kita turun disini"

"Sebaiknya berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan, terlalu beresiko" Sang sopir memarkir mobil besar itu di tempat terbuka.

Namjoon adalah orang pertama yang melompat keluar, ia berjalan cepat menyusuri sisi jalan.


"Namjoon hati-hati"
"Jangan terlalu dekat dengan bangunan"

"Mereka bisa kolaps kapan saja" Jackson berlari menyusulnya.

Terlambat, bukan hanya pria bersurai abu itu berjalan mengitari bangunan, ia merunduk memasuki satu-satu reruntuhan rumah itu perlahan.

"Geez......have You ever listened to Your superior?" Jackson mendengus kesal dan menghampiri sang pria yang masih penasaran.


"Namjoon, kita tidak boleh berada disini"

"Keluarlah" Ia turut menunduk mencari sang pria.



"Nihil" Namjoon keluar dari dua bangunan di sebelahnya.

"Kurasa para korban telah diungsikan"

"Tidak ada tanda-tanda Seokjin juga"

Namjoon berlari kecil kembali ke jalan sepi setelah bunyi dinding runtuh terdengar di belakangnya.


"Namjoon!" Jackson menarik tubuhnya saat sebuah tiang besi roboh dan jatuh melintang di tengah jalan.

"Damnit! Careful man!"

Mereka menatap ngeri tiang yang telah membelah kotak kayu yang tergeletak di sisi jalan.

"Kemana lagi aku harus mencarinya, Jackson....." Namjoon mengacak rambutnya kesal.



"Kita mengudara seadanya dari sini"

"Lalu kita ke penampungan" Sang juru kamera melirik singkat sebelum merekam pria bersurai abu-abu itu melaporkan situasi di sekitarnya.






"Try to get some sleep, Namjoon..."

"Kau belum tidur dari kemarin malam" Jackson berbisik pada pria yang duduk di sebelahnya.

Pukul tiga dini hari yang dingin. Keduanya duduk di atas reruntuhan bangunan.



Namjoon menggeleng. "Aku tidak mengantuk"

"Seandainya waktu itu aku menyingkirkan keegoisanku dan mendapatkannya kembali...." Pikirannya kembali pada percakapannya dengan Jimin.

Ia meneguk kopinya.

Jackson menghela napas panjang. "Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri"



"Aku tidak akan memaafkan diriku jika Seokjin...." Kalimatnya tercekat.

Ia mengusap wajahnya kasar. Membenamkan kepala di atas kedua lengan yang bertumpu pada lututnya.

"Don't say that...."

"Seokjin pun pasti tak ingin kau seperti ini" Pria bersurai pirang itu mengusap-usap punggungnya.




"He's full of hope......" Namjoon mengusap wajahnya lagi saat kepalanya terangkat, menopang dagu dengan telapak tangan dan berusaha tersenyum.

"Dia tidak akan menyerah sebelum keinginannya tercapai"

"Keras kepala...." Ia terkekeh pelan.



"Kau mengenalnya dengan baik, Namjoon..."
"Jadikanlah itu semangatmu untuk terus berharap"

"Seseorang pernah berkata....jika pikiranmu penuh dengan keburukan, maka yang terjadi adalah hal buruk"

"Sebaliknya...jika kau terus mengisi pikiran dan hatimu dengan kebaikan, maka itu pula yang akan terjadi..."

"Setidaknya itu yang selalu kutanamkan dalam benakku..." Jackson mendengus tersenyum



"Semoga Seokjin tidak menyerah....."
"Seokjin tidak akan menyerah...." Namjoon memijit keningnya, berusaha tersenyum walau hatinya terus dilanda kekhawatiran.



Suara orang berlari menghampiri dan mengatakan sesuatu membuat mereka menengok, berdiri membulatkan kedua mata, mencoba menangkap pembicaraan antar beberapa kepala yang hanya sayup-sayup terdengar dari kejauhan.

Jackson menoleh sesaat pada Namjoon, sebelum berlari kecil menghampiri mereka.

Seorang reporter lokal bersama para kru berbicara dengan Jackson sebelum ia berbalik dan tersenyum kecil.

"Kita berangkat ke penampungan pertama sekarang"

"Mereka bilang para korban banyak berkumpul disana"

Sebuah harapan mulai muncul dalam hati Namjoon. Ia tersenyum dan bergegas membereskan ranselnya.


Jalan yang mereka lalui semakin hancur dan gelap.

"Disinilah tepatnya festival itu berlangsung"

"Dekat dengan sungai" Jackson melayangkan tatapannya pada sebuah sungai besar tak jauh dari tempat yang mereka lalui.

"Disini Seokjin berada kemarin malam..."

Pecahan keramik, makanan dan baju-baju yang berserakan hingga ke tengah jalan, hiasan-hiasan kertas berwarna-warni juga alat-alat musik tradisional yang telah hancur terlihat di depan sorot lampu mobil.

Namjoon meremat dadanya.

Sakit. Sedih.

Hatinya seakan turut hancur seperti pemandangan di hadapannya.



"Itu tempat penampungannya" Sang sopir menunjuk sebuah barak dengan penerangan seadanya.

Mobil itu berhenti diantara dua atau tiga mobil wartawan lainnya.


"Jackson ayo!" Semangat sang pria mulai terlihat.

Jackson tersenyum menatapnya kemudian bergegas menyusul Namjoon yang telah jauh berlari menghampiri barak itu dengan sebuah mikrofon di tangannya.

"Namjoon....pelan-pelan...jangan menakuti mereka" Jackson menarik lengan jaketnya.


"Seokjin disini bukan?"

"Ia disini?" Namjoon menoleh, raut wajah pucat dan lelah itu tersenyum lebar.


"Belum tentu, Namjoon.....belum tentu"
"Masih ada satu penampungan lagi di depan sana"

"Atau....." Jackson menoleh pada sebuah papan bertuliskan banyak sekali nama.

"You might wanna check the names on the board..." Ia menunjuk.




"He's not here....."

Namjoon berucap lirih setelah membaca satu persatu nama pada papan besar itu.

PetrichorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang